- Konflik antara petani plasma dan buruh PT Hardaya Inti Plantations (HIP) terjadi di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Tiga petani harus dilarikan ke rumah sakit karena aksi kekerasan dari buruh perusahaan, serta terjatuh dari truk pengangkut sawit.
- Aksi kekerasan bermula dari keinginan sejumlah buruh perusahaan untuk tetap memanen sawit di lahan plasma yang sedang dihentikan operasionalnya oleh petani karena ada sengketa. Penghentian operasi sejak 8 Januari 2024.
- Petani meminta perusahaan menghentikan operasional karena sistem kemitraan inti-plasma selama ini dinilai tidak memberikan bagi hasil penjualan TBS atau sisa hasil usaha (SHU).
- Selama ini, belum ada ganti rugi atas pengalihan tanaman produktif kebun mereka sebelum ditanami sawit, serta data keanggotaan yang diduga dimanipulasi karena banyak pemilik lahan tidak masuk dalam SK Bupati tentang Calon Petani Calon Lokasi (CPCL).
Tiga petani plasma sawit Koperasi Awal Baru, Desa Balau, Kecamatan Tiloan, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah harus dilarikan ke rumah sakit setelah mendapatkan kekerasan dari sekelompok orang yang mengaku sebagai buruh dan officer kebun perusahaan sawit PT Hardaya Inti Plantations (HIP), Selasa pagi (07/5//24).
Aksi kekerasan ini bermula dari upaya buruh panen paksa dan mengangkut tandan buah segar (TBS) ke atas truk jonder. Warga yang melihat aktivitas tersebut sontak bereaksi dengan berusaha menurunkan TBS dari mobil. Tarik menarik terjadi. Tiga petani menjadi korban kekerasan paling parah, yaitu Aris, Masnia dan Mada Yunus.
Aris mengalami cedera di kedua lengan dan paha karena terbentur besi jonder dan terpental jatuh ke tanah. Dia juga dikeroyok sekelompok buruh, dan mendapat pukulan di dada.
Masnia didorong turun dari truk jonder kemudian dikeroyok sejumlah buruh dengan cara dijambak hingga kerudungnya terlepas lalu kedua lengan ditarik-tarik. Mada Yunus terkena bonggol sawit saat seorang buruh memaksa melempar TBS ke atas bak jonder. Mada juga didorong hingga jatuh tertelungkup di tanah, yang mengakibatkan kakinya bengkak tidak dapat berjalan hingga mengalami pusing. Seorang warga yang memideokan kejadian tersebut memiralkannya di media sosial.
Kejadian ini buntut dari sengketa antara petani dengan HIP. Petani telah menuntut penghentian operasional kebun plasma untuk sementara waktu sambil mencari solusi penyelesaian konflik antara kedua belah pihak.
“Kasus kekerasan ini disebabkan keinginan sejumlah buruh perusahaan tetap memanen sawit di lahan plasma yang sedang dihentikan oleh petani karena sengketa. Tak boleh ada aktivitas apapun sebelum tuntutan mereka dipenuhi,” kata Fatrisia Ain, Kordinator Forum Petani Plasma Buol, melalui telepon kepada Mongabay, Kamis (9/5/24).
Baca : Kala Kebun Plasma Tak Sesuai Janji, Petani Bualemo Ganti Sawit dengan Beragam Tanaman
Penghentian operasional perusahaan ini terjadi di lima desa, yaitu, Balau, Maniala, Winangun, Taluan, dan Suraya sejak 8 Januari 2024 hingga kini. Petani menuntut perusahaan memenuhi tuntutan mereka untuk beraktivitas kembali. Permintaan penghentian operasional ini disampaikan petani melalui surat resmi ke perusahaan 5 Januari lalu.
Dalam surat tersebut salah satu poin menyatakan, penghentian operasional kebun plasma dalam jangka waktu tidak ditentukan hingga terjadi kesepakatan penyelesaian bersama antara pemilik lahan dengan HIP secara adil dan transparan. Juga tanpa campur tangan pihak-pihak yang tidak berwenang dalam masalah keperdataan, program revitalisasi perkebunan serta pola kredit koperasi primer untuk anggota (KKPA) dan kemitraan inti-plasma.
Terkait kejadian ini, para korban telah melaporkan kejadian ini ke kepolisian.
“Polisi awalnya menolak laporan tapi setelah ada saksi dan video-video yang ditunjukkan akhirnya laporan itu diterima,” jelasnya.
Menurut dia, para pemilik lahan sempat mempertanyakan aksi panen paksa ini ke perusahaan, namun dijawab tak ada perintah dari perusahaan. Aksi panen paksa itu inisiatif para buruh karena tuntutan ekonomi, ingin mendapat upah dari perusahaan.
Sengketa antara petani dengan perusahaan dipicu sejumlah pemilik lahan yang tidak masuk anggota koperasi. Koperasi juga dinilai tidak pernah rapat anggota tahunan (RAT) serta bagi hasil tidak pernah diberikan belasan tahun padahal kebun sudah menghasilkan. Petani juga menuntut tidak ada bagi hasil penjualan TBS atau sisa hasil usaha (SHU), belum ada ganti rugi atas pengalihan tanaman produktif kebun mereka sebelum ditanami sawit, data keanggotaan yang diduga dimanipulasi karena banyak pemilik lahan tidak masuk dalam SK Bupati tentang Calon Petani Calon Lokasi (CPCL).
“Selama tuntutan-tuntutan itu belum diselesaikan dalam perundingan yang saling terbuka, adil dan menguntungkan antara pihak petani dengan PT. HIP dan pemerintah, maka petani akan terus melakukan penghentian atas kebun plasma.”
Fatrisia menyayangkan terjadinya kejadian kekerasan tersebut karena sebelumnya ia telah melaporkan adanya tuntutan penghentian operasional ke Polres Buol, HIP dan pemerintah daerah melalui surat pemberitahuan oleh koordinator karyawan. Ini dilakukan untuk menghindari adanya konflik petani dengan buruh.
“Seharusnya, jika memang kelompok buruh ini dipekerjakan dan diupah HIP, maka hubungan ketenagakerjaan adalah dengan perusahaan sehingga membutuhkan peran aktif dinas ketenagakerjaan setempat untuk penyelesaiannya.”
Fatrisia menilai masalah ini seharusnya diselesaikan melalui mekanisme ketenagaakerjaan sesuai aturan , bukan malah melakukan pemanenan paksa di kebun masyarakat. Ironisnya, karena perusahaan lepas tangan dengan tidak mengakui memerintahkan buruhnya untuk pemanenan tersebut.
Baca juga : Cerita Petani Plasma Sawit di Langgikima, Berharap Untung Malah Buntung
Fatrisia juga kecewa dengan pemerintah daerah yang lamban dan seolah melakukan pembiaran atas masalah yang terjadi.
“Pembiaran ini sangat berbahaya dan khawatir memicu konflik horizontal lebih parah lagi. Pemerintah daerah seharusnya dapat mengambil langkah cepat untuk melindungi hak-hak para pemilik lahan, begitu juga hak ketenagakerjaan dari buruh perusahaan.”
Selama ini, katanya, petani plasma paling dirugikan karena tidak mendapat penghasilan apapun dari kebun plasma, dari kemitraan dengan HIP, setelah tanah mereka menjadi perkebunan plasma 16 tahun terakhir.
“Masalah ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pengurus koperasi, dan perusahaan tidak memberikan kepastian bagi para pemilik lahan. Kami berharap, pemda bertanggungjawab untuk meringankan beban hidup para petani plasma yang gagal tersejahterakan melalui program revitalisasi perkebunan ini. Mereka sudah kehilangan pendapatan dari lahan mereka akibat praktik kemitraan tersebut.”
Fatrisia berharap, keadilan bagi petani baik masalah dugaan kekerasan ini, terlebih mendapatkan hak mereka sebagai petani plasma. Dia juga mendesak Pj. Bupati Buol segera mengambil tanggung jawab dan mempercepat tim yang dibentuk.
Terkait upaya penyelesaian sengketa antara petani dan perusahaan , Pemda Buol membentuk Tim Penanganan Penyelesaian Masalah Petani Plasma dan Koperasi Plasma, pada 2023 yang diketuai PJ Bupati, meskipun dikritik karena belum bisa menyelesaikan masalah.
Perkara kemitraan inti-plasma ini juga telah dilaporkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga ini kemudian menggelar sidang Majelis Komisi perdana untuk dugaan pelanggaran Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 20/2008 soal pelaksanaan kemitraan antara HIP dan Koperasi Tani Plasma Amanah (Koptan Amanah) di Kantor Pusat KPPU Jakarta, 15 Februari lalu. Sidang masih berlangsung hingga sekarang.
Mongabay mencoba mengkonfirmasi masalah ini ke perusahaan, namun tidak mendapat respons. (***)
TI Indonesia Ungkap Akar Permasalahan Tata Kelola Sawit di Konawe Utara