- Pari totol biru [Taeniura lymma] memiliki warna yang cantik dan mencolok ketika bersembunyi di antara terumbu karang. Namun, seperti kebanyakan ikan pari, ia punya dua duri sengatan di pangkal ekor yang siap mencambuk saat merasa terancam.
- Salah satu spesies ikan pari [stingray] dari keluarga Dasyatidae ini juga punya perilaku makan yang unik, dan di alam liar hanya hiu martil yang punya teknik khusus untuk melumpuhkan sengatan ekornya.
- Di balik status Risiko Rendah [IUCN Red List], pari totol biru juga diinformasikan mulai sulit ditemui, seiiring dengan penangkapan ikan berlebih serta degradasi habitat terumbu karang di wilayah perairan tropis.
- Penelitian terbaru Sherman et al., [2023] menyatakan, sekitar dua pertiga [59 persen] dari 134 spesies hiu dan pari yang berasosiasi dengan terumbu karang terancam punah. Ini terjadi dalam jangka waktu sangat singkat [50 tahun terakhir].
Di alam liar, warna mencolok pada tubuh hewan bukan pertanda baik, melainkan sinyal bagi siapapun untuk segera menjauh. Setidaknya itulah isyarat pari totol biru [Taeniura lymma] kepada setiap predator di lautan.
Salah satu spesies ikan pari [stingray] dari keluarga Dasyatidae ini, punya dua duri sengatan di pangkal ekor yang siap mencambuk saat merasa terancam. Pada manusia, sengatan berbisa pari totol biru cukup menyakitkan.
Segera setelah menyengat, duri beracunnya akan tertancap, sehingga menimbulkan efek nyeri, pembengkakan, dan pendarahan akibat trauma mekanis.
“Dalam kasus trauma mekanis besar, kerusakan jaringan yang signifikan dapat terjadi dan jika pembuluh darah besar terputus, dapat terjadi exsanguination [kematian akibat kehilangan darah]. Demikian pula, jika dada atau perut tertusuk, luka dalam yang parah dan bahkan mematikan dapat terjadi. Cedera ini mungkin tidak segera terlihat, kematian yang tertunda mungkin terjadi,” dikutip dari website resmi toxinology.com, University of Adelaide, Australia.
Dari sumber yang sama dijelaskan, penanganan sementara dengan merendam bagian tubuh yang tersengat di air panas, masih kontroversial di kalangan para ahli. Beberapa berpendapat dapat mengurangi rasa sakit, tapi yang lain merasa hal tersebut tidak ada gunanya.
“Untuk cedera dari ikan pari, pengalaman menunjukkan bahwa perendaman dalam air panas seringkali sangat efektif dalam meredakan nyeri dan oleh karena itu harus selalu dipertimbangkan. Namun, jika digunakan secara tidak benar, bahan ini berpotensi berbahaya karena dapat menyebabkan luka bakar.”
Cara ini biasanya akan berpengaruh jika proses perendaman dilakukan sekitar 15-20 menit. Setelahnya, efek nyeri akan kembali, sehingga proses perendaman harus dilakukan berulang hingga empat kali. Jika nyeri tidak reda, dibutuhkan intervensi medis lebih lanjut. Jadi, alangkah lebih bijak untuk menghindarinya.
Baca: Hiu Tikus, Spesies yang Menggunakan Ekor Panjangnya untuk Berburu Mangsa

Di lautan, selain manusia, setidaknya hanya hiu martil [Sphyrna mokarran] yang berani menjadi predator alami ikan pari totol biru. Dengan kepala martilnya, ia menekan, sembari mengigit tubuh pari totol biru ke dasar pasir.
“Hiu martil dapat menghindari sengatan duri beracun di ekor pari dengan menjepit ikan pari ke bawah [Taylor, 1997],” dikutip dari Animal Diversity Web, University of Michigan.
Dari sumber yang sama diterangkan, ikan pari totol biru terbilang pemalu dan lebih memilih menjauh ketika didekati para penyelam. Uniknya, ia juga jarang membenamkan dirinya di dalam pasir untuk menghindari predator, melainkan memilih untuk bersembunyi di celah-celah terumbu karang saat air surut.
“Taeniura lymma memiliki perilaku makan sangat berbeda. Saat air pasang, ia bermigrasi secara berkelompok ke daerah berpasir dangkal di dataran pasang surut untuk memakan cacing pasir, udang, kelomang, dan ikan kecil. Saat air surut, ia kembali ke laut, biasanya bersembunyi di celah-celah terumbu karang,” lanjutnya.
Untuk ukurannya yang kecil [diameter tubuh hingga 35 centimeter], pari totol biru punya area sebaran yang luas. Paling banyak di perairan tropis hingga sedang Indo-Pasifik Barat. Mereka dapat ditemukan di kedalaman hingga 25 meter dan juga tercatat tersebar di lokasi mulai dari Afrika bagian selatan dan Laut Merah hingga Kepulauan Solomon.
Baca: Pari Kekeh dan Pari Kikir Kini Terancam Langka

Status
Dalam IUCN Red List, status pari totol biru masih Least Concern atau kategori Risiko Rendah untuk kepunahan di alam liar. Populasinya juga tercatat meningkat, tapi apakah ini pertanda baik?
Belum tentu, dalam IUCN dijelaskan bahwa, meningkatnya populasi pari totol biru berkaitan dengan terus menurunnya populasi hiu selaku predator alami.
“Terdapat bukti bahwa peningkatan populasi yang diamati di Asia Tenggara berkaitan dengan penurunan kehadiran hiu akibat penangkapan ikan yang berlebihan [Sherman dkk. 2020],” dikutip dari situs resmi IUCN Red List.
Di sisi lain, dari sumber yang sama, perubahan iklim global menyebakan peristiwa pemutihan karang dalam skala besar dan semakin sering menyebabkan degradasi terumbu karang di seluruh dunia sejak 1997.
“Hampir semua terumbu karang di perairan hangat diperkirakan akan mengalami kehilangan wilayah yang signifikan dan kepunahan lokal, bahkan jika pemanasan global dibatasi hingga 1,5 derajat Celcius [Laporan IPCC 2019],” lanjutnya.
Dengan kata lain, populasi pari totol biru juga punya potensi terancam di masa depan, seiring dengan hilangnya habitat terumbu karang. Ini diperburuk dengan informasi bahwa, meskipun menjadi tangkapan umum di sejumlah negara, ikan pari totol biru mulai menunjukkan ancaman penurunan populasi.
Seperti di Myanmar, survei di pasar ikan pada 2020 melaporkan tidak ada satupun ikan pari totol biru yang ditemukan. Spesies ini dilaporkan dari Bangladesh pada 2011 dan 2014, namun belum ada catatan pendaratan sejak 2017.
“Hal ini mungkin disebabkan oleh sedikitnya luas terumbu karang di Zona Ekonomi Eksklusif Bangladesh [A. Haque unpubl data 2020]. Di India, hanya sedikit Ikan pari totol biru yang ditangkap dan didaratkan, dan tidak ada individu yang teramati dalam beberapa tahun terakhir [KK Bineesh unpubl. data 2020],” terang IUCN Red List.
Baca: Kota Apung Futuristis Ini Terinspirasi Pari Manta

Paling terancam
Penelitian terbaru Sherman et al., [2023] yang menggunakan Daftar Merah IUCN untuk mengukur status, lintasan, dan ancaman semua hiu dan pari terumbu karang di seluruh dunia menyatakan, sekitar dua pertiga [59 persen] dari 134 spesies hiu dan pari yang berasosiasi dengan terumbu karang terancam punah.
Sumber yang sama menyatakan, hiu dan pari merupakan kelompok paling terancam kedua dari 4.918 spesies yang ditemukan di terumbu karang yang telah dinilai berdasarkan Kategori dan Kriteria Daftar Merah. Sementara yang pertama adalah mamaliat laut yang terdiri dari spesies lumba-lumba dan ikan duyung.
Namun, diantara pari dan hiu, ternyata ikan pari 60 persen lebih terancam dibandingkan hiu [53 persen].
“Hanya satu spesies ikan pari pita atau totol biru, yang jumlahnya meningkat secara global, berdasarkan perkiraan kelimpahan dari seluruh wilayah jelajahnya,” tulis penelitian yang terbit dalam jurnal nature.com itu.
Baca: Ada Apa dengan Dugong?

Terlindunginya spesies pari totol biru berkaitan dengan perilakunya yang sering bersembunyi di antara terumbu karang, sehingga tidak mudah ditangkap menggunakan alat tangkap yang menjadi ancaman utama kepunahan hiu dan pari.
“Penangkapan ikan yang berlebihan merupakan ancaman utama yang dilaporkan dan merupakan penyebab utama penurunan populasi, sehingga menyebabkan penurunan drastis dalam jangka waktu yang sangat singkat [yaitu 50 tahun terakhir],” lanjut Sherman et al.
Diketahui, hiu dan pari memainkan peran penting dan fungsional dalam ekosistem terumbu karang. Ada atau tidaknya hiu dan pari akan mempengaruhi kelimpahan dan perilaku spesies lain.
“Tanpa tindakan berskala luas untuk memperbaiki status hiu dan pari di terumbu karang, penurunan populasi global yang dilaporkan di sini akan terus berlanjut, dengan dampak yang semakin buruk terhadap kesehatan ekosistem terumbu karang dan masyarakat pesisir yang bergantung pada hiu dan pari tersebut,” tegasnya.
Referensi jurnal:
Sherman, C. S., Simpfendorfer, C. A., Pacoureau, N., Matsushiba, J. H., Yan, H. F., Walls, R. H. L., Rigby, C. L., VanderWright, W. J., Jabado, R. W., & Pollom, R. A. (2023). Half a century of rising extinction risk of coral reef sharks and rays. Nature Communications, 14(1), 15.