- Sebanyak 16 pekerja migran yang jadi buruh di perkebunan sawit di Malaysia ditelantarkan oleh mafia penyelundupan orang di pulau tak berpenghuni di Kota Batam, Kepulauan Riau. Mereka menjadi buruh tanpa izin kerja beberapa tahun di Malaysia, bekerja sembunyi-sembunyi di dalam kebun sawit.
- Rata-rata dari para pekerja harus membayar keberangkatan pulang kampung jalur gelap itu sebesar 3.500 ringgit Malaysia, sekitar Rp11 juta. Mereka berangkat malam hari, 20 Mei lalu. Naasnya, pada pukul 01.00 dini hari 21 Mei para pekerja migran ini diturunkan tekong kapal mafia di tengah laut Pulau Tanjung Acang, Batam.
- Para pekerja harus berjalan ke pesisir Pulau Tanjung Acang dengan kedalaman air ketika itu setinggi dada orang dewasa. Hingga pagi hari jemputan yang dijanjikan tekong jaringan penyelundupan tak kunjung datang. Akhirnya, ada warga dari pulau lain menemukan para pekerja ini. Kemudian mereka dievakuasi ke Dermaga Satrol Lantamal IV.
- RD Paschalis Saturnus Esong, pegiat kemanusiaan di Batam mengatakan, kegagalan aturan negara melindungi pekerja migran ini jadi ladang meraup keuntungan mafia. Selain cenderung diskriminatif, aparat juga tidak pernah serius mencari siapa dalang di balik peristiwa ini. Para pelaku, pemilik modal, pembeking, semua yang terlibat tidak pernah tuntas dipidanakan. Kejahatan terus berkembang bahkan dipelihara.
Sebanyak 16 pekerja migran yang jadi buruh di perkebunan sawit di Malaysia ditelantarkan mafia penyelundupan orang di pulau tak berpenghuni di Kota Batam, Kepulauan Riau. Mereka menjadi buruh tanpa izin kerja beberapa tahun di Malaysia, bekerja sembunyi-sembunyi di dalam kebun sawit.
Suparman, tak menyangka perjalanan pulang ke kampung halaman di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat berakhir di pulang kosong Tanjung Acang, Kelurahan Ngenang, Kecamatan Nongsa, Batam, Selasa dini hari (21/5/24). Dari 16 pekerja, satu orang berasal dari Medan, selebihnya NTB.
Setelah lima tahun bekerja di kebun sawit di Malaysia, Suparman memilih pulang kampung melihat orang tuanya sakit. “Saya pulang, karena orang tua sakit,” katanya kepada awak media dalam acara penyerahan 16 pekerja migran di Dermaga Satrol Danlatamal IV, Punggur Batam, Selasa siang, (21/5/24).
Dia menempuh jalur ilegal pulang ke Lombok Timur via Batam. Pasalnya, sejak bekerja lima tahun lalu masuk Malaysia dengan paspor pelancong hingga status tak memiliki izin kerja di Malaysia alias ilegal.
Suparman masuk Malaysia pada 2019 melalui pelabuhan ferry di Batam. Sampai di Malaysia Suparman bekerja di perkebunan sawit.
Kini, dia bulat mau pulang kampung. Berbekal satu tas ransel hitam, Suparman berangkat dari Malaysia dengan speedboat difasilitasi jaringan penyelundupan pekerja migran itu.
Rata-rata dari para pekerja harus membayar keberangkatan pulang kampung jalur gelap itu sebesar 3.500 ringgit Malaysia, sekitar Rp11 juta. Mereka berangkat malam hari, 20 Mei lalu.
Naasnya, pada pukul 01.00 dini hari 21 Mei para pekerja migran ini diturunkan tekong kapal mafia di tengah laut Pulau Tanjung Acang, Batam. “Katanya turun dulu di sini, nanti ada yang jemput,” kata Suparman.
Para buruh migran harus berjalan ke pesisir Pulau Tanjung Acang dengan kedalaman air ketika itu setinggi dada orang dewasa. Hingga pagi hari jemputan yang dijanjikan tekong jaringan penyelundupan tak kunjung datang.
Akhirnya, ada warga dari pulau lain menemukan para pekerja ini. Kemudian mereka dievakuasi ke Dermaga Satrol Lantamal IV.
Para buruh migran lain punya cerita hampir sama. Saat mereka hendak diberangkatkan dari Malaysia, para pekerja diminta mematikan handphone agar tidak ada yang mengambil foto mafia yang membawa mereka.
“Saya tidak ada foto, hape sebelum kami berangkat, harus dimatikan, saya juga tidak kenal dengan tekong-nya,” kata Dendi, juga pekerja migran di kebun sawit.
Para pekerja ini juga mengaku tidak tahu nama pelabuhan tempat mereka berangkat dari Malaysia. “Kami tidak tahu, karena berangkat malam dari sana,” katanya.
Buruh kebun sawit Malaysia
Dendi sudah hampir dua tahun bekerja di kebun sawit di Malaysia. Dia bekerja di perkebunan sawit perorangan di Negeri Sembilan, Malaysia.
Karena tak memiliki izin bekerja, dia selalu bersembunyi dalam perkebunan sawit. Para pekerja di perkebunan itu sudah disediakan tempat tinggal dan fasilitas lengkap.
Satu bulan rata-rata buruh sawit ini dapat upah 2.000 ringgit Malaysia, setara Rp6 juta. “Dulu, saya berangkat langsung dari Lombok Timur, pakai pesawat dengan paspor pelancong,” katanya.
Paspor pelancong hanya bisa digunakan 30 hari masa tinggal di Malaysia. Setelah itu pelancong harus kembali ke negara asal, namun pekerja migran ini memilih terus bekerja hingga jadi pekerja migran ilegal.
Para buruh sawit di Malaysia bekerja sebagai pemanen maupun menjadi tukang bersih kebun sawit. Dalam 1.000 hektar sawit, ada 10-12 pekerja. “Kalau kerja jamnya tergantung kita, yang pasti tugas dikerjakan, kerja di sana motong sawit,” kata Dendi.
Para buruh bertugas memanen dan memotong sawit. Tidak hanya bekerja dengan perkebunan sawit perorangan, dari sebagian juga bekerja di perusahaan sawit.
Saat ditanya awak media, para pekerja ini mengaku tidak mengetahui nama perusahaan sawit yang mempekerjakan mereka. “Saya tidak tau namanya,” kata M Sukron, pekerja migran ilegal yang mengaku sudah dua kali keluar masuk Malaysia secara ilegal.
Bekerja di perkebunan sawit bagi sebagian mereka menjanjikan. Suparman bilang, sudah bisa membangun rumah di Lombok Timur setelah bekerja lima tahun sebagai buruh kebun sawit di Malaysia.
Di depan aparat hukum para pekerja mengaku tidak akan kembali ke Malaysia untuk bekerja di kebun sawit. “Saya kembali nanti lewat jalur resmi,” kata Dendi.
Selama ini, katanya, tak melalui resmi karena proses pengurusan perlu waktu lama, bahkan sampai dua tahun baru bisa berangkat ke Malaysia. Kalau jaringan penyelundupan pekerja migran bisa langsung berangkat ke Malaysia.
Sahdan pun bilang begitu. Dia tidak akan kembali jadi pekerja migran ilegal ke Malaysia. “Ini yang terakhir,” kata Sahdan.
Kombes Pol Imam Riyadi, Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kepri mengatakan, sebagian dari pekerja migran ini ada yang pulang kampung karena gaji mereka tidak dibayar pemilik atau perusahaan kebun sawit. “Tadi ada juga yang mengaku pulang kampung karena gaji tidak dibayarkan,” katanya.
Pekerja migran ini dieksploitasi sindikat penyelundupan pekerja migran, tanpa berkeperimanusiaan. “Mana rasa kemanusiaan mereka? Menelantarkan pekerja migran di pulau kosong seperti itu,” katanya.
Pekerja migran selundupan ini sudah sering terjadi, kata Imam, dan Batam jadi transit. Rata-rata mereka bekerja di perkebunan sawit. “Lokasi Kepri ini strategis karena berada di perbatasan dan pulau juga luas.”
Letkol laut (P) Tony Priyo Utomo, Dansatrol Lantamal IV mengatakan, dari penyelidikan awal, para pekerja migran tidak mengenali mafia yang memberangkatkan mereka. “Tetapi nanti BP3MI akan melanjutkan pemeriksaan.”
RD Paschalis Saturnus Esong, pegiat kemanusiaan di Batam mengatakan, kegagalan aturan negara melindungi pekerja migran ini jadi ladang meraup keuntungan mafia.
Selain cenderung diskriminatif, aparat juga tidak pernah serius mencari siapa dalang di balik peristiwa ini.
“Para pelaku, pemilik modal, pembeking, semua yang terlibat tidak pernah tuntas dipidanakan. Kejahatan terus berkembang bahkan dipelihara,” katanya melalui telepon.
********
Derita Buruh Sawit Indonesia di Negeri Jiran pada Masa Pandemi