- Ulat grayak menyerang tanaman jagung milik petani di Sumenep, Jawa Timur, tahun 2024 ini. Sebelumnya, pada 2022, tikus yang menyerang tanaman jagung mereka.
- Berkurangnya kehadiran burung-burung pemakan ulat, seperti bentet kelabu [Lanius schach], juga berdampak pada meningkatnya kehadiran ulat grayak, dikarenakan predator alaminya tidak ada.
- Timbulnya hama pertanian merupakan indikator ketidakseimbangan ekosistem lingkungan. Ini perlu ditelusuri lebih jauh pada rantai makanan, bagian mana yang terputus sehingga terdapat peningkatan populasi ulat maupun tikus.
- Ulat grayak [Spodoptera frugiperda] adalah salah satu spesies ulat yang banyak menyerang tanaman jagung di dunia. Tahun 2020, dilaporkan ulat ini menyerang jagung di 32 provinsi di Indonesia.
Tanaman jagung petani Sumenep tahun 2022 lalu diserang tikus, sementara 2024 ini ulat grayak yang datang.
Hasan, petani asal Desa Sera Timur, Bluto, Sumenep, Jawa Timur, was-was panen jagungnya tahun ini tidak bagus. Saat jagung hendak mengeluarkan tongkolnya, justru daunnya habis dimakan ulat grayak.
“Saat tikus dulu menyerang, jagungnya rusak,” ujarnya, Jumat [9/2/2024].
Salah satu penyebab ulat menyerang, menurut dia, semakin berkurangnya burung-burung pemakan ulat, seperti bentet kelabu [Lanius schach].
“Sekarang sulit ditemui di kebun, karena diburu.”

Hasan beberapa kali melihat para pemburu burung di daerahnya. Mereka menggunakan berbagai cara untuk menangkap. Ada yang memasang jaring, memakai perekat di ranting, atau mengambil langsung anakannya di sarang.
“Bentet menjadi target, karena suaranya yang indah sehingga laku di pasaran. Begitu juga kutilang [Pycnonotus aurigaster] dan merbah cerukcuk [Pycnonotus goiavier] yang diincar.”
Hasan mengungkapkan, pertanda alami keseimbangan ekosistem terganggu dapat dilihat pada pohon kelor.
“Ketika daunnya dimakan ulat, maka ulat itu jatuh ke tanaman jagung di bawahnya.”
Saat dikonfirmasi kembali pada Jumat [26/4/2024], Hasan mengatakan jagungnya bisa dipanen meski secara kualitas menurun.
“Ulat-ulat itu tidak memakan tongkol, hanya daun yang digerogoti,” jelasnya.

Ibnu Hajar, petani asal Desa Sera Tengah, Bluto, Sumenep, mengalami nasib serupa. Dia tidak tahu mengapa kebun jagungnya diserang hama berbeda setiap tahun.
Jenis ulat yang di tongkol jagung dan di daun berbeda.
“Ulat yang makan daun berwarna hijau, sedangkan yang di tongkol putih,” terangnya, Rabu [24/4/2024].

Hayu Dyah Patria, peneliti pangan di Mantasa asal Sidoarjo, mengatakan timbulnya hama pertanian merupakan indikator ketidakseimbangan ekosistem lingkungan. Ini perlu ditelusuri lebih jauh pada rantai makanan, bagian mana yang terputus sehingga terdapat peningkatan populasi ulat maupun tikus.
“Kalau di pertanian organik atau agroekologi/permakultur tidak ada istilah hama. Semua adalah makhluk hidup yang mencari makan. Istilah hama hanya digunakan di pertanian industrialis,” jelasnya, awal Mei 2024.

Serangan ulat grayak
Serangan ulat grayak jagung dari genus Spodoptera terhadap pertanian jagung di Semenep, terjadi di berbagai tempat pada 2024, seperti di Kecamatan Batu Putih.
Spodoptera frugiperda adalah salah satu spesies ulat yang banyak menyerang tanaman jagung di dunia. Tahun 2020, dilaporkan ulat ini menyerang jagung di 32 provinsi di Indonesia.
Berdasarkan penelitian Ahmad Aripin Naek Lubis dkk, sebab utama serangan ulat grayak jagung [Spodoptera frugiperda] adalah faktor ketinggian lahan. Ulat ini ditemukan di ketinggian 700-850 mdpl.
“Kerusakan tanaman jagung yang disebabkan S. frugiperda sekitar 60%. Fase pertumbuhan tanaman yang diserang mulai umur muda [vegetatif] hingga fase pembungaan [generatif]. Larvanya ditemukan pada pucuk tanaman. Pucuk tanaman yang terserang saat daun belum membuka penuh [kuncup] sehingga berlubang dan terdapat banyak kotoran fases larva,” jelasnya di Jurnal Agro Kreatif 2023.

Pengendalian ekosistem semacam ini bisa dilakukan dengan membentuk kembali rantai alam menjadi seimbang. Cendawan entomopatogen—organisme heterotof yang jadi parasit pada serangga—punya potensi digunakan sebagai salah satu pengendali hama tanaman jagung. Musuh alami entomopatogen, Spodoptera frugiperda adalah Metarizhium Rileyi, yang dapat dimanfaatkan sebagai agen pengendali hama secara hayati.
Penelitian Lubis dkk menyebutkan bahwa ada indikasi M. rileyi mudah diproduksi secara massal dalam tingkat medium.
“Penelitian lanjutan masih diperlukan untuk mengetahui potensi M. rileyi, terutama pengaruh faktor lingkungan, teknik formulasi, pengaruh suhu dan lama penyimpanan, serta kompatibilitasnya dengan teknik pengendalian hama yang lain,” jelas riset tersebut.