- Seekor orangutan liar jantan Sumatera bernama Rakus teramati mengobati luka di wajahnya sendiri dengan tanaman obat di hutan Suaq Belimbing, bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh.
- Perawatan luka dengan menggunakan tanaman yang mengandung bahan obat pada kera besar secara mandiri selama ini belum pernah didokumentasikan.
- Temuan ini bisa memberi wawasan baru tentang pengobatan mandiri pada orangutan, selain asal usul evolusi pengobatan luka.
- Orangutan adalah primata cerdas, yang punya kemampuan meneruskan pengetahuan dari generasi ke generasi.
Namanya Rakus, orangutan liar jantan Sumatera. Suka bersarang di hutan Suaq Belimbing, bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh. Perkiraan tahun lahirnya 1980-an. Jadi umurnya sekarang sekitar 44 tahun. Asalnya tidak diketahui karena orangutan jantan yang tumbuh dewasa suka merantau untuk mencari teritori baru.
Saat pertama kali diamati Rakus belum punya bantalan pipi atau flensa. Itu terjadi pada Maret 2009. Namun pada Agustus 2021 pejantan ini telah sepenuhnya menjadi laki-laki dengan pipi yang melebar, kantung tenggorokan menggantung, dan rambut coklat kemerahan yang memanjang.
Gambaran tentang sosok Rakus itu ada dalam laporan penelitian yang dimuat dalam jurnal Scientific Reports, 2024. Laporan ditulis oleh sejumlah peneliti dari Jerman dan Indonesia yang melakukan pengamatan panjang terhadap perilaku orangutan Sumatera (Pongo abelii) di stasiun pengamatan orangutan Suaq. Di sana ada sekitar 150 individu orangutan yang populasinya terancam.
“Selama pengamatan harian terhadap orangutan, kami melihat seekor pejantan bernama Rakus mengalami luka di bagian wajah, kemungkinan besar akibat berkelahi dengan pejantan tetangganya,” kata Isabelle Laumer, penulis pertama laporan itu. Dia merupakan peneliti dari Max Planck Institute of Animal Behavior, Jerman.
Selain dari Jerman, peneliti lain yang terlibat berasal dari Universitas Nasional, Suaq Project, dan Yayasan Ekosistem Lestari. Ketiganya berasal dari Indonesia.
Mengutip penyataan dari Max Planck Gesellchaft, perawatan luka dengan menggunakan tanaman yang mengandung bahan obat pada kera besar secara mandiri selama ini belum pernah didokumentasikan. Temuan ini bisa memberi wawasan baru tentang pengobatan mandiri pada orangutan, selain asal usul evolusi pengobatan luka.
Pada 22 Juni 2022 Rakus diketahui memiliki luka di pipi kanan dekat bagian mata, juga di bibir. Luka di bagian mulut ini terlihat saat Rakus melakukan panggilan panjang, yang biasa dilakukan pejantan dewasa. Sehari sebelumnya memang ada laporan perkelahian antar orangutan jantan.
Baca : Riset: Orangutan Sembuhkan Luka dengan Ekstrak Daun Ini
Ulil Azhari dari Suaq Project, Medan, bersama tim peneliti lain berada di lapangan dan mencatat peristiwa itu. Peneliti mengikuti individu orangutan sejak pagi saat keluar dari sarang hingga membangun sarang kembali pada malam hari. Setiap dua menit mereka mencatat perilaku individu orangutan.
Pada 25 Juni atau tiga hari setelah diketahui memiliki luka, Rakus mulai makan batang dan daun dari sejenis tanaman merambat. Perilaku ini berhasil didokumentasikan lewat foto dan video. Belakangan diketahui tanaman itu adalah Fibraurea tinctoria atau akar kuning. Di alam, tanaman merambat jarang dimakan oleh orangutan. Namun Rakus rupanya punya rencana lain.
Tiga belas menit setelah mengunyahnya, dengan menggunakan jari, dia mulai mengoleskan sari tanaman dari mulutnya ke luka di wajahnya. Perilaku ini diulangi beberapa kali. Saat kemudian lukanya didatangi lalat, Rakus menutupi lukanya dengan sisa kunyahan tanaman itu. Seluruh proses ini berlangsung lebih dari 30 menit. Menariknya, keesokan harinya Rakus mengulangi hal yang sama.
Pengamatan terus dilakukan oleh tim peneliti. Mereka tidak mendapati tanda bahwa luka itu mengalami infeksi. Bahkan pada 30 Juni luka di pipi Rakus sudah tertutup. Pada 19 Juli atau lebih dari tiga minggu setelah perkelahian terjadi, lukanya sudah sembuh total.
Laporan penelitian menjelaskan, selama pengamatan terhadap puluhan individu orangutan di Suaq, para peneliti belum pernah mendapati selain Rakus melakukan hal yang sama. Dari mana Rakus punya pengetahuan ini? Mereka menduga, Rakus mendapatinya saat masih kecil dan sewaktu masih berada di populasi kelahirannya. Seperti diketahui, orangutan adalah primata cerdas, yang punya kemampuan meneruskan pengetahuan dari generasi ke generasi.
Namun ada orangutan lain bernama Pluto mempraktikkan perilaku penyembuhan mandiri juga. Pluto teramati beberapa kali memasukkan jarinya yang terluka ke dalam air tanaman kantong semar. Dia melakukannnya mungkin karena air memiliki efek mendinginkan yang bisa mengurangi rasa sakit atau membantu membersihkan luka.
Dijelaskan bahwa peneliti belum berhasil mengambil contoh spesimen tanaman yang digunakan oleh Rakus. Dari gambar detail yang diperoleh, peneliti kemudian membandingkan dengan contoh yang dimiliki Herbarium Bogoriense, di Bogor dan Universitas Nasional, di Jakarta. Akar Kuning diketahui memiliki sifat antibakteri, anti inflamasi, anti oksidan, anti jamur, dan anti karsinogenik. Selain untuk obat luka, dia juga digunakan sebagai obat malaria, kata laporan itu.
Penggunaan tanaman yang mengandung obat bukan hal baru pada orangutan. Masih mengutip laporan itu, namun dalam penelitian lain, seekor orangutan betina Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang terluka parah pernah terlihat makan daun dan batang jahe (Zingiberaceae). Jahe merupakan tanaman obat tradisional yang bisa mengurangi peradangan, anti bakteri, anti virus, dan anti jamur. Orangutan Kalimantan juga diketahui makan dua spesies tumbuhan yaitu Uncaria gambir Roxb dan Pternandra galeata Ridl. Dua tumbuhan ini secara tradisional dipakai untuk mengobati penyakit dalam, tumor, dan pendarahan.
Daging buah Dyera lowii dan Ilexx cymosa, daun Scolopia macrophylla, serta daun muda tanaman Mezzetia sp., diketahui disukai orangutan Kalimantan betina. Secara tradisional, tanaman-tanaman ini digunakan sebagai obat untuk pencegahan kelelahan.
Di Kalimantan Tengah, pernah pula teramati dua individu orangutan mengunyah daun Dracaena cantleyi selama tiga hingga lima menit. Mereka kemudian menggosokkan busa berwarna hijau putih yang dihasilkan dari daun itu pada lengan dan kaki selama 35 menit. Masyarakat adat memakai daun ini sebagai obat untuk meredakan nyeri otot, nyeri sendi, nyeri tulang, dan bengkak. (***)