- Sekelompok ahli yang dipimpin oleh Annisya Rosdiana dari Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI) sedang merancang neraca laut Indonesia untuk mengetahui secara pasti kelimpahan sumber daya kelautan dan perikanan negara tersebut.
- Inisiatif yang dimulai pada tahun 2021 ini merupakan bagian dari upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan pengelolaan kelautan berkelanjutan.
- Neraca laut Indonesia juga merupakan bagian dari Global Ocean Accounts Partnership (GOAP), yang bertujuan untuk menciptakan metode penghitungan kelautan yang dapat diterima secara global.
- Inisiatif ini menghadapi tantangan karena kekurangan data, kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah, dan lemahnya penegakan kebijakan perikanan di lapangan.
Berapa banyak kekayaan maritim dan pesisir yang ada di Indonesia? Apa saja sumberdayanya? Itulah pertanyaan yang ingin dijawab oleh sekelompok peneliti Indonesia, dari Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI), sebuah unit think tank independen dari Rekam Nusantara Foundation (RNF).
Annisya Rosdiana dan timnya sejak tahun 2021, telah bekerjasama dengan Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) untuk merancang metode penelitian untuk mengetahui kekayaan negara ini. Tujuannya agar dapat berkontribusi untuk peningkatan pengelolaan kelautan berkelanjutan di masa datang.
Mekanisme penghitungan Neraca Sumberdaya Laut (NSL) Indonesia ini dilakukan lewat pelaksanaan proyek percontohan untuk mengetahui nilai neraca laut sumberdaya kelautan Indonesia, jasa ekosistem dan trend degradasinya dalam periode waktu tertentu.

Inisiatif ini sendiri merupakan bagian dari Global Ocean Accounts Partnership (GOAP), sebuah kolaborasi internasional dengan tujuan menciptakan standar metode akuntansi laut secara global.
“Neraca sumberdaya laut saya asosiasikan seperti akuntansi, catatan dari aset yang kita punya,” jelas Heidi Retnoningtyas, Direktur Program di FRCI, yang merupakan lulusan program Doktor dari Universitas Rostock Jerman ini,
Kekurangan dan kesenjangan data selama ini telah jadi tantangan bagi Indonesia untuk mencapai kemajuan pengelolaan sektor perikanan dan target tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB di bidang kelautan.
Kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah terkait, juga jadi hambatan. Hal ini mengakibatkan kebijakan perikanan yang dikeluarkan pemerintah pusat, sering tidak dilaksanakan, di pantau dan di evaluasi dengan baik di lapangan.
Saat ini KKP sedang mengembangkan dua perangkat, yaitu: akuntansi kelautan dan data besar kelautan untuk membantu memberikan informasi dalam pembuatan kebijakan dan zonasi pemerintah terkait dengan sektor perikanan, kawasan konservasi, dan ekosistem penting kelautan seperti padang lamun, hutan bakau, dan terumbu karang.
“Kami dari RNF adalah mitra yang cukup progresif dalam pengembangan neraca sumberdaya laut di Indonesia, sejak awal kami telah ikut serta,” tambah Annisya.
Berikut petikan wawancara yang dilakukan oleh Basten Gokko dari Mongabay bersama keduanya.
***
Mongabay: Bagaimana lembaga Anda pertama kali terlibat dalam inisiatif akunting laut (ocean account) berskala global ini?
Annisya Rosdiana: Pada awalnya ocean account diperkenalkan oleh KKP khususnya Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Laut untuk melihat bagaimana neraca sumberdaya laut dapat diimplementasikan untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi.
Di sisi lain, ada kementerian dan lembaga yang sudah menuju ke penyusunan neraca sumberdaya laut namun pada aspeknya belum terintegrasi. Misalnya di Kemenkeu sudah ada sistem valuasi sumberdaya hayati di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa tahun terakhir mengembangkan sistem terintegrasi untuk neraca lingkungan dan ekonomi di Indonesia.
Badan Informasi dan Geospasial (BIG) juga sudah mengembangkan semacam pedoman penyusunan neraca dan juga valuasi sumberdaya laut. Sedangkan di Bappenas ada mandat atau kebutuhan agar data tentang keanekaragaman hayati laut dan ekosistem itu untuk mendukung implementasi dan capaian RPJMN 2020-2024.
Namun belum semuanya ke aspek sumberdaya laut, saat itu masih sumberdaya hutan, air, tanah dan pertambangan.
Kemudian pada September 2021 ada lokakarya pertama dimana semua institusi ini saling berbagi informasi dan berdiskusi bagaimana neraca sumberdaya laut ini dapat dikembangkan bersama. Saat itu RNF menjadi bagian diskusi ini dan juga memfasilitasi kegiatannya.
Pada tahun 2022 kami mulai bergabung dengan GOAP, yang merupakan kemitraan internasional yang tidak hanya lembaga riset tapi juga kementerian dan institusi terkait.
Kami mendapat dukungan dari GOAP dalam pelaksanaannya. Jadi untuk kegiatan termasuk perencanaan dan pelaksanaan sampai proses kegiatan ini untuk menghasilkan aksi atau peta jalan untuk implementasi neraca sumberdaya laut.
Kami terlibat dalam proses piloting neraca sumberdaya laut, yang pertama di Gili Mantra (Nusa Tenggara Barat) dan di Pantura Jawa. Hingga saat ini ada hampir 8 kawasan konservasi yang sudah dilakukan piloting neraca sumberdaya laut.

Mongabay: Seperti apa ruang lingkup ocean account itu?
Annisya Rosdiana: Ini adalah sistem terintegrasi yang menghimpun data spasial maupun non spasial. Dalam sebuah ekosistem, seberapa banyak aset ekosistem yang kita miliki di hitung. Misalnya mangrove seberapa luas, ikan seberapa banyak, manfaatnya seperti apa. Nah neraca sumberdaya laut ini mengintegrasikan data tersebut baik data ekosistem maupun pemanfaatan ekosistem termasuk sosial budaya di dalamnya.
Di dalam neraca laut, kami menempatkan semua aset yang kita miliki, seberapa luas, seberapa jumlahnya, lalu bagaimana kondisinya, -apa masih bagus atau sudah rusak. Yang lalu diterjemahkan dalam bentuk monetary value, misalnya dengan luas mangrove sekian dalam konteks pemanfaatan ekoturisme, berapa yang bisa kita dapatkan jika itu dikelola.
Kemudian di neraca sumberdaya laut, ada juga modul aliran ke ekonomi, dari aset tersebut kira-kira berapa benefit yang bisa kita dapatkan.
Jadi masing-masing ekosistem punya jasa atau manfaat bagi lingkungan yang dapat dihitung. Dan sebaliknya, apakah pemanfaatan itu akan berdampak pada ekosistem. Misalnya dari kegiatan wisata berapa banyak sampah yang akan dihasilkan, atau berapa jumlah limbah yang mengalir ke laut.
BPS dan Kemenko Marves saat ini menyusun yang namanya PDRB Maritim untuk mengetahui sebenarnya berapa pendapatan yang bisa diterima negara dari sektor kelautan-perikanan ini,
Kemudian di sisi lain ada neraca tata kelola yang artinya setiap ruang laut itu tidak hanya satu atau dua tata kelola saja. Ada kawasan konservasi, ada alur pelayaran, atau misalnya jalur migas atau kabel laut, dan sebagainya.
Dengan adanya neraca sumberdaya laut, kita bisa memetakan itu semua dan menjadi bagian dari decision making. Semua informasi ini bisa memberikan kita dasar untuk membuat kebijakan.
Heidi Retnoningtyas: Saya lihat ocean big data adalah bagian dari ocean account, tanpa data kita tidak bisa membuat statement tentang status aset yang kita miliki. Indonesia adalah negara yang memiliki pesisir dan laut yang luas. Kita memiliki 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), banyak marine protected area, yang masing-masing memiliki datanya sendiri, bagaimana luasnya, kondisinya dan aset fisiknya. Hal tersebut yang sekarang sedang kami kumpulkan.

Mongabay: Bagaimana mendeskripsikan komponen di dalam ocean account?
Annissya Rosdiana: Yang pertama neraca aset ekosistem, di mana tabulasi aset yang kita miliki berfokus pada aset ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, lamun, ataupun aset-aset individu seperti sumberdaya ikan, hingga mineral.
Neraca kedua aliran arus ke ekonomi atau flows to the economy, itu mentabulasikan ekonomi dari aset ekosistem. Jadi untuk mengetahui berapa jasa provisioning yang bisa di-harvest oleh lingkungan atau oleh sektor-sektor tertentu.
Ada pengklasifikasian sektor yang memanfaatkan sumberdaya laut di Indonesia. BPS misalnya mengkategorikan menjadi 9 cluster termasuk perikanan, bioteknologi, jasa kelautan, wisata bahari, pertahanan dan ketahanan industri.
Akun ketiga itu arus ke lingkungan, jadi menghitung berapa limbah yang dihasilkan dari sektor ini ke lingkungan. Misalnya dari sektor perikanan berapa banyak air bilas, lalu dibuang lagi ke lingkungan, ada berapa yang di-treatment dulu, dsb. Jadi kita bisa tahu masing-masing sektor ini mengambil berapa banyak dari alam, mendapatkan keuntungan berapa, dan memberikan kembali ke alam seperti apa.
Kemudian modul keempat, ekonomi kelautan atau disebut juga satellite account. Jadi kita bisa tahu berapa banyak sumbangsih sumberdaya laut ini kepada PDB nasional, ini biasanya yang dilakukan BPS untuk mengetahui gambaran masing-masing 9 sektor tadi.
Kemudian ada neraca tata kelola, ini lebih melihat ke gabungan antar regulasi pada satu wilayah spasial, apakah ada tumpang tindih atau persinggungan dan lain sebagainya.
Kemudian neraca kombinasi, ini berbagai neraca yang sebelumnya telah disampaikan lalu digabungkan dalam satu tampilan yang sama. Yang terakhir adalah kekayaan laut, ini lebih menggambarkan status kekayaan laut suatu negara.
Yang saat ini menjadi fokus untuk implementasi di Indonesia ada 3 neraca, yang pertama neraca aset ekosistem, neraca arus ke ekonomi, dan arus ke lingkungan. Itu yang sudah ada pilotnya di beberapa lokasi.
Mongabay: Bagaimana cara Anda mengumpulkan data-data ini, apa ada hambatan?
Heidi Retnoningtyas: Sebagai contoh, –yang saya ketahui selama ini, jasa laut seperti arus pelayaran kapal tidak masuk di dalam data. Dengan potensi garis pantai panjang itu masuk dalam jasa ekosistem laut, dan bisa dijadikan dasar untuk pengaturan arus lalu lintas kapal.
Didalamnya, ada banyak cluster, kadang kami terhambat dalam segi kapabilitas untuk menilai semua cluster ini, sehingga dipilihlah yang menjadi prioritas di daerah tertentu.

Mongabay: Jika proses ini telah selesai, apa yang Anda harapkan selanjutnya?
Annisya Rosdiana: Ini menjadi tahap awal untuk perumusan dan implementasi kebijakan. Penyusunan kebijakan itu harus berbasis kaidah ilmiah atau science-based management.
Untuk mewujudkan pengelolaan berkesinambungan, maka perlu didukung oleh ketersediaan data dan informasi. Jika kita hanya bergerak pada tatanan implementasi tanpa tahu alat ukur suatu kebijakan itu berhasil, menurut saya ini tidak bakal efektif.
Dengan mengetahui aset yang kita miliki, kita dapat melihat seperti apa perubahannya, memantau proses apakah aset itu bisa recovery atau justru mungkin tidak.
Ocean account bisa jadi sebuah simulasi pemanfaatan ruang laut. Misal jika suatu perusahaan ingin membangun distrik wisata di suatu tempat. Di tempat itu bisa disimulasikan apa saja aset ekosistemnya, berapa luas destinasi wisata yang dapat dibuat, apa dampak ke depan jika destinasi wisata ini memanfaatkan sekian luas wilayah tersebut, lalu berapa kira-kira hitungan manfaat secara ekonomi yang dapat dihasilkan.
Dalam konteks pertahanan dan keamanan (Hankam) ini pun bisa di lihat. Saat kami melakukan survey di Anambas, kami berjumpa dengan patroli dan monitoring wilayah perbatasan yang terkait pertahanan dan keamanan.
Mongabay: Apakah ocean account juga bisa diaplikasikan untuk pertambangan?
Heidi Retnoningtyas: Itu termasuk salah satu hal yang dinilai. Ketika misalnya kegiatan pertambangan itu cukup dominan di kawasan itu, itu akan menjadi satu catatan penting. Seperti apa dampak ekonomi untuk warga, bagi masyarakat sekitar dan nasional juga, juga seperti apa dampak lingkungannya, ini yang kemudian jadi input untuk neraca sumberdaya laut.

Mongabay: Secara khusus untuk resolusi konflik di bidang maritim dan teritori pesisir, seperti apa ocean account dapat berkontribusi?
Annisya Rosdiana: Dengan mengetahui aset dan trend perubahan di suatu wilayah khususnya di laut dengan pendekatan ocean account menjadi sangat mungkin.
Hal ini yang sedang dikembangkan KKP, lewat pendekatan sistem dinamis ruang laut yang digabungkan dengan informasi aset sumberdaya laut, valuasi ekonominya berapa, lalu data tentang RZWP3K digabung atau ditumpangtindihkan dalam satu basis data yang sama yang dapat disimulasikan. Dengan ini untuk 10-20 tahun ke depan, kita dapat mengetahui seperti apa dampak ke ekosistemnya.
Ada satu analogi yang cukup unik dari Profesor Ahmad Fauzi salah satu tim pakar di neraca sumberdaya laut di Indonesia adalah ketika kita punya uang, di ATM kita bisa lihat berapa saldo yang kita punya berapa dan berapa yang sebaiknya kita ambil supaya mungkin sampai bulan selanjutnya masih ada. Dan itu salah satu manfaat dari ocean account.
Mongabay: Tantangan apa yang Anda hadapi dalam ocean account?
Heidi Retnoningtyas: Tentunya wilayah Indonesia yang sangat luas dan banyak stakeholders. Dari banyaknya data yang harus kami kumpulkan, tantangannya adalah koordinasi antar stakeholder ini perlu diperkuat. Kami bersyukur salah satu item kegiatan yang didanai oleh project Ocean Account ini adalah penguatan pokja, yang sifatnya pertemuan secara rutin.
Annisya Rosdiana: Dari aspek kapasitas di Indonesia, ini masih jadi tantangan jika mengikut pada technical guidance ocean accounting yang dikeluarkan GOAP. Namun itu, pada akhirnya diserahkan kembali pada kami, karena kami yang paling paham konteks sumberdaya yang begitu luas di Indonesia.
Kemudian ada juga standar metodologi yang digunakan. Itu mencakup kompleksitas teknis maupun non-teknis bagaimana hasil dari neraca sumberdaya laut ini dapat mendukung kebijakan yang ada ataupun sebaliknya bagaimana kebijakan ini dapat memberikan peluang bagi ocean account untuk diimplementasikan.
Dalam proses teknis neraca sumberdaya laut kami menggunakan sistem dan teknologi yang terbarukan. Dalam pemetaan sumberdaya laut kami menggunakan citra satelit yang real-time.
Mongabay: Faktor apa yang dapat memastikan Ocean Account dapat optimal dan meningkatkan pengelolaan sumberdaya maritim dan perikanan?
Annisya Rosdiana: Kalau kita bicara tujuan pembangunan berkelanjutan di taraf global yang sudah diejawantahkan dalam RPJMN dan aturan-aturan terkait, tentu pendekatan komprehensif seperti ini merupakan salah satu kunci untuk mewujudkan target tersebut.
Pembelajaran penting bagi kami adalah neraca sumberdaya laut di Indonesia ini disusun atas kerja sama antar pihak.
Mungkin di negara lain hanya universitas yang menginisiasi neraca sumberdaya laut sehingga kajiannya lebih ke sains. Di Indonesia ada peluang besar karena ada antar kementerian, lembaga, kampus dan masyarakat yang bisa ikut serta dalam penyusunannya. Sehingga tidak hanya menjadi sains tapi juga bagaimana mendukung kebijakan yang ada.
Tulisan asli: Putting a value on Indonesia’s marine resources: Interview with Annisya Rosdiana & Heidi Retnoningtyas