- Persoalan sampah plastik masih menjadi masalah serius yang dihadapi Indonesia dan semua negara di dunia.
- International Pollutants Elimination Network (IPEN) bersama Indowatercop dan ECOTON [Indonesia], serta 12 negara seperti Argentina, Kamerun, India, Malaysia, Mauritius, Nepal, Nigeria, Serbia, Taiwan, Tanzania, Thailand, dan Togo, melakukan studi global pada 2020 tentang bahan kimia berbahaya dalam pelet plastik daur ulang. Hasilnya, teridentifikasi hampir 500 bahan kimia dalam pelet plastik daur ulang, terutama jenis pestisida, bahan kimia industri, PCB, dan zat beracun lainnya.
- Senyawa racun plastik dapat mengganggu sistem endokrin tubuh kita dan perkembangan reproduksi, juga meningkatkan risiko penyakit kanker, jantung, diabetes, serta obesitas.
- Masyarakat Indonesia masih menggunakan peralatan rumah tangga dari plastik daur ulang, seperti gayung, baskom, mangkok, botol makanan dan minuman, hingga botol bayi.
Persoalan sampah plastik masih menjadi masalah serius yang dihadapi semua negara, termasuk Indonesia.
International Pollutants Elimination Network [IPEN] bersama Indowatercop dan Ecoton Indonesia, serta 12 negara seperti Argentina, Kamerun, India, Malaysia, Mauritius, Nepal, Nigeria, Serbia, Taiwan, Tanzania, Thailand, dan Togo, melakukan studi global pada 2020 tentang bahan kimia berbahaya dalam pelet plastik daur ulang.
Hasilnya, teridentifikasi hampir 500 bahan kimia dalam pelet plastik daur ulang, terutama jenis pestisida, bahan kimia industri, PCB, dan zat beracun lainnya.
“Pada 2 sampel pelet dari pabrik daur ulang plastik di Jawa Timur, terdeteksi 346 bahan kimia. Ada 30 bahan kimia dengan konsentrasi paling tinggi pada setiap sampelnya,” terang Daru Setyorini, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah [Ecoton], Kamis [25/4/2024].
Catatan IPEN menunjukkan, terdapat 16.000 bahan kimia pembuat plastik yang 25% di antaranya beracun.
“Senyawa racun plastik dapat mengganggu sistem endokrin tubuh kita dan perkembangan reproduksi, juga meningkatkan risiko penyakit kanker, jantung, diabetes, serta obesitas,” jelasnya.

Solusi palsu daur ulang plastik
Daru menyebut, Kabupaten Jombang merupakan pusat daur ulang plastik di Jawa Timur.
“Efeknya, sungai-sungai di Jombang sering mengalami pencemaran. Misal, busa menutupi permukaan air hingga sungai tidak terlihat. Ini dampak pencucian sisa-sisa produk deterjen di botol HDPE [High-Density Polyethylene], jenis plastik yang paling banyak digunakan dan didaur ulang.”
Masyarakat Indonesia masih menggunakan peralatan rumah tangga dari plastik daur ulang, seperti gayung, baskom, mangkok, botol makanan dan minuman, hingga botol bayi.
“Ini sangat berbahaya kalau dijadikan wadah makanan dan minuman, karena hasil uji coba menunjukkan ada racun pestisida.”
Menurut Daru, impor sampah plastik sebaiknya dihentikan dan mengoptimalkan suplai sampah dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan industri daur ulang. Sejauh ini, baru 30 persen sampah plastik yang terserap melalui sistem pengumpulan sampah dari desa, TPS 3R, serta bank sampah.
Dia juga tidak menyarankan menggunakan plastik pengganti dari bahan organik, seperti kentang, singkong, alga, dan lainnya. Sebab, selain ongkos produksinya mahal, pola pikir kita tentang plastik pengganti harus diubah menjadi mengurangi atau menghentikan penggunaan plastik.
“Lebih baik pakai bungkus daun pisang, jati, lontar, atau talas. Dengan begitu, masyarakat didorong menanam tanaman yang bisa dipakai membungkus makanan atau jajanan,” imbuhnya.

Anggota peneliti Indowatercop, Amiruddin Muttaqin, mengatakan bahwa mendaur ulang plastik tidak akan menyelesaikan masalah. Banyak penelitian membuktikan bahwa cara ini menjadi vektor penyebaran bahan kimia beracun di lingkungan dan proses daur ulang menghasilkan zat racun baru.
“Artinya, akan lebih banyak lagi bahan kimia,” ucapnya, Kamis [25/4/2024].
Amir mendorong adanya pengendalian internasional terhadap perdagangan bahan kimia, plastik, dan sampah plastik.
“Hal ini didasari tidak adanya persyaratan global untuk memantau bahan kimia dalam plastik daur ulang. Di dalam negeri, masyarakat juga sulit mengakses informasi terkait hal tersebut meski ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Plastik oleh Produsen,” jelasnya.
Deputi Eksternal dan Kemitraan ECOTON, Mohammad Azis, menyebut sejauh ini produsen sulit memberikan informasi produk yang mereka hasilkan.
“Ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, agar produk makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat aman dan terjaga baik,” ujarnya, akhir April 2024.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, Kota Surabaya menghasilkan sampah mencapai 1.500 ton per hari yang berakhir di tempat pembuangan akhir [TPA] Benowo.
“Tahun 2023, Pemerintah Surabaya mengeluarkan anggaran Rp136 miliar untuk membayar tipping fee sampah,” terangnya, awal Mei 2024.
Melalui Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 16 Tahun 2022, diharapkan terjadi pengurangan sampah plastik sekitar 2-3 ton per hari.
“Targetnya, sampah plastik berkurang 50 persen dari 111.300 ton yang dihasilkan.”
Eri berharap, ada solusi kantong belanja ramah lingkungan yang menggantikan kantong plastik.
“Aturan ini justru menguntungkan pelaku usaha mikro kecil dan menengah [UMKM] di Surabaya yang memiliki produk kantong ramah lingkungan,” tegasnya.