- Penimbunan pesisir terus terjadi di Pulau Batam, Kepulauan Riau. Salah satu seperti yang terjadi di Sungai Ulu Pangkong, Batu Besar, Batam, nelayan Nongsa mulai merasakan dampak dengan kerusakan ekosistem pesisir tetapi tak tahu hendak mengadu ke mana.
- Ali, nelayan Ulu Pangkong mengatakan, reklamasi di bibir sungai menyebabkan sedimentasi cukup luas. Hutan mangrove ikut tertimbun, dan sungai rusak.
- Dari Sei Ulu Pangkong sampai Sungai Kelembak banyak anak sungai. Sungai-sungai itu perlahan tertutup akibat penimbunan.Sungai-sungai ini jadi area tangkap nelayan kecil Nongsa, yang mencari ikan atau kepiting di pinggir-pinggir sungai.
- Soni Riyanto, Ketua Akar Bhumi Indonesia mengatakan, pemerintah tak bisa membiarkan reklamasi ini terus terjadi. Bukan saja lingkungan hidup rusak, tetapi masyarakat dirugikan.
Nelayan Sei Ulu Panglong, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau, tak bisa menahan amarah ketika reklamasi pesisir terus terjadi. Penimbunan pesisir menyebabkan tempat mereka melaut terancam, air keruh, anak sungai tertutup, sampai hutan mangrove ditimbun.
Nelayan mendatangi lokasi kerusakan di Sungai Ulu Pangkong, Batu Besar, Batam, 27 April lalu. Tepat di pesisir sungai, mereka menemukan pengerjaan penimbunan.
Adu mulut pun terjadi antara nelayan dan pekerja. Akhirnya, pekerja hentikan penimbunan.
Mustafa, warga Nongsa terpaksa mendatangi para pekerja reklamasi, karena tak tahu harus mengadu kepada siapa.
“Kami mempertanyakan izin reklamasinya dengan baik-baik, tetapi tidak ditanggapi,” kata Ketua Nelayan Nongsa, akhir April lalu.
Lokasi penimbunan yang diprotes nelayan ini, tepat berada di belakang Rumah Sakit Bhayangkara Polda Kepri. Sungai ini bermuara ke Sungai Kelembak yang mengarah ke laut.
Dari Sei Ulu Pangkong sampai Sungai Kelembak banyak anak sungai. Sungai-sungai itu perlahan tertutup akibat penimbunan.
Tim advokasi Lingkungan Akar Bhumi Indonesia menyusuri Sungai Kampung Kelembak menuju Ulu Panglong menggunakan perahu nelayan, awal Mei lalu. Sepanjang sungai sepanjang empat kilometer itu terdapat setidaknya sembilan anak sungai.
Air sungai keruh berwarna coklat. Tekong kapal harus berhati-hati, pasalnya beberapa bagian sungai sudah mulai dangkal karena sedimentasi penimbunan.
Tepat di tengah perjalanan, di Sei Ulu Buntal, tim menemukan alat berat sedang menurunkan tanah ke arah pesisir (penimbunan). “Sepertinya mereka mau menutup sungai ini,” kata Ali, nelayan di atas kapal yang terus melaju perlahan.
Selang 20 menit, pekerja dan alat berat tiba-tiba bergegas pergi menjauh dari sungai, seolah-olah ketakutan didatangi para nelayan. “Kami langsung melaporkan kejadian ini kepada KPHL Kota Batam,” kata Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi.
Peninjauan terus berlangsung ke Sungai Ulu Pangkong. Lokasi tempat nelayan protes beberapa hari lalu karena penimbunan. Nelayan juga meminta Akar Bhumi Indonesia mengadvokasi kasus ini.
Hendrik mengatakan, temuan lapangan penimbunan diduga mendekati Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai. Kalau tak segera ditangani akan merusak hutan lindung.
Nelayan terdampak
Reklamasi di pesisir Kampung Kelembak, Batu Besar, Nongsa Batam, Kepulauan Riau, menciptakan kerusakan bagi ekosistem dan nelayan. Selain aktivitas itu menutupi anak sungai, reklamasi juga membuat pesisir tercemar hingga berdampak pada tangkapan nelayan.
Ali mengatakan, reklamasi di bibir sungai menyebabkan sedimentasi cukup luas. Hutan mangrove ikut tertimbun, dan ekosistem sungai rusak. Sungai-sungai ini, katanya, jadi area tangkap nelayan Nongsa. Mereka nelayan kecil yang mencari ikan atau kepiting di pinggir-pinggir sungai.
Penimbunan ini sudah berlangsung satu tahun. Nelayan tidak protes selama ini karena menilai belum mempunyai bukti kerusakan yang cukup. Sekarang, penimbunan sudah mendekati hutan lindung. “Sudah satu tahun, mereka timbun pelan-pelan, nimbun sedikit berhenti, nimbun sedikit berhenti, trik orang itulah,” kata Ali.
Dia tak menolak pembangunan di Kota Batam, hanya meminta tidak merusak lingkungan apalagi menimbun bakau. Kelestarian mangrove, sangat berpengaruh pada ketersediaan biota di perairan pesisir ini.
Setidaknya, ada 200 nelayan melaut di sepanjang sungai ini. Mereka terdiri dari beberapa kampung, seperti nelayan Kampung Kelembak, Kampung Terih, Arang Bakau dan Belian.
“Memang mayoritas masyarakat disini nelayan, mereka mencari kepiting, kepiting itu habitatnya di bakau, sekarang bakau sudah hilang,” ujar Mustafa, Ketua Nelayan Nongsa.
Nelayan tak tahu hendak cari ikan kemana setelah tempat mereka rusak. “Kalau (lingkungan) sudah rusak kami tidak tau mau lari kemana, beberapa orang disini cuma tamat SD, kemana mau kerja?”
Sadi, juga nelayan setempat, merasakan perubahan setelah tutupan hutan mangrove terus tergerus, terlebih era 1990-an ke atas. Pada 1970-1980 an kondisi hutan mangrove di Batam masih stabil. Makin ke sini, hasil tangkap ikan pun makin menyusut dan berimbas pada pendapatan.
“Saya cari udang dulu enam kilogram gampang, sekarang cari dua kilo [gram} aja setengah mati,” katanya. Sejalan dengan hutan mangrove yang terus terkikis, jumlah nelayan pun bertambah.
“Saya sudah sejak tahun 90 an megamati kerusakan mangrove ini, Mangrove yang subur sudah berubah menjadi beton,” katanya Mei lalu.
Soni Riyanto, Ketua Akar Bhumi Indonesia mengatakan, pemerintah tak bisa membiarkan reklamasi ini terus terjadi. Bukan saja lingkungan hidup rusak, tetapi masyarakat dirugikan.
Kawasan mangrove, katanya, jadi gugusan terakhir hutan di Nongsa hingga wajib dijaga.
Ip, Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam mengatakan, belum mendapatkan laporan terkait kerusakan pesisir laut di Kampung Kelembak Nongsa.
“Kelembak ya, saya belum dapat laporan, mungkin bawahan saya sudah ada, nanti di cek,” kata Ip kepada Mongabay.
*******