- Banjir merendam beberapa desa di Lebak, Banten, menyebabkan jalan, pemukiman maupun sawah terendam pekan lalu. Hujan deras pada 1 Mei menyebabkan Kali Cibeureum, meluap dan merendam Kampung Muara, Desa Pasir Kembang, Kecamatan Maja, Lebak, Banten, setinggi leher orang dewasa. Banjir kali ini lebih parah dari biasa. Meskpun sudah tak hujan, air terus datang, sungai meluap dan merendam kampung.
- Warga di Kecamatan Maja, sudah ada yang mulai panen, jemur padi di sawah dan terendam banjir. Ada juga yang siap panen tetap sawah terendam. Produksi pangan warga pun terancam dampak banjir.
- Melva Harahap, Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Walhi Nasional kepada Mongabay mengatakan, bagi Walhi banjir merupakan bencana ekologis. Bencana ekologis ini, karena daya dukung dan daya tampung lingkungan suatu wilayah tak memadai. Kondisi ini terjadi, bisa karena ada beberapa fungsi dari ekosistem alam yang beralih fungsi hingga daya dukung dan daya tampung hilang.
- Iqbal Damanik, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, mengatakan, dari beberapa daerah aliran sungai (DAS) yang mereka analisis, misal, hutan alam tersisa makin sedikit karena deforestasi meningkat untuk berbagai pemanfaatan berbasis lahan dan ekstraktif. DAS juga berhadapan dengan perubahan lahan untuk perumahan.
Banjir merendam beberapa desa di Lebak, Banten, menyebabkan jalan, pemukiman maupun sawah terendam pekan lalu. Hujan deras pada 1 Mei menyebabkan Kali Cibeureum, meluap dan merendam Kampung Muara, Desa Pasir Kembang, Kecamatan Maja, Lebak, Banten, setinggi leher orang dewasa. Banjir kali ini lebih parah dari biasa. Meskpun sudah tak hujan, air terus datang, sungai meluap dan merendam kampung.
Genangan air cukup tinggi hingga warga terpaksa menggunakan perahu karet untuk sekadar menyebrang jalan. Kowi, Ketua RT 01, RW 04 kampung itu hilir mudik membantu menyebrangkan warga yang baru pulang kerja dengan perahu karet oranye.
Dampak banjir, akses satu-satunya jalan menuju Kampung Muara, tidak bisa dilewati kendaraan bermotor.
“Kalau dibilang sedih ya sedih. Tapi ya bagaimana lagi,” katanya, 2 Mei lalu.
Rumah Kowi pun terendam hampir semester. Peralatan elektronik seperti televisi, kipas, dan kulkas sempat terendam. Meskipun berhasil diamankan, namun dia tidak yakin kondisinya baik-baik saja.
Tak hanya itu, padi siap panen di sawah seluas 1,5 hektar juga terendam.
Sebagian mulai panen. Ada gabah basah sudah dalam karung, sebagian lagi sudah proses pemotongan dan masih ditumpuk di sawah.
Malang tidak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih. Padi-padi itupun hanyut karena banjir. Dia sama sekali tak memperkirakan banjir akan sebesar in karena setiap sore maupun malam daerahnya hujan tetapi debit air lebih besar dari biasa.
“Airnya langsung saja tidak permisi, assalamu’alaikum-lah paling tidak,” gurau Kowi sembari mengayuh perahu yang difasilitasi Badan Penanggulanan Bencana Daerah (BPBD) Lebak itu.
Nasib serupa dialami Heriyah. Banjir tak hanya menggenangi rumah juga menghanyutkan sebagian padi yang sudah panen. Setelah panen dia tidak buru-buru membawa pulang. Biasanya setelah proses perontokan, biji padi itu terlebih dulu dijemur di sawah.
Mereka jemur di sawah karena dinilai lebih aman dibandingkan di pinggir jalan. Risiko dipatok ayam maupun terlindas kendaraan lebih kecil. “Padahal, sudah mengupayakan yang terbaik. Tapi sedang apes ya diterima saja.”
Hanya lima karung gabah bisa perempuan 45 tahun ini selamatkan. “Alhamdulillah.”
Beruntung pondasi rumahnya lebih tinggi dari rumah-rumah di sekitar hingga air masuk lebih sedikit.

Ecin, warga lain bernasib tidak jauh beda. Selama tinggal di kampung itu banjir memang biasa terjadi tetapi saat ini lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Dampak banjir ini, selain padi, kacang dan jagung juga tidak bisa panen.
Muhamad Jakaria, Kepala Desa Pasir Kembang, Kecamatan Maja mengatakan, akibat banjir setidaknya 37 rumah warga terendam. Sedangkan untuk lahan padi terendam sekitar 60 hektar, sedikitnya ada 60 petani di mengalami gagal panen.
Dia bilang, banjir memang rutin tetapi bila dibandingkan dengan 2020, tahun ini debit air lebih tinggi. Biasanya, air merendam rumah sekitar 30 sentimeter, sekarang bisa 60 sentimeter. Di sawah maupun lahan pertanian tinggi air bisa 1-2 meter.
Muhamad tidak tahu persis penyebab banjir di wilayahnya. Namun, hujan deras di hulu sungai maupun wilayah lain dinilai berkontribusi terhadap meluapnya Sungai Cibeureum.
“Padahal, sebelumnya terjadi (banjir) kalau tidak Desember ya Januari. Ini karena tidak menentu cuaca hingga terjadi Mei. Seharusnya bulan ini sudah masuk kemarau,” katanya.
Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD Lebak mencatat, kurun waktu Januari hingga Mei 2024, ada tujuh kecamatan terdampak banjir genangan.
Selain Kecamatan Maja, banjir genangan juga terjadi di Kecamatan Rangkasbitung, Kalanganyar, Sajira, Leuwidamar, Wanasalam, dan Kecamatan Banjarsari.
Adapun banjir seringkali terjadi di Kabupaten bermotto “Ini menurut monitoring BPBD Lebak adalah kurangnya irigasi, buruknya gorong-gorong akibat banyak sampah, hingga saluran air tidak berjalan semestinya.”

Bencana ekologis
Melva Harahap, Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Walhi Nasional kepada Mongabay mengatakan, bagi Walhi banjir merupakan bencana ekologis.
Bencana ekologis ini, katanya, terjadi kerusakan lingkungan hidup karena daya dukung dan daya tampung lingkungan suatu wilayah tak memadai. Kondisi ini terjadi, bisa karena ada beberapa fungsi dari ekosistem alam yang beralih fungsi hingga daya dukung dan daya tampung hilang.
“Banjir nggak hanya di Banten, Lebak, di beberapa daerah juga terjadi banjir.” Banjir dan longsor parah terjadi di Luwu (Sulawesi Selatan), Konawe Utara (Sulawesi Tenggara), Sumatera Barat dan beberapa wilayah lain.
Dia bilang, ada banyak ekosistem beralih fungsi, mulai dari pembukaan lahan baik itu untuk ekspansi perkebunan sawit atau tambang-tambang, termasuk Galian C, bahkan proyek-proyek strategis nasional (PSN).
Menurut dia, akar dari masalah itu, fungsi-fungsi dari ekosistem alam berubah karena ada masif pembangunan skala besar.

Pembangunan massif tanpa melihat daerah itu, misal, berada di kawasan rawan bencana atau daerah resapan air hingga menganggu ekosistem.
Belum lagi eksploitasi alam sembarangan, seperti galian C, tambah pola hidup tak ramah lingkungan, misal, membuang sampah sembarangan antara lain ke sungai, hingga terjadi kerusakan. Belum lagi, penambangan di hulu hingga menyebabkan hilir rusak.
Senada dengan Iqbal Damanik, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia. Dia mengatakan, banjir dan longsor yang terjadi di berbagai daerah termasuk Lebak, kemungkinan daya dukung lingkungan sudah jauh berkurang hingga kerentanan makin tinggi.
Dari beberapa daerah aliran sungai (DAS) yang mereka analisis, misal, hutan alam tersisa makin sedikit karena deforestasi meningkat untuk berbagai pemanfaatan berbasis lahan dan ekstraktif. DAS juga berhadapan dengan perubahan lahan untuk perumahan. Jadi, meski di hilir tidak hujan namun hulu hujan dan tak punya kemampuan menahan debit air, banjir karena sungai meluap bisa terjadi.
Kondisi ini, makin buruk dengan minim areal perlindungan hutan, termasuk mangrove, tanpa dibarengi pemulihan ekosistem yang rusak.
“Ini risiko bencana di DAS, ditambah makin seringnya cuaca ekstrem berupa hujan berintensitas tinggi akibat perubahan iklim,” katanya.
Padahal, katanya, DAS itu ekosistem kunci. “Itulah kenapa dulu ada kewajiban perlindungan 30% wilayah DAS, jadi prioritas rehabilitasi juga.”

******
Banjir dan Longsor Landa Sulsel Bukti Ketidakseriusan Pemerintah Kelola Kebencanaan