- Masyarakat etnis Batak Toba menyebutnya bijora. Tumbuhan sejenis mahoni ini memiliki nama ilmiah Berberis bealei. Rebusan air bijora yang diteteskan ke mata dapat digunakan untuk mengobati iritasi. Bermanfaat juga sebagai obat sakit perut.
- Bijora tumbuh pada ketinggian 1.000 – 1.400 m dpl, dengan tanah lembab. Tingginya bisa mencapai 8 meter dengan cabang agak Buahnya yang mirip anggur muncul di akhir musim panas. Daun majemuknya yang menyirip tampak hijau sepanjang tahun.
- Bijora mengandung zat kimia alami berupa alkaloid, triterpenes, flavonoid, phytosterols, dan lignan yang semuanya menunjukkan sifat antibakteri, anti-inflamasi, antitumor, dan antioksidan.
- Meski potensinya besar, bijora menghadapi tantangan serius terkait perubahan penggunaan lahan di Tapanuli Utara, termasuk klaim kawasan hutan negara.
Masyarakat etnis Batak Toba menyebutnya bijora. Tumbuhan dari keluarga Berberidaceae ini memiliki nama ilmiah Berberis bealei. Meski di hutan Tapanuli Utara, Sumatera Utara, namanya kurang dikenal namun jenis ini memiliki potensi besar sebagai bahan obat herbal dan juga moderen.
“Rebusan air bijora yang diteteskan ke mata dapat digunakan untuk mengobati iritasi. Bermanfaat juga sebagai obat sakit perut,” jelas Efron Simanjuntak, warga adat Bona ni Dolok, Kecamatan Sipahutar, Tapanuli Utara, pertegahan April 2024.
Efron merupakan petani kemenyan. Di kampungnya, dia dikenal sebagai parubat [peramu obat]. Pengetahuannya mengenai khasiat bijora diperoleh dari leluhur.
“Bijora tumbuh di alam liar, namun kini mulai jarang ditemukan karena alih fungsi lahan. Buah dan daunnya digunakan sebagai ramuan untuk diminum atau dioleskan pada bagian tubuh yang sakit,” jelasnya.
Bijora tumbuh pada ketinggian 1.000 – 1.400 m dpl, dengan tanah lembab. Tingginya bisa mencapai 8 meter dengan cabang agak jarang. Buahnya yang mirip anggur muncul di akhir musim panas. Daun majemuknya yang menyirip tampak hijau sepanjang tahun.

Farmasi dan konservasi
Sebuah studi yang diterbitkan di Tropical Journal of Pharmaceutical Research mengungkapkan bahwa bijora mengandung zat kimia alami berupa alkaloid, triterpenes, flavonoid, phytosterols, dan lignan yang semuanya menunjukkan sifat antibakteri, anti-inflamasi, antitumor, dan antioksidan.
Sebuah ulasan etnofarmakologi yang diterbitkan di Journal of Ethnopharmacology, menunjukkan mahonia, genus yang sama dengan bijora, memberikan manfaat signifikan dalam pengobatan tradisional China, khususnya inflamasi dan infeksi.
“Banyak ditemukan di daerah Juhar [Karo], tapi belum ada masyarakat yang memanfaatkannya sebagai obat. Belum ada peneliti lokal, sementara jurnal yang ada masih dari luar Indonesia. Perlu penelitian lebih lanjut tentang khasiatnya agar membuka pintu pengembangan obat-obatan baru,” kata Kristin Ibo, peneliti Etnobotani BRIN, Kamis [2/5/2024].

Meski potensinya besar, bijora menghadapi tantangan serius terkait perubahan penggunaan lahan di Tapanuli Utara, termasuk klaim kawasan hutan negara. AMAN [Aliansi Masyarakat Adat Nusantara] Tano Batak pun terus mendorong pengakuan wilayah adat mereka.
Minggu [21/4/2024], Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan memberikan pengakuan terhadap tujuh Komunitas Masyarakat Adat [MHA] Tapanuli Utara, termasuk Bona ni Dolok.
“Kami mendapatkan Surat Keputusan Pengakuan MHA. Ini awal yang baik dan semoga kami semua mendapat pengakuan hutan adat sehingga keberagaman budaya dan kelestarian alam terjaga baik,” kata Edward Siregar, Ketua PD AMAN Tapanuli Utara, awal April 2024, saat wawancara di Tarutung, Tapanuli Utara.
Edward berharap potensi bijora memberi manfaat bagi dunia medis di masa depan.
“Dengan pendekatan sains dan kearifan lokal, bijora dan keanekaragaman hayati di hutan Tapanuli bisa lebih dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat lokal dan nasional,” ujarnya.

Berdasarkan data AMAN Tano Batak, sekitar 37.653 ha wilayah adat sudah mendapat SK Bupati Tapanuli Utara sejak 2021.
“Saya tidak ingin hutan masyarakat dikuasai swasta dan itu komitmen saya,” ujar Nikson Nababan, kepada awak media di rumah dinasnya di Tarutung, Selasa [23/4/2024].
Menurut dia, regulasi penetapan kawasan hutan adat seharusnya menjadi kewenangan bupati, bukan lagi pemerintah pusat. Alasannya, kepala daerah lebih mengetahui wilayahnya, sehingga kewenangan tidak semua harus terpusat.
“Tanpa melibatkan masyarakat adat yang memahami ekosistemnya, upaya konservasi mungkin tidak akan berhasil,” tegasnya.