- Pagar kawat listrik mulai jadi ancaman bagi keberadaan gajah di Jambi. Awal Mei lalu, satu gajah betina mati tersengat pagar listrik di perkebunan sawit warga di Desa Buit Pamuatan, Kecamatan Serai Serumpun, Kabupaten Tebo, Jambi. Kebun warga itu berada dalam kawasan hutan yang dikelola PT Lestari Asri Jaya (LAJ), anak usaha Royal Lestari Utama (RLU), bagian Michelin Group.
- Tim gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Balai Gakkum Sumatera dan Polsek Sumay saat olah TKP menyita kabel, panel surya, tiang kayu, kawat, inventer serta baterai aki, yang biasa digunakan warga untuk memasang pagar listrik.
- Eko Mulia Utomo, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi menilai, yang menjadi ancaman terbesar populasi gajah di Bukit Tigapuluh bukanlah pagar listrik, tetapi alihfungsi hutan menjadi konsesi perusahaan.
- Wishnu Sukmantoro, Wakil ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mengatakan, kasus kematian gajah di Tebo karena sengatan kawat istrik pertama di Jambi. Pemasangan kawat listrik di kawasan hutan merupakan tindakan ilegal dan sangat berbahaya bagi manusia, gajah dan satwa liar lain.
Pagar kawat listrik mulai jadi ancaman bagi keberadaan gajah di Jambi. Awal Mei lalu, satu gajah betina mati di perkebunan sawit warga di Desa Buit Pamuatan, Kecamatan Serai Serumpun, Kabupaten Tebo, Jambi. Kebun warga itu berada dalam kawasan hutan yang dikelola PT Lestari Asri Jaya (LAJ), anak usaha Royal Lestari Utama (RLU), bagian Michelin Group.
Gajah berusia 25-35 tahun ini diduga mati tersengat kawat pagar listrik yang dipasang pemilik kebun. Bangkai gajah itu ditemukan petugas setelah dua hari mati, tubuh mulai membusuk dan ditutupi pelepah sawit. Terdapat luka memanjang di kepala mengeluarkan darah.
Tim gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Balai Gakkum Sumatera dan Polsek Sumay saat olah TKP menyita kabel, panel surya, tiang kayu, kawat, inventer serta baterai aki, yang biasa digunakan warga untuk memasang pagar listrik.
Petugas balai juga bedah bangkai (nekropsi) dan mengambil beberapa sampel organ untuk uji di Labolatorium Veteriner Bukit Tinggi, Sumatera Barat, guna memastikan penyebab kematian gajah Sumatera.
Gajah bernama Umi ini, merupakan indukan yang mengasuh beberapa anakan gajah. Ia baru saja dipasangi GPS Collar pada Februari 2024. Umi bagian dari kelompok gajah Sumatera di Bukit Tigapuluh, konsesi LAJ menjadi wilayah jelajah utamanya.
Pada 1 Mei 2024, Umi terpantau bersama kelompoknya, tidak jauh dari lokasi kejadian. Dalam kelompok Umi diperkirakan ada 35 gajah, sedang berusaha masuk ke perkebunan sawit warga.
Dari hasil penyelidikan petugas, pemilik kebun merupakan ASN berinisial N. Lelaki 58 tahun itu juga memotong GPS Collar yang terpasang di leher Umi, setelah memastikan gajah itu benar-benar tewas pada 1 Mei 2024. Dia mengakui kesalahannya dan menyerahkan GPS Collar pada BKSDA.
Pertama di Jambi
Wishnu Sukmantoro, Wakil Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mengatakan, kasus kematian gajah di Tebo karena sengatan kawat istrik pertama di Jambi. “Kalau di tempat lain sudah pernah terjadi sebelumnya. Baru-baru ini di Aceh juga terjadi,” katanya saat dihubungi via telepon 7 Mei lalu.
Menurut dia, pemasangan kawat listrik di kawasan hutan merupakan tindakan ilegal dan sangat berbahaya bagi manusia, gajah dan satwa liar lain. “Ini bahaya sekali, karena arus listrik itu bisa mematikan,” katanya.
Dalam catatan FKGI, pemasangan kawat pagar listrik mulai marak sejak 2021. Pagar listrik dengan arus bolak-balik itu membentang sepanjang 20 kilometer memagari kebun-kebun masyarakat di dalam kawasan hutan.
Dengan semua barang bukti, kata Wishnu, seharusnya kasus kematian Umi bisa proses hukum. “Untuk efek jera.”
Iptu Maryono, Kapolsek Sumai, mengatakan, dapat kabar kasus kematian gajah di konsesi LAJ tengah ditangani BKSDA Jambi. “Penyidiknya dari PPNS Dinas Kehutanan Jambi. Kami tidak berwenang menangani kasus ini,” jawabnya saat dihubungi 18 Mei lalu.
Mongabay mencoba menghubungi Donal Hutasoit, Kepala BKSDA Jambi, lewat telepon. Nomornya tidak aktif. Pesan WhatsApp yang dikirim Mongabay juga tidak dibalas hingga berita ini terbit.
Sebelumnya, Mongabay menemui Faried, Kepala Seksi Konservasi Wilayah II, tetapi tidak ingin menjawab. “Langsung konfirmasi ke pusat saja mas, instruksi dari pusat kami dilarang menjawab,” katanya.
Dia menyarankan, menghubungi Badi’ah, Sub Direktorat Pengawetan Spesies dan Genetik Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Sumber Daya Spesies dan Genetik (KKHSG) Direktorat Jenderal KSDAE. Badi’ah yang dihubungi tak menjawab, dua kali dia menghapus pesan di WhatsApp 7 Mei lalu.
Faried lalu meminta saya menghubungi biro humas KLHK, tetapi nomor tertera pesan tidak bisa dihubungi.
Konflik gajah
Populasi gajah Sumatera di kelompok Bukit Tigapuluh diperkirakan ada 120, 80% menjelajah di luar kawasan konservasi. Mereka dominan menjelajah di perkebunan warga dalam kawasan hutan dan konsesi perusahaan, termasuk perkebunan karet LAJ.
Pada 2010, LAJ mendapatkan izin HTI seluas 61.495 hektar di selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), rumah bagi satwa terancam punah. Konsesi LAJ merupakan bekas izin PT Industries et Forest Asiatiques (IFA), perusahaan kayu asal Prancis yang dibeli Barito Pasific. IFA mendapatkan izin konsesi lebih 100.000 hektar pada 1970-an berakhir 2007.
Dalam laporan berjudul “Last Chance to Save Bukit Tigapuluh” rilis oleh KKI Warsi, Frankfurt Zoological Society, Eyes on the Forest dan WWF-Indonesia pada 14 Desember 2010 menyebut, setidaknya ada 30 harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), 150 gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan 130 orangutan Sumatera (Pongo abelii) berbagi ruang hidup di sana.
Wishnu menyebut, ekosistem Bukit Tipuluh di Tebo sangat cocok untuk konservasi gajah. “Di sana ada taman nasional, hutan restorasi PT. Alam Bukit Tigapuluh yang terkoneksi dengan WCA di konsesi LAJ.”
Pada 2018, LAJ mencadangkan 9.700 hektar lahan di kanan jalan koridor PT Wira Karya Sakti, grup Sinarmas Grup, sebagai wilayah cinta alam (WCA) untuk kawasan konservasi dan habitat satwa liar. Tetapi perambahan terjadi begitu masih di dalamnya. Banyak kebun masyarakat yang setiap tahun luas terus bertambah. LAJ mencatat hanya 2.800 hektar kondisi masih berhutan.
Sejak 2008-2017, FKGI mencatat, lebih dari 189.000 hektar hutan di kawasan penyangga ekosistem Bukit Tigapuluh beralihfungsi. Hilangnya habitat jadi pemicu konflik berkepanjangan antara gajah dengan warga lokal dan pendatang. Selama 13 tahun terakhir, setidakya empat orang meninggal karena konflik dengan satwa.
Sepanjang 2019, terjadi 277 konflik gajah dengan manusia. Pada 2020 terdapat 275 kasus. Tahun 2021, konflik meningkat jadi 314 kasus. Masyarakat di Tebo kerap meradang karena ladang dan kebun jadi bulan-bulanan gajah lapar.
Dalam catatan Mongabay, 10 gajah mati selama 2013-2022. Empat diduga mati diracun. Di luar data itu, pada 2022, petugas BKSDA Jambi menemukan bangkai anak gajah di Desa Suo-Suo dan satu tengkorak gajah di konsesi LAJ berbatasan dengan PT. Alam Bukit Tigapuluh. Pada 2021, juga ditemukan tengkorak gajah di Desa Pemayungan sampai sekarang belum diketahui penyebab kematiannya.
Data FKGI menunjukkan fakta lebih miris, selama 10 tahun terakhir setidaknya 700 gajah Sumatera mati akibat diracun, atau diburu untuk diambil gadingnya.
Pada 1985, Indonesia masih memiliki 44 kantong populasi gajah Sumatera. Namun, 2007 jumlah berkurang drastis tinggal 25 kantong. Dari jumlah itu, hanya 12 kantong memiliki populasi lebih dari 50. Salah satunya, di kawasan ekosistem Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Hefa Edison, Kepala Resort Tebo, yang ditemui Mongabay sebelumnya mengatakan, cadangan pakan di wilayah cinta alam (WCA) LAJ tidak cukup lagi untuk puluhan gajah di kelompok Bukit Tigapuluh.
“Mau tak mau gajah turun ke kebun masyarakat,” katanya.
Dalam satu hari, satu gajah dewasa rata-rata butuh minum 180 liter air dan pakan 150-250 kilogram, atau 10% dari bobot tubuh. Gajah betina dewasa bobot bisa 2,5 ton sampai 2,7 ton. Sementara gajah jantan bisa tiga ton. Gajah juga perlu areal jelajah hingga 20 kilometer persegi setiap hari.
Penanggung jawab Kantor Pusat Informasi Konservasi Gajah itu juga menjelaskan, wilayah Pemayungan, Semambu, Muaro Sekalo, Suo-suo, Muara Kilis hingga Bukit Trintin merupakan jalur gajah. Tetapi warga yang tidak memiliki keahlian untuk menghalau gajah mulai memasang kawat setrum. Dampaknya, jalur pergerakan gajah berubah.
“Dulu, gajah itu masih datang empat bulan sekali ke Pemayungan, sudah itu ngilang. Empat bulan lagi gajah naik lagi—masuk wilayah LAJ. Sekarang putus, karena sudah dipasang pagar listrik.”
Pada 2019, katanya, pergerakan gajah sampai ke konsesi Wanamukti Wisesa, tahun 2020 tidak lagi sampai sana. “Cuma batas Desa Pemayungan. Tahun 2022, tidak sampai Pemayungan,” kata Hefa.
Dia khawatir, jalur pergerakan gajah yang berubah akan memicu konflik di wilayah baru. “Karena gajah tidak mungkin masuk taman nasional, karena dataran tinggi. Larinya tetap ke kebun masyarakat.”
Hefa tidak sanggup kalau harus membendung kawanan gajah agar tidak masuk kebun masyarakat.
Sedangkan LAJ mengaku tak memiliki informasi terkait seberapa banyak pagar listrik yang dipasang di kebun masyarakat di konsesi mereka karena masih dalam penyelidikan.
“Sebagai pemegang konsesi, kami mengelola wilayah kerja sesuai izin yang diberikan pemerintah dan melaporkan segala potensi pelanggaran,” tulis perusahaan lewat email kepada Mongabay, yang dikirim Royal Lestari Utama (RLU), 17 Mei 2024.
Selama dua tahun terakhir, katanya, LAJ bersama para pihak dipimpin BKSDA Jambi sudah memastikan peraturan baru tentang pagar listrik disampaikan ke masyarakat di dalam konsesi.
“Kami telah mengadakan pertemuan kepada petani kecil dan bertemu berkali-kali dengan pihak berwenang untuk membahas hal-hal yang menjadi prioritas.”
Saat ini, mereka bekerjasama dengan pihak berwenang berupaya membersihkan penghalang serta pagar listrik agar gajah bisa bergerak bebas.
“Pemerintah juga serius menyelesaikan isu ini dan berupaya menemukan solusi-solusi lain untuk menjamin keselamatan satwa liar dan manusia.”
Anak usaha RLU itu juga mengakui tantangan utama mereka adalah perambahan yang mencapai 60% dari luas konsesi. LAJ menyebut, mereka aktif bekerja lewat pendekatan dari berbagai sisi untuk mengatasi perambahan. Termasuk, berkolaborasi dengan pihak berwenang untuk mengidentifikasi mereka yang mendorong atau memfasilitasi perambahan lahan.
“Kami juga sedang menjajaki kemitraan dengan LSM dan pemimpin masyarakat untuk mengembangkan solusi berkelanjutan yang mengatasi akar penyebab perambahan lahan ini.”
Alih fungsi hutan
Eko Mulia Utomo, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi menilai, yang menjadi ancaman terbesar populasi gajah di Bukit Tigapuluh bukanlah pagar listrik, tetapi alih fungsi hutan menjadi konsesi perusahaan.
Walhi Jambi mencatat, ratusan ribu hektar hutan di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigpuluh telah dikavling-kavling jadi izin perkebunan monokultur dan hutan tanaman industri.
Dampaknya, ruang jelajah gajah menjadi terbatas dan cadangan makanan berkurang hingga gajah masuk ke kebun masyarakat.
“Kematian gajah itu berangkat dari negara yang memberikan izin konsesi perusahaan di wilayah kelola masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dengan gajah,” katanya.
Eko menilai, pemerintah seharusnya melihat kondisi lapangan sebelum memberikan izin konsesi hingga konflik antara perusahaan dengan masyarakat, maupun satwa, tidak terjadi.
“Warga memasang pagar listrik itu untuk melindungi kebun. Sebelum itu mereka sudah mencoba pakai obor, petasan, dijaga tapi tidak berhasil, sampai pilihan gunakan pagar listrik. Jadi, bukan ujuk-ujuk langsung pakai pagar listrik,” kata Eko.
Pemerintah dan pemilik izin konsesi, katanya, yang seharusnya bertanggungjawab atas kematian Umi. Eko mendorong pemerintah dan semua pemegang izin konsesi menyiapkan wilayah konservasi yang tidak berdekatan dengan wilayah kelola masyarakat hingga konflik dengan satwa bisa diminimalisir.
*******
Tersengat Listrik, Gajah Sumatera Ditemukan Mati di Kebun Warga Pidie Jaya