- Garis panjang bak membelah permukaan laut Teluk Ambon, tepatnya di depan perairan Desa Poka, Maluku pada 10 Mei lalu menyita perhatian warga. Fenomena Itu terlihat dari video berdurasi 31 detik beredar di Facebook maupun WhatsApp. Warga pun berdatangan menyaksikan dari pesisir pantai, maupun di atas Jembatan Merah Putih fenomena yang terjadi sekitar dua jam itu.
- Djati Cipto Kuncoro, Kepala BMKG Stasiun Geofisika Ambon mengatakan, yang tampak seperti gelombang laut di Teluk Ambon, dengan melihat beberapa video tampak seperti batas air tidak bergerak hingga bukan gelombang. Catatan seismik pada Stasiun Geofisika Ambon, kata Kuncoro, juga tidak mencatat aktivitas tidak biasa pada rentang waktu kejadian itu.
- Yunita A. Noya, ahli Oseanografi Fisika, bidang pemodelan oseanografi fisika (untuk gerak air alut dan sedimentasi), mengatakan, fenomena ini merupakan ambang (sill) berbentuk selat sempit dan dangkal. Ambang itu merupakan penghubung antara Teluk Ambon Luar (TAL) dan Teluk Ambon Dalam (TAD).
- J. J. Wattimury, dosen Ilmu Oseanografi, Inderaja, GIS dan Pemetaan. Dia menjelaskan, sebenarnya ini bukanlah fenomena baru karena sudah terjadi berulang. Fenomena ini adalah sirkulasi langmuir. Sirkulasi ini terjadi karena tiupan angin hingga menyebabkan sirkulasi vertikal votisitas dengan terbentuk sel-sel circular yang tidak begitu lebar atau dalam, tersirkulasi balik sejajar angin.
Garis panjang bak membelah permukaan laut Teluk Ambon, tepatnya di depan perairan Desa Poka, Maluku pada 10 Mei lalu menyita perhatian warga. Fenomena Itu terlihat dari video berdurasi 31 detik beredar di Facebook maupun WhatsApp. Warga pun berdatangan menyaksikan dari pesisir pantai, maupun di atas Jembatan Merah Putih fenomena yang terjadi sekitar dua jam itu.
Djati Cipto Kuncoro, Kepala BMKG Stasiun Geofisika Ambon mengatakan, yang tampak seperti gelombang laut di Teluk Ambon, dengan melihat beberapa video tampak seperti batas air tidak bergerak hingga bukan gelombang.
Catatan seismik pada Stasiun Geofisika Ambon, kata Kuncoro, juga tidak mencatat aktivitas tidak biasa pada rentang waktu kejadian itu. “Kebetulan saya baru tiba di Ambon, dan langsung pengecekan di lapangan kondisi baik-baik saja,” katanya di Grup WhatsApp BMKG-BPBD Maluku.
Apa kata para ahli?
Yunita A. Noya, ahli Oseanografi Fisika, bidang pemodelan oseanografi fisika (untuk gerak air alut dan sedimentasi), mengatakan, fenomena ini merupakan ambang (sill) berbentuk selat sempit dan dangkal. Ambang itu merupakan penghubung antara Teluk Ambon Luar (TAL) dan Teluk Ambon Dalam (TAD).
Secara teori, menurut doktor yang membidangi pemodelan oseanografi fisika Unpatti ini, pola arus di sekitar Jembatan Merah Putih merupakan pola arus pasang surut.
“Saat kejadian arus terbelah tadi siang (pukul 13.00 – 15.00), kondisi perairan sedang menuju pasang,” katanya.
Dia bilang, mekanisme gerak air menuju pasang Teluk Ambon, secara teoritis adalah arus (aliran massa air) dari TAL bergerak masuk menuju TAD. Karena kondisi perairan menuju pasang hingga menyebabkan kecepatan aliran masuk masuk ke TAD cukup maksimum.
Pola aliran (arus) akibat gaya eksternal, katanya, jika bertemu dengan pola arus pasang surut, pada perairan dengan topografi seperti ambang (JMP) bisa meghasilkan pola arus turbulen skala kecil. Pola arus turbulen dalam skala kecil ini disebut sebagai wake.
Wake, katanya, merupakan aliran laminar yang berubah menjadi aliran turbulen dan ditandai dengan pusaran (eddys) ganda atau lebih.
Perubahan aliran laminar menjadi aliran wake, katanya, karena aliran laminar melewati atau terlewati suatu padatan massa seperti pulau atau bisa saja kapal.
Di sekitar JMP atau Ambang Poka-Galala memiliki topografi sempit dan dangkal. Dengan kata lain, pada area arus dengan topografi mulai dangkal.
Turbulen atau wake tadi membentuk pusaran pada sisi kiri dan kanan, serta garis tengah yang seperti terbelah. Itu merupakan dampak dari pusaran aliran pada batas topografi area tubir (batas antara area dalam dan dangkal).
“Dengan kata lain ujung garis aliran turbulen pada sisi kiri dan kanan, saling berkaitan satu sama lain, dan membentuk garis lurus (air seperti terbelah),” katanya.
Pendapat ahli Oseonografi lain soal fenomena ini adalah J. J. Wattimury, dosen Ilmu Oseanografi, Inderaja, GIS dan Pemetaan. Dia menjelaskan, sebenarnya ini bukanlah fenomena baru karena sudah terjadi berulang. Fenomena ini adalah sirkulasi langmuir.
Sirkulasi ini terjadi karena tiupan angin hingga menyebabkan sirkulasi vertikal votisitas dengan terbentuk sel-sel circular yang tidak begitu lebar atau dalam, tersirkulasi balik sejajar angin.
“Angin barat barat daya, tenggara sepertinya tersirkulasi balik akibat pengaruh topografi pesisir teluk dan efek JMP juga. Sudah beberapa kali ketemu fenomena semacam ini di lokasi itu,” kata dosen Program Studi Ilmu Kelautan ini.
Kemungkinan lain, katanya adalah terbentuk front oceanik tetapi lebih spesifik tidal mixing front karena pertemuan dua massa air yang berbeda idensitas karena beda suhu dan salinitas.
“Massa air Sungai Wairuhu dan Wailela lebih ringan dari massa air oceanik dari Laut Banda dengan densitas tinggi membentuk semacam batas.”
Juga sirkulasi secara vertikal pada batas pertemuan air itu hingga tampak seperti terbelah. “Itu karena dua massa berbeda itu tidak langsung bisa bercampur tapi saling dorong oleh kekuatan angin dan arus pasut,” katanya.
Wattimury menyimpulkan, efek dari fenomena sirkulasi seperti itu semua obyek yang mengapung yang geraknya stagnan sementara bergerak karena terbawa arus akan terakumulasi dalam zona gabungan (mixing) termasuk sampah, plankton dan lain-lain.
Kemungkinan lain, katanya, akibat durasi kejadian sel-sel sirkular massa air yang membentuk dinding karena memiliki ciri massa berbeda (dari TAD dan Wailela air lebih ringan dan air dari TAL– massa Laut Banda dengan air berat—maka terbentuk penampakan itu.
********