- Koalisi masyarakat sipil Sulawesi Selatan soroti bencana ekologis berupa longsor dan banjir yang terjadi di 9 kabupaten di Sulsel pada awal Mei 2024 lalu yang menyebabkan puluhan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang masif, termasuk ribuan hektar sawah yang tergenang banjir menyebabkan gagal panen
- Proses evakuasi korban juga dinilai lambat di mana banyak warga yang harus mengevakuasi dirinya sendiri dengan berjalan kaki puluhan kilometer karena tak adanya tanda-tanda evakuasi melalui jalur darat, sementara evakuasi menggunakan helikopter sangat terbatas dan hanya berlangsung beberapa hari saja.
- Koalisi melihat bencana ekologis itu akibat kerusakan hutan yang terjadi di area gunung Latimojong yang dinilai berawal dari lahirnya konsesi-konsesi tambang termasuk di area gunung Latimojong.
- Koalisi menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengevaluasi konsesi-konsesi yang berada di kawasan hutan yang cacat hukum dan tidak sesuai peruntukannya, terutama pada bentangan pegunungan Latimojong.
Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sulawesi Selatan pada awal Mei 2024 silam telah menyebabkan puluhan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang masif, termasuk ribuan hektar sawah yang tergenang banjir menyebabkan gagal panen.
Sembilan daerah yang terdampak adalah Kabupaten Luwu, Wajo, Sidrap, Soppeng, Enrekang, Pinrang, Toraja, Sinjai dan Bulukumba. Di Kabupaten Luwu, Sidrap, Wajo, Enrekang dan Pinrang, bencana terjadi akibat kerusakan hutan yang terjadi di area pegunungan Latimojong yang merupakan gugusan pegunungan Verbeek dengan berbagai keunikan di dalamnya.
Koalisi masyarakat sipil Sulsel untuk keadilan agraria dan sumber daya alam menilai bahwa kerusakan hutan yang terjadi di area gunung Latimojong berawal dari lahirnya konsesi-konsesi tambang termasuk di area gunung Latimojong.
“Berkurangnya tutupan hutan di bentang pegunungan Latimojong akibat aktivitas tambang tidak lepas dari keterlibatan pemerintah daerah. Sebagian besar dari kita kemungkinan masih mengingat peristiwa tahun 2015 saat ditangkapnya Kepala Dinas Kehutanan Luwu dan mantan kepala desa Mappetajang, Kecamatan Bassesangtempe, yang terlibat kasus pemberian izin dan pembalakan hutan lindung tahun 2013,” ujar Rizki Angriani Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel, mewakili koalisi dalam konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Rabu (15/5/2024).
Baca : Banjir dan Longsor di Sulsel Tewaskan 15 Orang, WALHI Ungkap Penyebabnya
Menurutnya, bencana banjir dan longsor telah menjadi bencana tahunan di Sulsel. Berdasarkan data BPS 2024, terjadi peningkatan jumlah bencana banjir, di mana tahun 2021 ada 51 kejadian dan tahun 2022 menjadi 66 kejadian. Kecamatan Larompong adalah daerah yang paling sering mengalami peristiwa ini. Bahkan dari data BPBD, kecamatan ini mengalami banjir dan longsor sebanyak dua kali di tahun 2023.
“Pada tahun 2021, terdapat 30 kejadian dan tahun 2022 ada 32 kejadian dan kecamatan Latimojong tercatat sebagai daerah yang frekuensi kejadian longsor paling sering yaitu 10 kali,” lanjutnya.
Dijelaskan Rizki bahwa bentang Pegunungan Verbeek Latimojong telah ditetapkan sebagai kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan yang berada di bawahannya seperti tercantum dalam Perda No.3/2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan. Peta InaRisk BNPB juga menetapkan bentang Pegunungan Latimojong merupakan wilayah rawan bencana banjir dan longsor tingkat sedang hingga tinggi.
“Alih-alih membuat rencana mitigasi bencana pada area tersebut, pemerintah pusat, pemerintah daerah Luwu dan beberapa kabupaten lainnya justru membuka konsesi tambang dan gagal mencegah alih fungsi lahan secara besar-besaran,” tambahnya.
Abainya pemerintah dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dinilai berdampak pada banjir yang semakin meluas. Tren peningkatan banjir terjadi empat tahun terakhir di enam kabupaten di Sulsel. Tahun 2024 ini banjir dan longsor berdampak pada lebih dari 11.500 kepala keluarga dengan 27 orang tewas, satu diantaranya adalah balita.
“Pemerintah seharusnya tidak membuka konsesi-konsesi pada area hutan yang menjadi kawasan penyangga air yang apabila mengalami kerusakan akan berdampak buruk terhadap lingkungan. Abainya pemerintah dalam memitigasi bencana ini berdampak pada banjir dan longsor yang semakin tahun semakin parah,” ujar Muhammad Haedir, Direktur LBH Makassar, anggota koalisi lainnya.
Baca juga : Tanpa Mitigasi, Banjir dan Longsor di Sulsel Terus Terulang
Sedangkan Direktur Wallacea Hamsaludin, mengatakan bahwa situasi korban bencana ekologis sangat miris. Pasca bencana, pemerintah tidak sigap dan lambat menyediakan lokasi pengungsian untuk para korban bencana. Warga dari Kecamatan Latimojong bahkan meninggalkan desanya karena ketakutan adanya longsor susulan dan terancam terisolir.
Proses evakuasi korban juga dinilai lambat di mana banyak warga yang harus mengevakuasi dirinya sendiri dengan berjalan kaki puluhan kilometer karena tak adanya tanda-tanda evakuasi melalui jalur darat, sementara evakuasi menggunakan helikopter sangat terbatas dan hanya berlangsung beberapa hari saja.
Hamsaludin menilai bencana ekologis di Sulsel menjadi perhatian kembali setelah selesainya masa tanggap darurat pascabencana yang kemudian dilupakan, kembali menjadi peristiwa dan tragedi saat bencana terjadi lagi.
Selain itu, besar dan luasnya pemberian lokasi untuk izin-izin investasi semakin memperparah ketimpangan penguasaan agraria khususnya petani-petani miskin dan gurem, meski Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Sulsel telah mengakui pembukaan lahan cukup mengancam.
“Alih-alih membicarakan persoalan iklim dan menjaga hutan sebagai ekosistem yang alami, negara justru membuka lahan baru untuk membuka area perkebunan pisang yang luasnya mencapai 500.000 hektar,” tambahnya.
Selain aktivitas pertambangan yang ada di Pegunungan Latimojong dan bantaran daerah aliran sungai (DAS) Suso, lahan perkebunan milik warga juga menjadi sorotan penyebab terjadinya bencana alam banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Luwu.
Baca juga : Lahar Dingin Perparah Dampak Banjir dan Longsor Sumbar
Dari pantauan Perkumpulan Wallacea di lapangan, terlihat dari beberapa titik longsor wilayah hulu berada pada perkebunan milik warga, sebab ada banyak perkebunan cengkeh dan jagung yang tersebar. Meskipun belum diketahui secara pasti apakah lahan yang dikelola adalah milik warga sendiri ataukah masyarakat hanya dijadikan sebagai pekerja oleh pemilik lahan. Ada dugaan beberapa oknum pejabat memiliki lahan yang cukup luas di wilayah pegunungan.
Berdasarkan situasi ini, koalisi menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengevaluasi konsesi-konsesi yang berada di kawasan hutan yang cacat hukum dan tidak sesuai peruntukannya, terutama pada bentangan pegunungan Latimojong.
Pemerintah juga diminta mengoreksi ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi di Kabupaten Luwu yang menyebabkan kemiskinan bagi kaum tani gurem oleh kelompok-kelompok elite, pemodal, tuan-tuan tanah, kaum feodal yang menguasai tanah-tanah lahan pertanian/perkebunan di Luwu khususnya di wilayah penyangga dan perlindungan zona rawan bencana.
“Pemerintah juga harus bertanggung jawab melakukan pemulihan kepada masyarakat korban bencana ekologis dengan memperhatikan penanganan khusus kepada kelompok rentan seperti perempuan, anak, disabilitas dan lansia, serta mengganti kerugian baik materiil maupun imaterial yang dialami warga akibat bencana ekologis yang menjerat masyarakat.”
Koalisi juga meminta Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran pidana lingkungan terhadap aktivitas pembukaan hutan oleh perusahaan dan industri skala besar di bentang pegunungan Latimojong.
Baca juga : Curah Hujan dan Kerusakan Lingkungan adalah Paket Pemicu Bencana Banjir dan Longsor
Penanganan oleh Tim Gabungan
Hujan dengan intensitas tinggi sebabkan bencana banjir dan longsor di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, Jumat dini hari (3/5/2024), mengakibatkan delapan orang korban jiwa, puluhan rumah tertimbun longsor, dan ratusan warga mengungsi. Tujuh daerah yang terdampak adalah Kabupaten Luwu, Sidrap, Pinrang, Wajo, Enrekang, Bone dan Sinjai.
Salah satu daerah yang paling parah terdampak tiga desa di Kecamatan Latomojong, Kabupaten Luwu yang merupakan desa terdekat dari Sungai Latimojong mengakibatkan tertutupnya akses jalan.
Tim SAR gabungan dari Basarnas, BNPB dan dinas terkait telah melakukan evakuasi dan penanganan korban dampak banjir dan longsor di Kecamatan Latimojong, termasuk penanganan operasi udara menggunakan helikopter Bell BNPB dan helikopter AW Polri dalam mengevakuasi warga terdampak yang membutuhkan layanan kesehatan intensif.
“Kami sudah kerahkan helikopter BNPB dan Polri, saat ini sudah terbang pulang-pergi dari Kecamatan Latimojong ke Belopa untuk membawa warga yang sakit dan membutuhkan perawatan intensif,” ujar Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Mayjen TNI Fajar Setyawan di Pos Komando Utama Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan, Rabu (08/5/2024) seperti dikutip dari siaran pers BNPB.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan per 8 Mei 2024 pukul 12.30 WITA, sebanyak 27 orang dari Desa Tibussan, Ulusalu, Buntu Sarek, Buntu Karua dan Pangi telah berhasil dibawa menggunakan helikopter Bell BNPB dan AW Polri untuk memperoleh perawatan intensif di Belopa. (***)
Banjir dan Longsor Landa Sulsel Bukti Ketidakseriusan Pemerintah Kelola Kebencanaan