- Puluhan orang melakukan aksi tanam mangrove di Kampung Nelayan Untia, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim
- Di Kelurahan Untia terdapat dua kelompok penjaga dan pengelola mangrove, yaitu Kelompok Bahari yang dipimpin Hamzah beranggotakan 24 orang dan Kelompok Lestari yang dipimpin Saleh, juga beranggotakan 24 orang.
- Kehadiran mangrove di Untia ini telah sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, khususnya menjaga dari abrasi, air pasang dan puting beliung.
- Kegiatan penanaman ini adalah rangkaian dari pelaksanaan workshop rehabilitasi pesisir untuk mengatasi dampak negatif perubahan iklim, yang dilaksanakan oleh Puslit Perubahan Iklim Unhas bekerja sama dengan Direktorat PPI KLHK disokong oleh Hanns Seidel Stiftung.
Hari masih sangat pagi, matahari belum begitu tinggi menghangatkan Kampung Nelayan Untia, sebuah kawasan mangrove di Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, telah ramai oleh orang-orang yang ingin menanam mangrove. Penanaman pagi hari, ketika air masih surut.
Mangrove di Kampung Nelayan Untia tumbuh subur, meskipun di beberapa bagian tampak bolong-bolong. Bagian yang bolong itu ditanami ratusan bibit yang diperkuat ajir, bilah bambu sebagai tiang penyangga.
“Sebenarnya lebih bagus tanam sedikit tapi tumbuh, daripada banyak tapi tidak dijaga pertumbuhannya,” kata Sudarwanto dari Balai Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sulawesi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Selasa (21/5/24).
Bibit mangrove yang ditanam berjenis Rhizophora hasil semaian warga yang sudah agak besar, hampir semeter tingginya.
Djamrud, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan juga fasilitator lingkungan serta Sekretaris Tempat Pembuangan Sampah (TPM) 3M Kelurahan Untia, setiap hari memantau lokasi tersebut, membersihkan sampah, khususnya sampah plastik, dan memantau perkembangan mangrove yang telah ditanam.
“Banyak tamu datang memberikan bibit dan turun menanam. Namun kalau hanya datang menanam kemudian pulang itu tidak bisa kami pertanggungjawabkan, sehingga kami dari kelompok ini menjaga dan memastikan mangrove yang sudah ditanam bisa tumbuh dengan baik,” katanya.
Baca : Lantebung dan Optimisme Rehabilitasi Mangrove Sulawesi Selatan
Kampung Nelayan Untia, sebagian penduduknya berasal dari Pulau Lae-lae Makassar yang direlokasi 25 tahun silam, dulunya memang ditumbuhi mangrove alami, sebelum warga mulai menebang untuk kepentingan bahan bakar. Namun aktivitas ini mulai berkurang seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran warga dan digunakannya kompor gas untuk memasak.
Kampung seluas 289 ha yang dihuni 417 jiwa mempunyai hutan mangrove sekitar 10 ha yang ditumbuhi Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Avicennia alba, Avicennia dan marina. Tinggi mangrove bervariasi. Di bagian paling depan yang berumur sekitar 10 tahun tingginya sekitar 3 meter. Dan bagian yang masih bolong-bolong kemudian ditanami Djamrud dan warga Untia lainnya dalam 17 tahun terakhir ini.
Sejumlah lembaga pemerintah, TNI, LSM dan swasta juga melakukan penanaman. Inilah yang kemudian menjadikan kampung ini dinobatkan sebagai kampung ProKlim dari KLHK dan mendapatkan pendampingan dari PPI Sulsel.
Di Kelurahan Untia sendiri terdapat dua kelompok penjaga dan pengelola mangrove, yaitu Kelompok Bahari yang dipimpin Hamzah beranggotakan 24 orang dan Kelompok Lestari yang dipimpin Saleh, juga beranggotakan 24 orang. Mereka selalu melakukan koordinasi dan bersama-sama menjaga dan memelihara mangrove.
“Kami bersama lurah, binmas dan babinsa sudah bikin kesepakatan untuk memelihara dan menjaga mangrove yang sudah ditanam. Siapapun yang masuk di kampung ini untuk menanam harus dipastikan mangrovenya terjaga. Kalau misalnya tidak tumbuh, maka sebagai dendanya kami tanam ulang atau disulam.”
Menurut Djamrud, kehadiran mangrove selama ini telah sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, khususnya menjaga dari abrasi, air pasang dan puting beliung, sehingga mereka memilih untuk menjaganya daripada dijadikan lokasi wisata agar tidak rusak.
Tak semua mangrove tumbuh sesuai yang diharapkan. Di sisi lain lokasi tanam mangrove ini, Saleh, Ketua Kelompok Lestari, menunjukkan ratusan bibit mangrove yang gagal tumbuh karena kekeringan. Ia berharap lokasi itu bisa mendapat perhatian dan dicarikan solusi penanaman yang tepat.
Menurut Hamzah, Ketua Kelompok Bahari, tantangan lainnya adalah mulai munculnya penyakit-penyakit tertentu, khususnya ketika tanaman masih kecil, yang dapat menghambat pertumbuhannya. Inilah alasan mereka menanam dengan menancap langsung mangrovenya, tidak lagi menggunakan polybag.
Baca juga : BRGM: Rehabilitasi Mangrove Bukan Pekerjaan Mudah
Kegiatan penanaman ini merupakan rangkaian pelaksanaan workshop rehabilitasi pesisir untuk mengatasi perubahan iklim, yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian (Puslit) Perubahan Iklim, Lembaga Penelitian dan Pengabdian untuk Masyarakat (LPPM) Universitas Hasanuddin bersama Direktorat Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPI KLHK), disokong oleh Hanns Seidel Stiftung.
Puluhan peserta workshop yang terlibat dalam aksi tanam mangrove ini berasal dari kampus, pemerintah, pelaku industri, media, LSM, dan mahasiswa.
“Kegiatan ini adalah semacam praktik kepada peserta workshop bagaimana memahami dan mengetahui menaman mangrove, apa tujuan penanaman dan rehabilitasi sesuai yang sudah disampaikan di dalam workshop. Di workshop kan sudah diberi teori-teori mengenai rehabilitasi pesisir, di lapangan ini dipraktikkan apa yang sudah didapatkan,” ungkap Prof. Nita Rukminasari, Sekretaris Puslit Perubahan Iklim LPPM Unhas.
Lokasi kampung nelayan Untia dipilih selain karena dekat dengan lokasi pelaksanaan workshop juga karena dua kelompok mangrove yang dikunjungi adalah binaan PPI Sulsel, yang punya komitmen untuk menjaga setiap mangrove yang sudah ditanam.
“Jadi ada jaminan mangrove akan tetap tumbuh dengan baik, sehingga usaha penanaman ini bisa bermanfaat secara optimal.”
Radian Bagiyono, Kepala Bagian Program Evaluasi, Hukum dan Kerjasama Teknik (PEHKT), Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI) KLHK berharap semua pihak berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), baik melalui aksi mitigasi maupun adaptasi.
“Kegiatan adalah bentuk mitigasi bagaimana mangrove ini nantinya kalau tumbuh bisa menyerap emisi rumah kaca, juga memberikan manfaat bagi masyarakat bagi secara lingkungan maupun ekonomi,” katanya. (***)
Pulihkan Ekosistem Mangrove yang Kritis, Kembalikan Sumber Ekonomi Pesisir