- Kepiting kenari Birgus latro) yang merupakan arthropoda darat terbesar di dunia terancam populasinya karena penangkapan ilegal oleh masyarakat di beberapa kepulauan di Indonesia Timur, termasuk di Maluku Utara untuk dijual ke restoran-restoran dengan harga mahal
- Meski kepiting kenari merupakan satwa dilindungi, tetapi pada 2017, KLHK mengeluarkan aturan pemanfaatan kepiting kenari sebagai satwa buru secara terbatas untuk mengakomodir permintaan melegalkan penangkapan kepiting ini di wilayah Maluku Utara.
- Hasil riset FKIP Universitas Khairun Ternate pada 2015 mengindikasikan kepiting kenari semakin terancam punah karena hasil tangkapan kepiting kenari ukuran tubuhnya semakin kecil. Sehingga perlu dilakukan penangkaran untuk pembudidayaan dan pengawasan penangkapan dari alam
- SKW 1 Ternate BKSDA Maluku mengakui penegakan hukum perburuan penangkapan dan perdagangan TSL terkendala keterbatasan sumberdaya dan aparatur. Sementara wilayah kerja juga sangat luas.
Kepiting kenari atau kepiting kelapa (Birgus latro) merupakan arthropoda darat terbesar di dunia. Keberadaan kepiting kenari secara global tersebar Samudera Hindia hingga Samudera Pasifik tengah, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia, kepiting kenari tersebar secara terpisah-pisah di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku sampai di Papua.
Dalam riset Haryanti dan Daisy Wowor tahun 2005 di Pulau Kadatua di Sulawesi Tenggara dan Pulau Kayoa di Maluku Utara (Malut), kepiting kenari masih cukup sering ditemukan, walaupun data pastinya tidak ada.
“Memang tidak ada data yang pasti mengenai besar populasi kepiting kenari di pulau-pulau tersebut. Tidak adanya data pasti tentang populasi serta penangkapan ilegal yang terus dilakukan akan mengancam populasi kepiting kenari,” sebut Haryanti dkk dalam laporan riset tersebut.
Penangkapan ilegal kepiting kenari masih terus dilakukan masyarakat di beberapa kepulauan di Indonesia Timur, termasuk di Maluku Utara. Penangkapan untuk keperluan konsumsi sendiri atau dijual ke kota-kota besar untuk dihidangkan di restoran-restoran dengan harga yang mahal, bisa mencapai Rp800.000 per ekornya.
Dari penelusuran Mongabay Indonesia, kepiting kenari ini bisa ditemukan sebagai hidangan di sejumlah restoran di Kota Ternate, Malut. Informasi yang dihimpun menyebutkan puluhan hingga ratusan ekor kepiting kenari setiap bulannya disuplai ke berbagai restoran di Kota Ternate.
baca : Kepiting Kenari, Satwa Dilindungi yang Terus Diburu di Maluku Utara
Pemanfaatan Terbatas
Kepiting kenari merupakan satwa dilindungi berdasarkan SK MenHut No.12/Kpts/II/1987 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dan masuk dalam Daftar Merah Spesies IUCN dengan status rentan (vulnerable/vu).
Tetapi pada tahun 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan aturan pemanfaatan kepiting kenari sebagai satwa buru secara terbatas dengan syarat-syarat tertentu melalui Surat Keputusan (SK) Menteri LHK No.057/Menlhk/Sekjen/KSA.2/5/2017. Hal itu untuk mengakomodir permintaan melegalkan penangkapan kepiting ini di wilayah Maluku Utara.
KLHK menerbitkan aturan tersebut dengan rekomendasi dari hasil riset LIPI pada tahun 2017, dimana hampir semua pulau kecil di Malut punya potensi kepiting kenari. Ambil contoh di Halmahera Selatan yaitu di Pulau Pisang, Talimau, Pulau Kayoa dan Gamumu; di Halmahera Tengah yaitu di Pulau Gebe; serta di Halmahera Barat, Halmahera Utara dan Halmahera Timur.
Sebelumnya pada tahun 2009, masih ditemukan kepiting kenari seberat 4 kg. Namun saat ini sudah sangat sulit ditemukan kepiting kenari berukuran 3 kg.
Sedangkan hasil riset Supyan, dkk dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FKIP) Universitas Khairun Ternate pada 2015, ditemukan potensi kepiting kenari ada di bagian barat pulau Ternate dengan kepadatan populasi kepiting sebesar 0,00114 individu /m2. Populasi ini sangat kecil, namun masih memungkinkan dikembangkan mengingat rasio kelamin jantan dan betina secara umum masih seimbang.
“Dari temuan itu terindikasi kepiting kenari semakin terancam punah,” jelas Supyan kepada Mongabay Indonesia, Selasa (06/02/2024).
Indikasinya, hasil tangkapan kepiting kenari ukuran tubuhnya semakin kecil. Beberapa hasil tangkapan masih sangat kecil sudah membawa telur. Ini berarti di alam kepiting melakukan percepatan perkawinan sebagai strategi mempertahankan hidupnya akibat tekanan perburuan.
baca juga : Malut Belum Ada Penangkaran Kepiting Kenari, Jual Beli Masih Ambil dari Alam
Upaya Konservasi Kepiting Kenari
Supyan mengatakan upaya perlindungan kepiting kenari baru sebatas penetapan sebagai hewan dilindungi sesuai SK MenHut No.12/Kpts/II/1987 dan PP No.7/1999. Dia melihat belum ada aturan turunan seperti penetapan suatu kawasan atau pulau sebagai kawasan konservasi kepiting kenari.
Di Maluku Utara, ada upaya dari BKSDA mempertahankan hewan ini dengan jalan penangkaran. Namun upaya ini belum sepenuhnya berhasil karena belum sesuainya habitat alami dengan habitat penangkarannya.
Ada juga upaya penangkaran dalam wadah tertutup yang dilakukan oleh IPB Bogor dengan induk dan crablet dari Maluku Utara. Namun hanya sebatas pembesaran. Belum ada upaya pembudidayaan dari pemijahan, sehingga belum bisa menghasilkan keturunan F2 yang semestinya diharapkan dari penangkaran tersebut.
“Kegiatan ini menurut kami, belum menyentuh upaya pelestarian dan perlindungan penuh,” kata Supyan.
Karena itu Supyan mendorong pemerintah daerah terutama di Maluku Utara, segera mengeluarkan aturan pemanfaatan hewan ini. “Melarang sepenuhnya mungkin sulit karena hewan ini sudah telanjur menjadi ikon kuliner dan nilai tawarnya yang tinggi di pasaran. Sulit rasanya membendung penangkapan oleh masyarakat,” lanjutnya.
Namun bagaimanapun sulitnya, sebagai hewan yang rentan punah menurut IUCN karena perburuan dan pertumbuhannya yang lambat, maka harus ada upaya mempertahankan populasinya.
baca juga : Melihat Pembudidayaan Kepiting Kenari dari Pulau Obi
Selain penangkaran, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menetapkan ukuran layak tangkap dan layak konsumsi kepiting kenari. Ukuran layak tangkap harus disesuaikan ukuran pertama kali matang gonad hewan ini, yang artinya ukuran yang sudah pernah kawin sehingga diperkirakan sudah ada anakan yang dilahirkan sebagai pengganti induknya.
“Berdasarkan kajian kami di tahun 2015, ukuran pertama kali matang gonad kepiting kelapa di Pulau Uta adalah ukuran dengan berat 300 gram. Jika dibandingkan hasil tangkapan beberapa penangkap di Pulau Gebe yang jauh lebih kecil ukurannya dari ukuran 300 gram. Karena kondisi ini sangat dikhawatirkan 5 – 10 tahun ke depan populasi kepiting kenari di Pulau Gebe akan sangat sulit didapatkan lagi,” lanjutnya.
Dia juga menyarankan agar penangkaran memerhatikan kesesuaian lahan habitat sehingga dapat kepiting kenari dapat berkembang, memijah, kawin dan memperoleh keturunan hingga F2 yang boleh dikonsumsi. “Jangan sampai penangkaran dilakukan hanya untuk melegalkan pemanfaatan hewan ini. Sejatinya, penangkaran dilakukan selain untuk memperoleh keturuan F2, juga melestarikan populasi hewan ini di alam,” tegasnya.
Sementara Mohdar Hasanat, seorang penangkaran kepiting kenari di Pulau Gamumu Obi, Halmahera Selatan, Malut, mengusulkan agar aturan pemanfaatan kepiting kenari sebagai satwa buru sesuai SK Menteri LHK No.057/Menlhk/Sekjen/KSA.2/5/2017 itu perlu diperketat syarat-syarat dan pengawasannya di lapangan ketat sehingga tidak ada lagi yang menangkapnya dari alam bebas.
Dia mengusulkan penangkapan kepiting kenari dari alam hanya sebagai indukan dalam sebuah penangkaran. Termasuk aturan agar dari indukan kepiting kenari yang diambil dari alam, maka 10% jumlah hasil keturunanya dilepaskan kembali ke alam untuk menjaga populasinya. Hal ini tentu butuh ada dukungan regulasi terutama dari pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
baca juga : Kepiting Kenari, Kepiting Terbesar di Dunia yang Suka Makan Kelapa
Kuota Penangkapan dan Pengawasan
Kepala Seksi Koservasi Wilayah (SKW) 1 Ternate BKSDA Maluku Abas Hurasan kepada Mongabay Indonesia Selasa (27/2/2024) mengatakan terdapat SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.SK 257/MenLHK/Setjen/KSA.2.5/2017 tentang penetapan Kepiting Kenari (Birgus latro) di Maluku Utara sebagai Satwa Buru.
Dalam SK Menteri LHK itu menyebutkan bahwa berdasarkan rekomendasi Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI sesuai surat nomor 162IPHH.1/KS.02.04/III/2017 tanggal 14 Maret 2017, merekomendasikan kepiting kenari di Maluku Utara dapat dimanfaatkan.
Berdasarkan rekomendasi itulah kepiting kenari di Maluku Utara masih bisa diambil dengan kuota yang terbatas sebagai induk penangkaran dengan syarat maksimum mempunyai panjang kerapas 8,0 cm atau berukuran berat satu kilogram. Sementara untuk konsumsi dengan syarat panjang kerapas 9,5 cm atau berukuran berat 1,3 kilogram.
Dalam SK itu juga diatur pengambilan atau penangkapan kepiting kenari diambil dari luar kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam. Meski demikian, kata Abas, pihak yang bisa menangkap hanya yang telah mendapatkan izin , bukan secara umum. Ada dua orang yang diberi kuota izin penangkapan, dimanasSampai saat ini kuota tangkap yang diberikan belum habis.
Soal adanya informasi yang disampaikan peneliti kepiting kenari dari Universitas Khairun Ternate, yang menyebutkan bahwa populasi di lapangan makin berkurang ditandai dengan ukuran kepiting kenari yang semakin kecil sudah ditangkap, setidaknya hasil itu bisa direkomendasikan ke BRIN sehingga menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan. Sebab keluarnya izin dari KLHK itu juga karena ada rekomendasi LIPI yang saat ini telah berubah menjadi BRIN.
“SK satwa buru itu karena ada rekomendasi LIPI waktu itu di mana kuota yang bisa ditangkap berdasarkan hasil survey yang dilakukan LIPI pada 2016,” jelas Abas. Kuota itu berjumlah kurang lebih 15 ribu ekor. Jika sudah mencapai kuota tersebut atau habis maka bisa saja dihentikan. Sampai saat ini kuota tangkap itu belum habis. “Ada tersisa kurang lebih 3000 ekor lagi,” kataya.
baca juga : Begini Penampakan Ketam Kenari, Kepiting Terbesar di Dunia
Begitu juga terkait upaya penegakan aturan terutama perburuan, penangkapan dan penjualan tidak hanya untuk kepiting kenari. Semua jenis tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang dilindungi, pihaknya melakukan pemantauan setiap saat. Baik melalui patroli maupun sosialisasi langsung kepada masyarakat.
Diakui Abas, penegakan hukum perburuan penangkapan dan perdagangan TSL ini tidak berjalan mulus karena keterbatasan sumberdaya dan aparatur. Sementara wilayah kerja juga sangat luas. “Selama ini upaya perlindungan dan pencegahan tetap dilakukan tidak hanya kepiting kenari tetapi untuk semua TSL,” jelasnya.
Dia contohkan pada 2019 lalu ada pihak yang berusaha menyelundupkan 100 ekor lebih kepiting kenari dari Maluku Utara ke Bitung Sulawesi Utara menggunakan kapal berhasil digagalkan. Bahkan orang yang diduga pelakunya diproses dan dijebloskan ke penjara.
Saat ini penangkapan kepiting kenari juga sudah berkurang karena sesuai hasil pantauan mereka ke beberapa restoran juga tidak ada stok yang masuk.
Untuk melindungi dan menjaga kepiting kenari ini dia berharap hadirnya penangkaran di Pulau Gamumu Obi Halmahera Selatan itu, bisa membantu menjawab upaya mengatasi penangkapan dan perburuan satwa ini secara illegal. Terutama restoran yang menjadikan sebagai menu bisa dibeli langsung ke penangkaran.
“Saat ini masih ada beberapa perbaikan dari penangkaran yang ada semoga ke depan produksi penangkaran ini bisa mengatasi perburuan ilegal yang terjadi,” harapnya. (***)