- Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pemerintah Indonesia dalam waktu setahun ke depan, saat kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota resmi dimulai pada 1 Januari 2025
- Di antara pekerjaan rumah itu, sosialisasi masih menjadi tugas paling besar dan utama yang harus dikerjakan Pemerintah. Item tersebut dinilai masih belum maksimal dan menyasar masyarakat perikanan secara umum
- Waktu setahun ke depan, harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menutup semua kekurangan menjelang penerapan PIT. Termasuk, membuktikan bahwa penundaan penerapan adalah karena faktor persiapan yang masih sangat kurang
- Jika itu tidak bisa dimanfaatkan, maka penilaian bahwa penundaan bukan karena factor ketidaksiapan, melainkan faktor politik adalah alasan yang tepat. Sebabnya, pada 14 Februari 2024 akan digelar pemilihan umum serentak di seluruh Indonesia
Sejatinya, 1 Januari 2024 akan menjadi hari bersejarah bagi dunia perikanan di Tanah Air. Hari tersebut menjadi awal pelaksanaan dari kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota yang sudah direncanakan sejak dua tahun yang lalu.
Namun, 28 hari menjelang penerapan atau pada 4 Desember 2023, secara mengejutkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan surat edaran tentang relaksasi kebijakan pada masa transisi pelaksanaan PIT.
Surat tersebut ditandatangani sendiri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dan diedarkan resmi oleh Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Agus Suherman.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menganalisis kalau penundaan tersebut dilatarbelakangi alasan politis yang berasal dari Menteri KP dan/atau pihak lain yang sedang berkuasa saat ini di Indonesia.
Alasan politis tersebut diduga kuat bertujuan untuk mengamankan target suara pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang akan berlangsung pada 14 Februari 2024. Dengan demikian, diharapkan suara dari masyarakat perikanan tidak mengalami gangguan untuk pasangan calon tertentu.
Namun demikian, dia mengatakan kalau PIT memang dinilai masih belum siap untuk diterapkan pada 1 Januari 2024. Masih banyak hal yang perlu dibenahi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat perikanan, khususnya nelayan kecil, pra dan pasca melaut.
“Misalnya, mekanisme perizinan dan akses terhadap BBM (bahan bakar minyak). Meski sebagian sudah dilakukan digitalisasi, namun terkadang justru menjadi hambatan antara pusat dan daerah,” ungkap dia.
baca : Catatan Akhir Tahun: Mengukur Kesiapan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Selain alasan di atas, kapasitas pengawasan di laut juga menjadi persoalan yang harus segera diatasi. Belum memadainya pengawasan, dinilai menjadi kendala yang memerlukan pemerataan sumber daya manusia (SDM) dan alokasi anggaran yang memadai, juga tepat guna.
“Kentara sekali bukan sains yang memimpin pengambilan keputusan berkenaan dengan kebijakan PIT, melainkan pure ekonomi, dan belakangan elit politik,” tambah dia.
Di sisi lain, walau pelaksanaan PIT dijanjikan akan dimulai pada 1 Januari 2025, namun Abdul Halim melihat bahwa peluang kebijakan tersebut diterapkan masih setengah-setengah. Hal itu, karena kebijakan PIT mendapat reaksi beragam, ada yang pro dan kontra.
Jika melihat reaksi berbeda, terutama yang menolak terhadap kebijakan tersebut, maka peluang untuk dimulai pada 2025 juga semakin mengecil. Semua itu sangat bergantung kepada Presiden RI yang baru terpilih nanti, diikuti Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru.
Agar peluang PIT tetap terbuka lebar untuk diterapkan pada 2025 nanti, dia menyarankan agar persiapan bisa dilakukan dengan maksimal sejak dari sekarang. Persiapan mendasar, salah satunya adalah pembaruan data berkaitan dengan stok ikan yang tersedia, beserta jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB).
“Bila hal ini tidak tersedia, pertanyaan besarnya adalah apa rujukan untuk pembagian kuotanya?” ucap dia.
baca juga : Lika Liku Penangkapan Ikan Terukur
Minimnya Pemahaman PIT
Tentang reaksi beragam, termasuk penolakan terhadap kebijakan PIT, terekam juga oleh Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia melalui jajak pendapat yang dilakukan dalam jaringan (daring). Kegiatan tersebut bertujuan untuk memetakan tanggapan Masyarakat terdampak atas kebijakan PIT.
Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan menyebut apa saja hasil dari survei yang dilakukan timnya itu. Pertama, responden meyakini bahwa konsep PIT tidak merata dipahami oleh masyarakat perikanan secara umum.
Namun, PIT diyakini hanya dipahami secara terbatas oleh kelompok masyarakat tertentu sebatas penangkapan ikan berbasis kuota, perubahan formula perizinan PIT, penangkapan ikan berbasis zona, dan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) pascaproduksi.
Para responder menyatakan, munculnya pemahaman secara parsial, karena dipicu sumber sekunder untuk mendapatkan informasi tentang kebijakan PIT. Sumber sekunder yang dimaksud, tidak lain adalah platform kekinian seperti media sosial dan media massa, dan bukan pihak pelabuhan atau wakil Pemerintah.
Peneliti DFW Indonesia Felicia Nugroho menilai, masih adanya pemahaman yang parsial tentang kebijakan PIT, menunjukkan bahwa Pemerintah masih belum proaktif untuk menyebarluaskan informasi tentang PIT.
Padahal, kebijakan PIT mencakup juga tentang pengaturan zonasi, atau penangkapan ikan berbasis kuota. Oleh karena itu, seharusnya pihak terdampak dari kebijakan tersebut bisa memahami apa dampak dari penerapan PIT dalam kehidupan mereka.
Atau, bagaimana pihak terdampak memahami pra kondisi untuk mendorong implementasi, dan cara mengimplementasikan kebijakan. Di luar itu, mayoritas responden survei menyatakan bahwa kebijakan PIT dinilai tak memberi manfaat kepada mereka atau masyarakat perikanan di Indonesia.
Penyebarluasan informasi tentang kebijakan PIT memang menjadi kunci agar penerapannya pada 2025 nanti bisa sukses dan efektif. Sayangnya, walau Pemerintah sudah melaksanakan sosialiasi PIT ke berbagai lapisan masyarakat, mayoritas responden justru mengaku tidak mendapatkannya dari Pemerintah.
Selain itu, walau masyarakat sudah mendapatkan sosialisasi, namun itu belum efektif karena pengetahuan mereka minim. Itu terlihat dari responden yang tidak paham tentang PNBP, penjatuhan sanksi apabila tidak mematuhi aturan, dan perubahan mekanisme perizinan.
baca juga : Koral: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Memperburuk Kehidupan Nelayan
Felicia Nugroho mengatakan, di luar keterbatasan masyarakat memahami sosialisasi PIT, kendala lain kenapa pemerataan informasi masih belum terjadi, adalah karena sosialisasi dilakukan tidak secara menyeluruh kepada setiap kelompok nelayan yang ada.
Mereka yang ikut menjadi responden adalah para pemilik kapal dengan ukuran 5 gros ton (GT) sampai 30 GT, nelayan skala kecil dengan kapal berukuran kurang dari 5GT, pelaku usaha perikanan, dan pengurus kapal.
Dia menyebut kalau sosialisasi yang sudah dilaksanakan ternyata juga tidak menyasar pada nelayan kecil, namun hanya pengurus dan pemilik kapal. Fakta itu muncul, karena hanya empat persen saja nelayan kecil yang mengikuti sosialisasi.
Sosialisasi Substansial
Kurangnya sosialisasi Pemerintah kepada pelaku usaha dan nelayan terkait pelaksanaan aturan PIT, menyebabkan ketidakjelasan informasi yang diterima. Aturan PIT tersebut mencakup tentang penerapan kuota, e-PIT, dan PNPB pascaproduksi.
“Situasi ini menunjukan sosialisasi tidak dijalankan secara substansial,” terang dia.
Melihat fakta yang sudah bermunculan tersebut, bisa diambil pelajaran bahwa sosialiasi harus dilaksanakan sejak awal mula kebijakan masih dalam tahap perumusan. Jangan sampai, sosialisasi baru dilaksanakan setelah perumusan selesai dan kebijakan ditetapkan.
Selain itu, Felicia Nugroho mengatakan kalau materi sosialisasi tidak boleh hanya informasi tentang implementasi aturan saja. Namun juga, mencakup dasar-dasar ilmiah dan yuridis tentang penerapan aturan yang dimaksud, beserta dampak yang akan terjadi, dan proses perumusan dari awal.
Miftahul Choir, peneliti DFW Indonesia lainnya mengatakan, untuk melaksanakan kebijakan PIT pada 1 Januari 2025, diperlukan kesiapan infrastruktur, birokrasi, dan sumber daya manusia. Namun sayang, kesiapan tersebut masih dipertanyakan sampai saat ini, meskipun itu menjadi tantangan utama kebijakan PIT.
Dia menyebut, persoalan tersebut muncul karena berhubungan dengan sosialiasi kurang efektif, salah satunya karena pemahaman petugas yang masih terbatas tentang kebijakan PIT. Tanpa pemahaman yang utuh, maka itu berdampak pada kualitas implementasi.
baca juga : Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?
Kurangnya pemahaman, juga terjadi pada sosialiasi e-PIT yang menjadi bagian dari implementasi PIT nanti. Pada tahapan tersebut, kapten kapal perikanan akan bertugas untuk memasukkan data tentang jumlah tangkapan.
Data tersebut akan berguna untuk mengetahui besaran PNPB yang harus dibayarkan kapal kepada Negara. Namun sayang, lagi-lagi mayoritas responden tidak mengetahui tentang aplikasi e-PIT yang akan menjadi garda utama penerapan PIT.
Kesiapan fasilitas infrastruktur yang dinilai masih belum bagus, adalah lokasi timbangan atau pendaratan ikan yang ada di seluruh pelabuhan perikanan. Tanpa kedua item itu, maka kualitas ikan berpotensi akan mengalami penurunan karena harus terpapar sinar matahari secara langsung.
“Beberapa responden juga mendeskripsikan proses bongkar-muat ikan menjadi lebih lama yang akan berimbas kepada waktu tunggu awak kapal dan parkir kapal yang lebih lama,” urainya.
Persoalan lain yang juga harus bisa diantisipasi, adalah konflik yang bisa muncul kapan saja antara nelayan lokal dan perusahaan asing. Potensi tersebut bisa muncul, karena ada pembagian zonasi industri dan zonasi nelayan, di mana wilayah nelayan tradisional hanya sampai 12 mil, dan ada migrasi perizinan dari daerah ke pusat.
Selain nelayan dengan perusahaan, konflik juga berpotensi akan muncul antar nelayan, disertai munculnya kekhawatiran penyalahgunaan kuota tangkapan. Potensi tersebut muncul, karena Pemerintah sampai sekarang masih belum menetapkan aturan tentang mekanisme pembagian kuota.
Miftahul Choir menambahkan, tidak adanya keterlibatan nelayan dalam pembuatan kebijakan PIT, juga akan memicu kekhawatiran bahwa kuota tangkapan akan dikuasai para pelaku usaha. Potensi masalah tersebut juga harus bisa diantisipasi dengan menerapkan transparansi dalam setiap tahapan proses.
Beragam kendala dan potensi masalah yang sudah dipaparkan di atas, sudah seharusnya bisa diantisipasi oleh Pemerintah. Terlebih, dengan tambahan waktu persiapan selama 12 bulan, maka segala kekurangan harus bisa dilengkapi dengan lebih leluasa, lengkap, dan terbaik.
baca juga : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
DFW Indonesia membuat rekomendasi untuk bisa membantu Pemerintah melaksanakan persiapan dan memastikan efektivitas penerapan PIT nanti bertujuan salah satunya untuk mewujudkan kesejahteraan nelayan.
- Perlunya sosialisasi pemerintah yang menyasar nelayan terkait pelaksanaan aturan PIT, baik penerapan kuota, e-PIT, dan PNPB pascaproduksi;
- Memastikan kejelasan penjelasan kebijakan yang diberikan petugas di lapangan untuk implementasi serta keadilan mengenai pembagian kuota tangkapan;
- Responden menghendaki penyederhanaan proses perizinan dan administrasi serta memberi kewenangan kepada pelabuhan perikanan samudera (PPS) di daerah untuk pelaksanaan PIT;
- Pemerintah disarankan untuk memastikan kesiapan petugas, anggaran dan infrastruktur sebelum memberlakukan PIT di 171 pelabuhan sasaran kebijakan PIT. Selain itu perlu pengawasan yang jujur dan transparan dalam timbangan di pelabuhan;
- Pemberian perlindungan kepada nelayan skala kecil dari kapal asing atau investor yang beraktifitas tangkap skala besar yang merugikan sumber daya ikan dan lingkungan;
- Perlunya kajian kesiapan dan kemungkinan penundaan pelaksanaan jika diperlukan.
Seperti diketahui, KKP menerbitkan Surat Edaran tentang Relaksasi Kebijakan pada Masa Transisi Pelaksanaan Penangkapan Ikan Terukur pada 4 Desember 2023. Salah satu poin dari surat tersebut, adalah pemberitahuan penundaan penerapan PIT dari semula pada 2024 menjadi 2025.
Penundaan tersebut berimbas pada rencana penerapan penarikan PNBP untuk pemberian kuota penangkapan, PNBP untuk pemindahan kuota penangkapan ikan, dan PNBP bagi perizinan berusaha yang diterbitkan oleh gubernur. Ketiganya mengalami penundaan.
Ada pun, kebijakan PIT membagi area penangkapan kepada tiga, yaitu tangkapan industri, nelayan lokal, dan spawning and nursery ground. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah 9.452.072 ton per tahun, dengan nilai total produksi total se-Indonesia mencapai Rp229,3 triliun.
Berdasarkan PP 11/2023, ada enam zona PIT dengan rincian sebagai berikut:
- Zona 01: Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara;
- Zona 02: WPPNRI 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera);WPPNRI 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik); dan Laut Lepas Samudera Pasifik
- Zona 03: WPPNRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau); WPPNRI 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur); dan WPPNRI 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda)
- Zona 04: WPPNRI 572 (perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda); WPPNRI 573 (perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat); dan Laut Lepas (Samudera Hindia)
- Zona 05: WPPNRI 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman)
- Zona 06: WPPNRI 712 (perairan Laut Jawa); dan WPPNRI 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali)