- Organisasi masyarakat sipil di Kawasan Timur Indonesia menilai, visi misi tiga calon presiden dan calon wakil presiden 2024-2029 masih lemah dalam narasi kedaulatan pangan, perikanan berkelanjutan, dan juga konservasi laut berbasis masyarakat.
- Isi dokumen visi misi para calon presiden dan wakil masih sebatas janji politik untuk mendapatkan dukungan publik.
- Pada semua kandidat pasangan tidak ditemukan tentang konservasi laut, konservasi lokal, konservasi berbasis masyarakat, perlindungan laut dan pesisir atau konservasi pulau.
- Padahal, konservasi laut berbasis masyarakat sebagaimana yang dilakukan masyarakat adat atau masyarakat lokal memberi bukti terjaganya lingkungan.
Organisasi masyarakat sipil di Kawasan Timur Indonesia menilai, visi misi tiga calon presiden dan calon wakil presiden 2024-2029 masih lemah dalam narasi kedaulatan pangan, perikanan berkelanjutan, dan juga konservasi laut berbasis masyarakat. Baik itu yang dikelola masyarakat adat maupun masyarakat lokal di pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Isi dokumen visi misi masih sebatas janji politik untuk mendapatkan dukungan publik,” ungkap Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut [YKL], Kamis [18/1/2024].
Nirwan membedah dokumen tersebut pada webinar bertajuk, “Meneropong Visi Misi Capres dan Cawapres 2024-2029: Melihat Masa Depan Negara Kepulauan Indonesia. Mewujudkan Kedaulatan Pangan, Perikanan Berkelanjutan, dan Konservasi Berbasis Lokal di Pesisir dan Pulau Kecil”.
Menurut dia, ketiga kandidat memiliki perhatian terhadap pangan dan memiliki istilah khusus. Misalkan, pasangan nomor urut 1 menggunakan kata “kemandirian pangan”, nomor urut 2 memakai “swasembada pangan”, dan nomor urut 3 menggunakan “kedaulatan pangan”.
Namun, yang sangat disayangkan pada semua kandidat pasangan tidak ditemukan tentang konservasi laut, konservasi lokal, konservasi berbasis masyarakat, perlindungan laut dan pesisir atau konservasi pulau.
“Kami menemukan misi pasangan nomor urut 1 yang mencantumkan menjaga ekosistem laut dan pesisir, namun belum bisa dipastikan apakah pengelolaannya berbasis masyarakat atau tidak. Padahal, konservasi laut berbasis masyarakat sebagaimana yang dilakukan masyarakat adat atau masyarakat lokal memberi bukti terjaganya lingkungan,” ujar Nirwan.
Baca: Lingkungan Sumatera Makin Terancam Masa Pemilu, Walhi Tuntut 7 Agenda Pemulihan

Laksmi Adriani Savitri dari Fian Indonesia menyebut, ketiga pasangan tidak memiliki perspektif hak atas pangan dan gizi. Pangan adalah hak, bukan komoditi atau alat penyeimbang neraca perdagangan. Bukan pula akumulasi keuntungan para elit.
“Ketiga pasangan calon masih melihat pangan sebagai komoditi. Kebijakan ekonomi ekstraktif dan perubahan iklim dalam satu dekade terakhir menjadi faktor struktural yang memperburuk krisis pangan di pesisir dan pulau-pulau kecil.”
Savitri menyebut, kondisi pangan di pulau-pulau kecil semakin buruk dengan kehadiran industri ekstraktif seperti pertambangan. Merujuk data dan angka, di pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki konsesi pertambangan, justru memiliki angka cukup tinggi dalam hal stunting.
Stunting adalah kelaparan tersembunyi atau sebagai proses menuju kelaparan. Ditemukannya banyak angka stunting di berbagai daerah, membuktikan bahwa akses terhadap pangan itu tidak ada.
“Perubahan yang dibutuhkan dari bawah adalah memperkuat sistem pangan lokal berbasis kelas sosial, keadilan gender, dan relasi antar generasi. Sementra perubahan dari atas yang diperlukan yaitu kebijakan spesifik berbasis karakter sosial ekologis dan budaya kepulauan berperspektif hak atas pangan dan gizi,” ujarnya.
Baca: Alat Peraga Kampanye Pemilu Merusak Pohon di Banda Aceh, Solusinya?

Konservasi
Toriyanus Kalami, masyarakat adat Malaumkarta, Papua Barat, mengaku pesimis dengan ketiga kandidat karena tidak mengakomodir kepentingan masyarakat adat. Salah satu indikasi, hingga saat ini RUU Masyarakat Adat belum direalisasikan. Padahal masyarakat adat memberikan sumbangsih besar dalam menjaga sumber daya alam.
Toryanus menjelaskan, dalam konteks tata ruang laut, Suku Moi yang ada di Malaumkarta memiliki konsep sendiri dengan membuat pembagian berdasarkan zona tradisional. Sebut saja, egek [zona pemanfaatan], kofok [pemanfaatan terbatas], dan soo [zona inti].
“Konservasi adalah kata yang asing bagi kami, namun jika bicara perlindungan laut atau melindungi hutan, kami punya konsep tersendiri. Kami sudah mendeklarasikan penggunaan kawasan laut serta perlindungan satwa dan hutan. Banyak pihak mendukung upaya kami,” ungkapnya.
Zulham Harahap, akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun, Ternate, menjelaskan pengelolaan pulau-pulau kecil tanpa perlu adanya industri ekstraktif, seperti terjadi saat ini di wilayah timur Indonesia. Contohnya, pengelolaan wilayah laut seperti di Bunaken, Sulawesi Utara, atau Raja Ampat di Papua Barat.
“Pengelolaan pulau-pulau kecil harus mendapat perhatian, tanpa menghadirkan industri yang merusak sebab akan berkaitan dengan generasi mendatang,” ujarnya.
Baca juga: Sensus BRUIN 2023, Sampah Plastik Persoalan Utama di Indonesia

Surat untuk calon presiden
Keresahan atas berbagai persoalan lingkungan juga menjadi alasan Aeshnina Azzahra Aqilani, siswi kelas XI asal Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, menulis surat kepada para calon presiden. Tujuannya, agar dapat dipahami sebagai kebutuhan dan harapan mendasar generasi penerus.
Aeshnina mengajak siswa dari sejumlah sekolah di Gresik yaitu SD Muhammadiyah 1 dan SD Ya Bunaya di Wringinanom, SMA Negeri 1 Krembung di Sidoarjo, serta para pelajar yang tergabung dalam Polisi Air Wonosalam di Jombang, untuk menulis surat kepada para calon presiden.
“Surat saya mengenai penegakan regulasi lingkungan. Terutama, pelarangan penggunaan plastik sekali pakai, pelarangan membakar plastik, serta pelarangan membuang sampah atau limbah ke sungai,” paparnya, Senin [15/1/2024].
Aeshnina meminta pemerintah menyediakan tempat pembuangan sementara [TPS] sampah secara menyeluruh di setiap desa atau kelurahan. Termasuk, di daerah terpencil dan pelosok. “Tidak ada TPS membuat sampah dibuang sembarang, termasuk di sungai.”
“Sungai di tempat kami tercemat limbah pabrik. Sampah plastik impor dan sampah elektronik juga ditemukan di Sidoarjo. Kami berharap Presiden 2024 membebaskan sungai di Sidoarjo dari pencemaran,” tambah Dian Rahma, siswi kelas XI SMAN 1 Krembung, Sidoarjo.
Ashafira Ramadhina Gobel, siswi kelas 6 SD Muhammadiyah 1 Wringinanom, Gresik, turut menuliskan suratnya kepada para calon presiden.
“Membakar sampah itu membuat udara tercemar, tidak nyaman untuk bernapas. Masyarakat juga masih banyak yang tidak memilah sampahnya,” katanya.
Khoirun Nisa, Guru SD Muhammadiyah 1 Wringinanom, Gresik, berharap adanya penegakan aturan pengelolaan sampah. Menurutnya, gerakan anak-anak sekolah yang belajar mencintai lingkungan dengan memilah sampah, harus didukung penerapan pengelolaan sampah yang baik di tempat akhir.
“Ketika kami sudah mengolah sampah sedemikian rupa, ternyata kendalanya di tempat akhir. Sampah itu dicampur kembali. Padahal kami sudah menimbang, memilah, dan mengelola agar sesuai prinsip ramah lingkungan,” ungkapnya.
Tahun Ini, Sebagian Persawahan di Rawa Gambut Sumsel Terancam Gagal Panen