- Sebanyak 900 warga Desa Toseho, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara terpaksa pindah karena rumah tenggelam terdampak abrasi parah yang mengikis pesisir hingga 200 meter. Warga mulai pindah sejak 1997 sampai 2019.
- Dari penelitian FPIK Universitas Khairun Ternate selama 10 tahun sampai 2010, telah terjadi perubahan garis pantai di sepanjang pantai barat daya Pulau Ternate, termasuk di Desa Toseho karena abrasi parah dari gelombang laut.
- Abrasi bisa lebih parah kalau pesisir pantai tidak ada penghalang alami (natural buffer) seperti vegetasi hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang.
- Warga pun bersama KLHK melakukan reboisasi dengan penanaman bibit mangrove awal Februari 2024 seluas 119,9 hektar di Maluku Utara, sebanyak 10 haktar ditanam di Desa Toseho
Perubahan iklim menyebabkan abrasi parah hingga membuat kampung hilang atau warga terpaksa pindah, bukan lagi pepesan kosong. Buktinya terjadi di Desa Toseho, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Warga kampung ini terpaksa pindah ke lahan yang dulu jadi perkebunan mereka karena abrasi.
“Air yang naik dan menutupi pantai dan kampung ini sudah sejauh kurang lebih 200 meter. Dulu tepi pantai kampung di dalam laut sana,” kata M. Nur Ketua BPD Desa Toseho Kecamatan Oba Tidore Kepulauan, Rabu (7/2/2024).
Nur yang datang bersama warga sekampungnya mengikuti kegiatan menanam pohon serentak yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dia bercerita, dulu letak Kampung Toseho berhadapan langsung dengan laut dan membelakangi hutan mangrove.
Seiring waktu, karena dampak bencana perubahan iklim, desa di tepi pantai yang mereka tinggali akhirnya tenggelam karena abrasi terkikis hingga ratusan meter. Kondisi itu, membuat bencana banjir rob dan gelombang pasang yang menerjang desa mereka.
Bukti puing bangunan rumah yang dulu daratan, kini tenggelam. Sisa tembok rumah teronggok menyembul dari dalam laut ketika air surut.
Masih ada tiga rumah di bagian selatan bekas desa terbiar kosong setelah ditinggal pemiliknya. Sementara sebuah masjid yang masih tersisa sudah berada di atas air jika pasang naik. Itulah kondisi desa Toseho saat ini. “Masjid ini masih dimanfaatkan warga terutama nelayan,” katanya.
Baca : Ketika Pulau-pulau Kecil di Maluku Utara Terancam Tenggelam
Warga di sini memilih pindah mulai 1997, terakhir sekira 2019. Warga terakhir yang pindah itu ketika kampung kena banjir rob dan gelombang yang memaksa mereka menyelamatkan diri dan keluarga.
“Terakhir pindah itu sekira 30 keluarga. Saat 2001, banjir rob parah terjadi dan membuat kurang lebih 400 jiwa memilih mengungsi. Hingga sekarang, sekitar 900 jiwa sudah pindah semua ke kampung baru Toseho,” katanya.
Dampak perubahan iklim
Dosen dan Peneliti Pesisir Kelautan dan Pulau-pulau Kecil Universitas Khairun Ternate Abdulmuthalib Angkotasan menjelaskan, kejadian di Toseho menunjukkan perubahan garis pantai merupakan fenomena bertambah atau berkurangnya massa daratan akibat abrasi dan sedimentasi.
Fenomena perubahan garis pantai dipicu oleh tingginya energi gelombang sepanjang tahun yang menghantam pesisir pantai. Kondisi akan lebih parah, katanya, jika di pesisir pantai tersebut tidak ada penghalang alami (natural buffer) seperti ekosistem vegetasi hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. “Tiga ekosistem ini adalah pelindung alami pantai. Punya peran sebagai peredam energi gelombang dari laut lepas menuju pesisir pantai,” katanya kepada Mongabay, Kamis (15/2/2024).
Seperti hasil risetnya bersama beberapa dosen FPIK Universitas Khairun pada 2012 menemukan, terjadi perubahan garis pantai di sepanjang pantai barat daya Pulau Ternate.
Riset yang dilakukan dari Pantai Kelurahan Kalumata sampai Pantai Kelurahan Rua menunjukan, kurun waktu 10 tahun (2001- 2010) terjadi abrasi dan sedimentasi parah. Stasiun dengan tingkat perubahan garis pantai terbesar adalah Pantai Sasa. Abrasi di pantai ini mencapai 31 meter berdasarkan hasil analisis pemodelan garis pantai menggunakan software Mike 21 DHI. Sedangkan laju sedimentasi ditemukan di pesisir Pantai Fitu dan Gambesi.
Perubahan garis pantai ini dipicu tingginya energi gelombang yang menerpa pantai. Gelombang tinggi di perairan diduga terjadi akibat ada perubahan iklim yang memicu kenaikan muka air laut, fluktuasi suhu air laut dan dinamika tekanan udara di atmosfer.
“Fenomena La-Nina dan El-Nino di Pasifik turut andil dalam menciptakan perubahan iklim yang berdampak pada perubahan garis pantai di Kepulauan Maluku Utara. Pasalnya, Kepulauan Maluku Utara berada di ‘bibir’ Samudera Pasifik dan mendapat pengaruh langsung, menjadi daerah yang sangat terdampak perubahan iklim,” jelasnya.
Baca juga : Hutan Mangrove Maluku Utara Kian Terdesak
Untuk perlindungan pantai dari abrasi, tumbuhan mangrove sebagai vegetasi pantai yang khas memiliki beragam sistem perakaran, seperti jenis Rizophora dengan sistem perakaran cakar ayam.
Mangrove dalam mitigasi bencana perubahan garis pantai sangatlah penting. Dengan sistem perakaran dan tingkat kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi, katanya, akan melindungi pantai dari abrasi. Terjangan energi gelombang yang bergerak masuk ke pesisir pantai, juga akan diredam oleh ekosistem lamun dan terumbu karang.
“Seluruh stakeholder menyadari, ekosistem utama di wilayah pesisir dan laut yakni mangrove, lamun dan terumbu karang sangat penting bagi mitigasi bencana perubahan iklim. Utamanya, mitigasi perubahan garis pantai. Sehingga perlu bersama melindungi dan lestarikan ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang untuk keselamatan bumi,” kata Abdulmuthalib.
Penanaman mangrove
Kota Tidore Kepulauan dikelilingi hutan mangrove terbilang lebat dan luas. Seiring waktu, karena banyak terambah meninggalkan lahan gundul, termasuk mangrove di pantai Desa Toseho.
Warga pun bersama KLHK melakukan reboisasi dengan penanaman bibit mangrove pada Rabu (07/2/2024). Kegiatan ini serentak di Indonesia, khusus Maluku Utara, terpusat di Desa Toseho.
“Total lahan mangrove yang ditanami mencapai 12 hektar dengan 130 ribu pohon lebih. Penanaman ini dibiayai pemerintah dan dilakukan masyarakat,” kata Kepala Desa Toseho Taufik Halil.
Selain berfungsi ekologis menjaga pesisir pantai dari abrasi, hutan mangrove itu akan difungsikan sebagai tempat ekowisata untuk meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. “Kawasan mangrove ini menjadi salah satu potensi penting desa sehingga rugi jika tidak dijaga dan dikelola dengan baik,” jelas Taufik.
Baca juga : Bersih Laut, Cara Kaka Slank, Ridho dan EcoNusa Menata Ekosistem di Maluku
Sedangkan Staf Khusus Menteri LHK, Kelik Wirawan Wahyu Widodo mewakili Menteri LHK Siti Nurbaya saat penanaman mengingatkan masyarakat dan semua pihak tentang pentingnya menanam dan menjaga mangrove. Hal itu sebagai upaya konkret dan strategis dalam mengatasi triple planetary crisis yaitu, perubahan iklim, polusi dan ancaman kehilangan keanekaragaman hayati. Ketiganya saling terkait dan sangat mendesak untuk diatasi.
Pemulihan hutan mangrove oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Ake Malamo Maluku Utara dilakukan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sejak 2020. Mereka berkolaborasi menanam mangrove bersama masyarakat seluas 119,9 hektare di Maluku Utara. Dari luasan itu, Desa Toseho mendapat porsi terbesar 10 hektare.
Untuk luasan hutan mangrove di Kota Tidore Kepulauan berdasarkan data Badan Perencanaan dan Penelitian Pengembangan Pembangunan Daerah (Bapelitbangda) Kota Tidore Kepulauan mencapai 1.729 ha yang tersebar di tujuh pulau, yaitu Pulau Tidore seluas 14,18 ha, Pulau Maitara 4,51 ha, Pulau Mare 11,88 ha, Pulau Woda 47,56 ha, Pulau Raja 15,92 ha, dan Pulau Guratu 37,43 ha. Sisanya di pulau Halmahera yang berada di wilayah Tikep seluas 1.597,52 ha. Dari jumlah itu, luasan mangrove di Desa Toseho mencapai 571,44 hektar. (***)