- Solidaritas dan pernyataan sikap dari sejumlah lembaga masyarakat dan akademisi terus muncul menanggapi Forum Rakyat untuk Air atau People’s Water Forum (PWF) yang tak bisa digelar Senin (21/5/2024) kemarin.
- PWF sebagai forum untuk mengkritisi World Water Forum itu mempertemukan para kelompok warga yang berkonflik air, lembaga lingkungan, dan akademisi ini rencananya dihelat beberapa hari sejak 20 Mei. Kegiatan awal PWF di kampus ISI Denpasar terpaksa dipindah ke lokasi lain.
- Seluruh narasumber dan jurnalis juga dihadang ormas, termasuk pelapor PBB untuk air minum dan sanitasi.
- Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna hendak mengapresiasi penegakan konstitusi tentang sumber daya air di Indonesia di forum PWF, namun gagal.
Peristiwa intimidasi dan kekerasan pada narasumber, peserta, dan panitia Forum Rakyat untuk Air (People’s Water Forum/PWF) berlanjut sampai 21 Mei 2024, yang dimulai dari masa persiapan acara.
Tak sedikit narasumber yang berdebat dengan ormas yang menghadang di pintu gerbang lokasi acara, seperti Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi I Dewa Palguna, Direktur LBH Bali WCC Nengah Budawati, Taman Baca Kesiman Agung Alit, dan Direktur LBH Bali Rezky Pratiwi, termasuk Pedro Arrojo, UN Special Rapporteur on The Rights to Safe Drinking Water And Sanitation.
Pada sore hari, sejumlah pimpinan lembaga seperti Amnesty International, KontraS, AJI Indonesia, YLBH Indonesia, Walhi, Greenpeace, dan lainnya mengeluarkan pernyataan sikap. Di antaranya negara harus memastikan keamanan sipil, membubarkan ormas yang mengepung, menghentikan intimidasi dan serangan digital, memastikan jurnalis meliput dan memastikan publik mendapat informasi benar. Berikutnya, kekerasan dihentikan, pembela HAM harus dilindungi, dan kegiatan bisa dilaksanakan. Ada juga pernyataan sikap lain yang muncul seperti forum akademisi muda Bali, dan lainnya.
Sejak pagi hari, para narasumber, peserta, dan jurnalis dilarang masuk ke lokasi kegiatan forum rakyat untuk air ini oleh puluhan ormas. Hal ini melanjutkan peristiwa intimidasi dan kekerasan pada forum diskusi tentang air oleh jaringan masyarakat sipil ini dalam persiapan kegiatan.
Para laki-laki dewasa berpakaian biasa dan bermasker, menghadang setiap orang yang hendak masuk. Ada juga barisan Satpol PP yang mendiamkan hal ini.
Sejumlah panitia yang sudah ada di dalam Hotel Oranjje, lokasi kegiatan mengatakan diskusi tidak bisa dilaksanakan karena aula terkunci. Ormas juga menekan.
Baca : Kekerasan di Forum Rakyat untuk Air: Kritik World Water Forum di Bali Berujung Anarkis
Pentas Budaya dan Pendampingan Warga
Armayanti Sanusi, Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Nasional juga tertahan sejak pagi hingga sore hari di luar pintu gerbang hotel. Ia menyebut ada banyak kegiatan yang direncanakan seperti pentas budaya dan berbagai diskusi pendampigan warga atas akses air di berbagai daerah di Indonesia.
Pihaknya juga mendampingi kelompok perempuan yang mendapat pelanggaran HAM dari eksploitasi sumber air. Ia mempertanyakan keberpihakan World Water Council dalam membangun mekanisme tata kelola air. “Ada banyak kasus privatisasi air yang berdampak bagi perempuan. Ada juga pola proyek-proyek strategis yang jadi solusi palsu,” paparnya.
Ia mencontohkan kasus pendampingan perempuan di sekitar bendungan Melinting, Lombok, NTB. Warga memprotes bencana ekologi airnya tercemar limbah, padahal tujuannya ketahanan pangan. Sementara di Lampung ada kasus di Tiga Kampung, di Jakarta ada Rawabanyak dan Cilincing yang juga bermasalah dengan akses air.
Cerita perjuangan warga Desa Kedisan, Kintamani, Bangli, Bali juga harusnya disampaikan dalam forum PWF ini. Nengah Budawati, advokat dari LBH Bali WCC dan perempuan Dusun Konyer merintis penggalian sumber air secara manual untuk akses air bersih karena mulai banyak kasus kekerasan dipicu masalah air dan sanitasi. Sekitar 20 KK warga selama ini hanya mengandalkan menadah air hujan.
Baca juga : Klaim Investasi US$9,4 Miliar di World Water Forum Bali
Pernyataan Sikap dan Solidaritas
Pada konferensi pers online pada Selasa (21/5/2024), sejumlah pimpinan organisasi menyerukan penghentian intimidasi dan kekerasan pada PWF.
Nurina Savitri dari Amnesty Internasional heran kenapa masyarakat sipil dibiarkan terintimidasi dan dibubarkan? “Tamparan keras bagi negara. Justru membuat pertanyaan wajah seperti apa yang ditampilkan Indonesia? Harusnya hari ini merayakan 26 tahun reformasi, tapi malah berkabung,” katanya.
Menurutnya ini bukan kejadian pertama kali. Pada perhelatan forum dunia justru kehadiran masyarakat sipil dibungkam. Menurutnya intimidasi pada pekerja HAM jika tak diusut tuntas, akan berdampak pada kebebasan sipil, chilling effect, takut protes pada kebijakan negara. Padahal Indonesia termasuk anggota Dewan HAM PBB.
Andrie dari KontraS menambahkan, pelarangan forum akademis adalah pelanggaran kebebasan akademik, melanggar Surabaya Academic Freedom. Peristiwa dua hari ini menurutnya ada keterlibatan aktif negara dan pembiaran. “Ada upaya intimidasi sektor intelijen pada penyelenggara PWF, pelanggaran aktif oleh negara. Satpol PP diam ketika ada ormas terlibat dalam pemberangusan sipil dan akademik,” paparnya. Dugaan pengerahan ormas ini menurutnya ekses kebijakan peraturan Polri mengenai Pamswakarsa yang mengakomodir ormas dibina. Tapi sayangnya ketika digunakan untuk memberangus kebebasan sipil.
Baca juga : Hancurnya Air Suci Kami, Kiamat bagi Ritual Keagamaan Indonesia?
Sekar Aji dari Greenpeace Indonesia juga mengutuk penghentian upaya penyelamatan lingkungan. “Ketika kita merasakan bumi mendidih, harusnya segala daya memperjuangkan keadilan iklim. Sayangnya teman-teman malah direpresi, tak bisa mencapai keadilan iklim. Air sangat penting bagi keberlanjutan manusia,” ingatnya.
Mengutip pasal 66 UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa negara mengaku pejuang lingkungan hidup. Tapi sebaliknya, malah direpresi. “Negara yang punya banyak sumber daya alam, tidak bisa menghargai warga yang bahas air dan lingkungan. Jangan sampai merayakan Hari Air Dunia, tapi menyisakan air mata,” lanjutnya.
Di tempat terpisah, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) yang pernah menjadi hakim MK Dewa Gede Palguna yang dilarang masuk juga heran. “Sesungguhnya saya justru ingin memanggungkan nama Indonesia di mata dunia karena yang hendak saya presentasikan adalah bagaimana Konstitusi Indonesia (UUD 1945, c,q. Pasal 33) melindungi sumber daya air,” jelasnya pada media. Bahkan mengaitkannya langsung dengan gagasan negara kesejahteraan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Hal ini dibuktikan lewat putusan MK dalam pengujian UU tentang Sumber Daya Air. Palguna adalah bagian dari pelaku perubahan UUD 1945 sehingga paham maksud keseluruhan ketentuan dalam UUD 1945. Saat itu, ia juga yang ikut memutus perkara pengujian UU Sumber Daya Air itu.
“Saya sesungguhnya hendak menambahkan keterangan bahwa perlindungan konstitusi terhadap sumber daya air itu bukan semata-mata demi melindungi sumber daya air melainkan mengaitkannya dengan gagasan negara kesejahteraan. Suatu hal yang sudah sangat maju pada zamannya,” katanya.
Hal ini dipaparkan dalam bukunya yang bertajuk Welfare State Vs. Globalisasi. Gagasan Negara Kesejahteraan di Indonesia (Rajawali Pers, 2019). Namun penghalangan oleh ormas membatalkan niat baiknya. (***)
World Water Forum : Menagih Komitmen Pemerintah Jaga Sumber Air