- Warga yang berada di Jabodetabek juga Banten, sudah lebih sebulan ini hidup dengan udara tercemar. Setiap hari sadar maupun tidak, warga terpaksa menghirup racun. Udara sehat dan segar sudah langka. Banyak warga mengeluhkan gangguan kesehatan seperti tenggorokan sakit, batuk, flu dan lain-lain. Sampai September ini, polusi udara terus terjadi.
- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laman resminya menyebut paparan polusi udara akan berdampak buruk bagi kesehatan dalam jangka panjang dan pendek. Seperti infeksi saluran pernapasan, penyakit jantung hingga kanker paru-paru.
- Menurut Bondan, pemerintah baru bergerak ketika isu menahun ini kembali viral. Setelah kondisi udara begitu buruk, pemerintah baru beraksi dengan bentuk satuan kerja untuk atasi pencemaran.
- Pemerintah sudah pernah dihukum bersalah atas polusi udara tahun 2021. Bahkan, beberapa kali pemerintah selalu mengajukan banding atas putusan tahun 2021 itu. Terakhir, Presiden Indonesia dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan kasasi pada awal Januari tahun ini.
Ian Wallis, dengan sepedanya mendapat tantangan besar ketika memasuki area Bogor, Jawa Barat. Sesak dan rasa tidak nyaman di tenggorokan merupakan keluhan pertama pria 65 tahun ini ketika memasuki wilayah Kota Hujan itu dari Puncak, Cianjur, Jawa Barat, 12 Agustus lalu.
“Bayangkan, setelah aku bersepeda menanjak dari Cianjur, tiba-tiba disambut kemacetan dan polusi yang tidak pernah terbayangkan,” ucap pria berjanggut putih ini saat Mongabay hubungi lewat telepon, 23 Agustus lalu.
Wallis adalah pensiunan dari Australian National University. Sejak 1 Mei lalu, ilmuan ini mengayuh sepedanya dari Canberra, Australia, menuju Singapura.
Perjalanannya di berbagai daerah dari Australia, Timor Leste hingga Indonesia memberikan pengalaman unik. Nahas, dia harus melewati Bogor dan Ibu Kota Indonesia, Jakarta, yang mengalami polusi udara parah.
Dari pantauan Mongabay lewat aplikasi nafas, beberapa titik di Kota Bogor menunjukkan catatan kualitas udara buruk. Kecamatan Bogor Timur, misal, alat sensor menunjukkan Air Quality Index rata-rata saat Ian berada di Bogor tanggal 12 Agustus mencapai 152, berarti tidak sehat.
“Kondisi ini sangat berat buat pesepeda. Karena kami membutuhkan oksigen lebih banyak daripada aktivitas biasa,” ucap Wallis, saat dihubungi dia sudah berada di Lampung.
Baca juga: Udara Jabodetabek Buruk, Pemerintah Bentuk Satgas Pengendalian Pencemaran
Secara ilmiah, Wallis menyebut bersepeda membuat tubuh membakar energi lebih banyak daripada orang yang hanya diam. Dengan demikian, tubuh jadi membutuhkan oksigen lebih banyak untuk menyuplai energi.
Pernapasan menjadi lebih cepat, dan udara yang dihirup masuk menjadi lebih banyak. “Aku butuh oksigen tiga kali lebih banyak, dengan demikian aku pun menghirup polusi tiga kali lebih banyak dari orang biasa,” katanya.
Wallis pun merasakan sakit tenggorokan saat Bogor. Dia yakin, kualitas udara yang buruk memengaruhi gangguan di saluran pernapasannya itu.
“Di akhir hari aku bersepeda di seluruh Indonesia, badan ku selalu terasa segar. Tapi, satu-satunya hari di mana aku tidak merasa enak setelah bersepeda adalah saat aku di Bogor,” katanya.
Dia pun menyebut gejala sakit tenggorokan sempat membaik kala menghabiskan waktu empat hari di Singapura untuk membeli sparepart sepeda dan memperbaharui visa. Saat kembali ke Bogor, gejala itu timbul lagi.
Dari Bogor, dia mengayuhkan sepeda ke arah Barat, menuju Pelabuhan Merak, Banten, tanpa melewati Jakarta. Pernapasannya berangsur-angsur membaik kala dia sudah menjejak di Pulau Sumatera.
“Macet di sini (Sumatera), tidak separah di Bogor. Aku lebih merasa nyaman bersepeda di sini,” katanya.
Daisy Irawan, merasa lega kala harus pergi ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, untuk urusan pekerjaan. Walaupun harus meninggalkan rumah selama beberapa hari, pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama ini merasa bersyukur merasakan udara segar karena kota tempat tinggalnya sedang diselimuti polusi parah.
Sejak 19 Agustus lalu, perempuan yang juga sebagai konsultan project development ini mengalami sakit tenggorokan dan batuk akut. Polusi udara dia yakini sebagai biang kerok.
“Tapi kemarin aku sampai ke Labuan Bajo, hari ini di pinggir pantai, aku sudah jauh membarik. Berarti betul kan penyebab utamanya polusi,” ucap Daisy saat dihubungi Mongabay dalam kunjungannya ke Labuan Bajo, 25 Agustus lalu.
Selama ini, Daisy yang tinggal di Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terlindungi dengan beragam pepohonan yang dia tanam di rumah.
Namun, Daisy tidak merasa aman saat keluar rumah. Asap-asap kendaraan dari knalpot yang terjebak kemacetan di jalan-jalan dari Dramaga hingga jantung Kota Bogor memperburuk kualitas udara.
“Angkot di Bogor itu sudah kelewatan. Setiap satu km saja ada 39 angkot (angkutan kota) yang ngetem. Itu gila,” katanya.
Kota Bogor terkenal masalah menahunnya terhadap angkot, ada lebih dari 3.000 angkot di Kota Hujan ini. Walikota Bogor Bima Arya mengamini sebutan Kota Sejuta Angkot yang disematkan pada Bogor dan berjanji memperbaiki masalah transportasi massal ini dengan mensubstitusi angkot ke bus.
Daisy termasuk beruntung karena jarang ke luar rumah. Aktivitasnya sebagai konsultan dan pengisi berbagai workshop bisa dilakukan secara daring.
Dia ke luar rumah kala mengantar Ian Wallis berkeliling Bogor.
Selama seminggu Daisy banyak beraktivitas di luar rumah. Naik kendaraan umum hingga mengunjungi tempat terbuka seperti Kebun Raya Bogor.
“Di angkot-angkot di Bogor itu hampir semua penumpang batuk-pilek.”
Daisy memiliki riwayat asma. Kondisi ini membuat gejala sakit yang dialaminya sukar sembuh.
Tidak semua memiliki kesempatan keluar kawasan berpolusi Jabodetabek seperti Daisy. Andreas Harsono, misal, justru terjebak di udara beracun ini.
Di tengah kesibukan hariannya, periset Human Rights Watch ini masih harus beraktivitas ke luar rumah, di Senayan, Jakarta Selatan, seperti mengantar-jemput anaknya sekolah. Kalau tidak ada pertemuan di luar rumah, Andreas sudah berada di rumah pukul 10.00 pagi dan menghabiskan sebagian besar bekerja dari rumah.
“Kalau anak saya bisa sekolah daring, saya pastikan kami sekeluarga akan meninggalkan Jakarta,” katanya saat dihubungi, 24 Agustus lalu.
Paparan polusi udara berlebihan nyatanya berdampak buruk baginya. Beberapa hari terakhir dia merasakan sakit tenggorokan, batuk dan pernapasan berat.
Di rumah, dia sudah memasang air purifier. Kondisi polusi sangat tinggi membuat upaya itu seperti tidak berpengaruh.
Dari pantauan Mongabay di laman iqair.com, indeks kualitas udara di stasiun pemantau kualitas udara di GBK yang merupakan titik terdekat dari rumah Andreas tidak pernah menunjukkan kategori sehat. Dalam laman itu, sejak 21 Agustus, indeks kualitas udara selalu berwarna oranye dan merah yang artinya tidak sehat bagi pernapasan.
Andreas pun coba untuk ‘lari’ dari Jakarta ke Maja, Banten, justru tetap dicengkram polusi. Stasiun pemantauan kualitas udara terdekat dari Maja, di Cikande, Serang, terlhat di laman iqair.com mencatat kualitas udara tidak sehat hingga September ini.
“Level kualitas udara yang seperti ini mengerikan sekali,” katanya. Tenggorokannya sensitif hingga udara buruk seperti ini langsung ganggu pernapasannya.
Kekhawatiran Andreas beralasan. Pasalnya, American Lung Association mencatat anak-anak, lansia, hingga orang dengan penyakit pernapasan sebagai pihak yang rentan polusi udara. Selain itu, orang dengan aktivitas tinggi di luar ruangan, seperti Wallis, pun masuk dalam kategori ini.
***
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laman resminya menyebut paparan polusi udara akan berdampak buruk bagi kesehatan dalam jangka panjang dan pendek. Seperti infeksi saluran pernapasan, penyakit jantung hingga kanker paru-paru.
Dalam laman itu, WHO menyebut peran pemerintah dalam menurunkan emisi dan mengikuti standar petunjuk kualitas udara WHO sebagai saluh satu cara untuk menanggulangi polusi udara. Selain itu, investasi pada riset dan pendidikan terkait udara yang bersih dan polusi juga menjadi hal yang perlu dilakukan.
Sayangnya, Pemerintah Indonesia masih tidak menunjukkan hal itu. Hal ini dikatakan Bondan Andrinayu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia saat dihubungi Mongabay, 28 Agustus lalu.
Menurut Bondan, pemerintah baru bergerak ketika isu menahun ini kembali viral. Setelah kondisi buruk, pemerintah baru beraksi dengan bentuk satuan kerja untuk atasi pencemaran.
Padahal, pemerintah sudah pernah dihukum bersalah atas polusi udara tahun 2021.
“Pemerintah selalu denial soal itu. Selalu tanya data dari mana, dan bilang kalau kualitas udara sedang,” kata Bondan.
Bahkan, beberapa kali pemerintah selalu mengajukan banding atas putusan tahun 2021 itu. Terakhir, Presiden Indonesia dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan kasasi pada awal Januari tahun ini.
Padahal, akibat polusi udara sudah nyata dirasakan oleh masyarakat. Dilansir Antara, Guru Besar dalam Bidang Pulmonologi dalam Bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Agus Dwi Susanto, SpP(K) menyebut lebih dari 123.000 orang di Indonesia meninggal karena polusi udara setiap tahun.
“Data-data itu sebenarnya banyak bertebaran, tapi pemerintah tidak ada keinginan untuk menjadikan ini sebagai urgensi kebijakan soal polusi udara,” katanya.
Pemerintah sebut Bondan cenderung menutup mata terhadap kajian ilmiah. Kajian Greenpeace bertajuk Jakarta’s Silent Killer pernah disebut tidak ilmiah dan ditampik pemerintah.
Pun demikian dengan kajian Crea terkait pencemaran udara lintas batas di Jakarta. Dalam kajian pada 2020, Crea menyebut, ada 136 fasilitas industri terdaftar, termasuk pembangkit listrik, yang bergerak di sektor-sektor dengan emisi tinggi di Jakarta dan berada dalam radius 100 km dari batas administrasi Jakarta sebagai faktor utama penyebab polusi tinggi.
“Kita yang di luar pemerintah itu melakukan riset demikian, ya, karena tidak ada data resmi dari pemerintah. Sekarang coba pemerintah jelaskan referensi resmi pencemaran ini ada di mana?” katanya.
Pemerintah, hanya berfokus pada mengategorisasi sumber pencemaran. Belum mendetail jenis polutan dan sumber polutannya sebagaimana hasil kajian dari masyarakat sipil selama ini.
“Jangankan sumber pencemar, stasiun pantau saja sedikit di daerah luar seperti Depok, Bogor, dan Tangerang. Bagaimana kita bisa bertindak jauh mengatasi hal ini?” kata Bondan.