- Suku Besemah merupakan salah satu suku tua di Sumatera Selatan. Selama ratusan tahun, mereka hidup harmonis dengan alam, yang melahirkan sejumlah pengetahuan. Salah satunya tata kelola air.
- Tata kelola air dimulai dari menjaga mata air dan sungai di hutan larangan, membuat tebat [danau], siring [saluran air], dan pauk [kolam]. Fungsi tebat dan pauk, yakni menjaga keberadaan air, sementara siring sebagai penyalur air.
- Ada aturan hukum adat [larangan] terkait tata kelola air. Pertama, dilarang merusak atau mengakses hutan larangan. Kedua, dilarang membuang kotoran ke sungai, tebat dan siring. Ketiga, dilarang menangkap ikan di sungai, siring, tebat dan pauk menggunakan racun.
- Di Desa Air Dingin Lama, ada petugas yang mengatur air, yang disebut “Gagang Siring”. Di Desa Tanjung Kurung Ulu, petugas pengatur air disebut “mentri air”.
Satu dampak nyata perubahan iklim global adalah terjadinya krisis air. Adakah pengetahuan lokal masyarakat di Sumatera Selatan yang dapat digunakan menghadapi ancaman tersebut?
Suku Besemah merupakan suku tua di Sumatera Selatan. Mereka menetap di berbagai wilayah dataran tinggi, seperti di Kabupaten Lahat, Kota Pagaralam, dan Kabupaten Empat Lawang. Selama ratusan tahun, mereka hidup harmonis dengan alam, yang melahirkan sejumlah pengetahuan. Salah satunya tata kelola air.
“Air adalah hidup kami. Air hidup, kami hidup,” kata Sutarni [82], tokoh adat Suku Besemah di Desa Tanjung Kurung Ulu, Kecamatan Tanjung Tebat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, Sabtu [13/05/2023].
Guna menjaga keselarasan manusia dengan air, jelas Sutarni, selain menjaga mata air dan sungai di hutan [hutan larangan], mereka juga menjaga tebat [danau], siring [saluran air], dan pauk [kolam]. Fungsi tebat dan pauk, yakni menjaga keberadaan air, sementara siring sebagai penyalur air. Jika musim penghujan, keberadaan tebat, siring dan pauk, sebagai penampung dan penyalur air, sehingga air dari sungai tidak meluap atau menggenangi permukiman dan sawah.
“Saat musim kemarau, ketika mata air kecil [menurun], maka tebat dan pauk berfungsi sebagai sumber air tambahan [alternatif],” jelasnya.
Baca: Pindang, Jejak Akulturasi Budaya Masyarakat Sumatera Selatan

Selain itu, tebat dan pauk, menjadi penyedia pangan protein [ikan]. Sejumlah jenis ikan dipelihara warga di tebat dan pauk, seperti ikan semah [Neolissochilus sumatranus], ikan gurami [Osphronemus goramy] dan ikan mas [Cyprinus carpio].
Di Desa Tanjung Kurung Ulu yang luasannya kisaran 4.000 hektar, terdapat 10 tebat yakni tebat lembak, tebat penyakit, tebat pelawi besak, tebat pelawi kecik, tebat pungkutan, tebat rimba, tebat lebuai, tebat patah, tebat pungkutan, dan tebat danau abang.
Sementara siring, berjumlah delapan; siring agung, siring terkau, siring curup, siring air cawang, siring air lembak, siring air ampuh, siring air salak, dan siring air sungsang.
“Hampir semua rumah memiliki pauk atau kolam,” kata Efriza Tria Prayudha, Kepala Desa Tanjung Kurung Ulu.
Selain digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mandi dan mencuci, air tersebut digunakan untuk persawahan seluas 150 hektar, yang tersebar dalam empat wilayah di Desa Tanjung Kurung Ulu. “Dalam setahun, kami panen padi sebanyak dua kali. Setiap hektar, kisaran empat ton beras setiap kali panen,” kata Efriza.
“Saat musim kemarau panjang, jarang terjadi gagal panen, sebab masih ada air,” kata Sutarni.
Baca: Melihat Ekosida yang Terjadi di Sumatera Selatan

Larangan
Terdapat sejumlah pantangan atau larangan [hukum adat] untuk menjaga keberadaan air.
“Pertama, dilarang merusak atau mengakses hutan larangan sebagai sumber air bersih,” kata Sutarni. Kedua, dilarang membuang kotoran [buntang hewan, ikan, dan sampah] ke sungai, tebat dan siring. Ketiga, dilarang menangkap ikan di sungai, siring, tebat dan pauk menggunakan racun,” jelas Sutarni.
Sementara distribusi air ke persawahan dikelola secara adil dan merata. “Penggunaan air baik untuk pesawahan diatur, sehingga air terdistribusi ke semua lokasi persawahan,” kata Efriza.
Petugas yang mengatur distribusi air disebut “mentri air”. Guna menjaga air tanah, Desa Tanjung Kurung Ulu memiliki hutan larangan Kedoy.
“Di hutan ini tidak ada mata air seperti halnya perbukitan, tapi kami percaya hutan ini turut menjaga ketersediaan air di desa kami. Sebab hutan larangan ini dibatasi sejumlah siring,” jelas Efriza.
Hutan larangan tersebut statusnya sebagai hutan adat yang ditetapkan pemerintah Desa Tanjung Kurung Ulu pada 2017 lalu.
Sumber utama air di Desa Tanjung Kurung Ulu berasal dari Sungai Mate Lintang. Sungai Mate Lintang berhulu di hutan larangan Bukit Runcing di Kota Agung, Kabupaten Lahat.
Baca juga: Pernah Jadi Andalan Sumatera Selatan, Tanaman Gambir Kini Ditinggalkan

Hutan Larangan Air Dingin Lama
Tata kelola air Suku Besemah juga bertahan di Desa Air Dingin Lama, Kecamatan Tanjung Tebat, Kabupaten Lahat. Bahkan, di desa ini terdapat sebuah hutan larangan yang disebut “Hutan Larangan Dusun Buhuk’.
Minggu [14/05/2023], Mongabay Indonesia bersama Yulion Zalpa dan Dian Maulina, peneliti dari FISIP UIN Raden Fatah Palembang, didampingi Artan Ardila [Tokoh Adat Air Dingin Lama] dan Sudirman [Kepala Desa Air Dingin Lama] ke lokasi hutan larangan ini yang luasannya kisaran 18 hektar.
Perjalanan dari Desa Air Dingin Lama ke hutan larangan sekitar tiga kilometer. Menuruni dan mendaki dua bukit dengan ketinggian kisaran 150 meter, serta menyeberangi dua sungai. Yakni Sungai Matalintang dan Sungai Banih, yang bermuara ke Sungai Lematang.
Pintu masuk hutan larangan berupa kawasan hutan bambu seluas 100 meter persegi. Terlihat sejumlah jenis bambu di kawasan yang dulunya dusun tua masyarakat Air Dingin Lama. Misalnya, bambu betung [Dendrocalamus asper], bambu mayan [Gigantochloa robusta], bambu ampel [Bambusa vulgaris], bambu apus [Gigantochloa apus], dan bambu duri [Bambusa blumeana].
Bukti kawasan hutan bambu ini merupakan bekas permukiman yakni keberadaan sejumlah pauk atau kolam yang sudah mengering atau tertimbun dedaunan bambu.
Setelah melewati kawasan bambu, kami masuk kawasan rimba yang ditumbuhi beragam jenis pohon, seperti meranti merah [Shorea selanica (DC.) Blume] dan rasamala [Altingia excelsa].

Beberapa menit masuk ke kawasan rimba, Artan Ardila mengajak kami pulang. Meninggalkan hutan larangan. Beberapa puluh meter dari hutan larangan, dalam perjalanan pulang, Artan menjelaskan alasannya.
“Saat kita masuk tadi, suasana hutan sangat sunyi. Tidak ada suara burung. Kita tidak menemukan ayam hutan dan sarang babi, termasuk suara siamang. Tampaknya tadi ada “si tue”. Demi keamanan kita, ya, kita sebaiknya pulang,” kata Artan.
“Si tue” adalah harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae]. Selain harimau sumatera, di hutan larangan tersebut masih ditemukan beruang madu [Helarctos malayanus], siamang [Symphalangus syndactylus], trenggiling dan burung rangkong.
“Meskipun kawasannya tidak luas, tapi hampir semua satwa ngumpul di sini. Yang tidak ada itu gajah [Elephas maximus sumatranus],” kata Artan.
Guna menjaga keberadaan hutan larangan tersebut, ada sejumlah larangan [hukum adat]. Pertama, tidak boleh merusak, apalagi membuka kebun dan permukiman. Kedua, tidak boleh berburu satwa. “Jika merusak hutan larangan, masyarakat percaya pelakunya akan menerima musibah. Misalnya hilang di hutan, sakit, atau terganggu jiwanya,” kata Artan.
Masyarakat adat juga menunjuk seseorang yang bertugas mengatur air dari tebat ke persawahan dan ke rumah warga, melalui sejumlah siring. “Petugas ini dinamakan Gagang Siring,” kata Artan.
Mereka yang ditunjuk sebagai Gagang Siring adalah jurai tue. Jurai secara harfiah dimaknai sebagai anak keturunan, dalam hal ini anak keturunan dari puyang [nenek moyang], sebagai pendiri permukiman, sementara tue adalah tua. Maka, jurai tue, keturunan tua dari puyang.

Persawahan tua
Air dari hutan larangan Air Dingin Lama [Dusun Buhuk] mengalir di persawahan, tebat dan pauk di Desa Air Dingin Lama dan Air Dingin Lama, yang luasnya sekitar tujuh ribu hektar.
“Luas persawahan di Dusun Air Dingin Lama dan Air Dingin Baru sekitar 62 hektar. Persawahan kami panen dua kali dalam setahun. Selama ini tidak ada persoalan, termasuk di musim kemarau panjang, sebab air dari hutan larangan terus mengalir. Hanya volumenya sedikit berkurang,” kata Sudirman [Kepala Desa Air Dingin Lama].
Mario Andramatik, budayawan Lahat, menjelaskan Air Dingin Lama merupakan permukiman tua masyarakat Besemah di Kabupaten Lahat.
“Persawahan di Air Dingin Lama usianya sudah ratusan tahun. Sehingga tata kelola airnya sangat baik, melalui tebat, siring dan pauk,” kata Mario.
Bukti arkeologi terkait persawahan tua di Air Dingin Lama, adanya artefak megalitikum berupa manusia menunggang kerbau.
“Artefak ini ditemukan di masa pemerintahan Hindia Belanda, awal 1920-an. Tapi, kepala kerbaunya sudah hilang atau dirusak,” jelasnya.