- Sebagian wilayah Asia termasuk Asia Barat, Asia Selatan, dan Asia Tenggara mengalami suhu di atas 40 derajat Celsius dalam beberapa hari pada April lalu.
- Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan, cuaca ekstrem itu melanjutkan tren yang terjadi pada tahun sebelumnya. Beberapa faktor mempengaruhi terjadinya suhu panas seperti yang terjadi di Asia Tenggara belakangan ini.
- Peneliti World Weather Attribution (WWA) jika suhu global naik hingga dua derajat Celsius maka panas ekstrem seperti di bulan April lalu akan berulang setiap dua hingga tiga tahun. Panas ekstrem berpengaruh terhadap kesehatan manusia dan makin banyak terjadinya bencana alam
- Perjanjian Paris menyepakati memperlambat laju pemanasan global minimal 1,5 derajat Celsius dan di bawah 2 derajat Celsius tingkat praindustri.
Sebagian wilayah Asia termasuk Asia Barat, Asia Selatan, dan Asia Tenggara mengalami suhu di atas 40 derajat Celsius dalam beberapa hari pada April lalu. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan, cuaca ekstrem itu melanjutkan tren yang terjadi pada tahun sebelumnya. Itu berarti akan lebih banyak potensi bencana, dan korban jiwa terkait cuaca ekstrem ini.
Beberapa faktor mempengaruhi terjadinya suhu panas seperti yang terjadi di Asia Tenggara belakangan ini. Namun menurut pakar WMO, energi panas yang terperangkap di atmosfer dan lautan akibat gas rumah kaca berpengaruh besar terhadap munculnya panas ekstrem ini.
Sementara penelitian yang dilakukan World Weather Attribution (WWA) menyimpulkan, pemanasan global telah meningkatkan suhu satu derajat Celsius lebih panas di Filipina, dan 1,7 derajat Celsius lebih panas di Israel, Palestina, Suriah, Lebanon, dan Yordania.
Para peneliti memperingatkan, jika suhu global naik hingga dua derajat Celsius maka panas ekstrem seperti di bulan April lalu akan berulang setiap dua hingga tiga tahun sekali di Filipina. Meski siklus iklim El Nino turut meningkatkan suhu global, namun menurut mereka hanya berdampak kecil terhadap peningkatan kemungkinan terjadinya gelombang panas.
Mengutip laporan Reuters, sejumlah negara Asia Tenggara mengalami gelombang panas sepanjang April lalu. Filipina harus meliburkan sekolah beberapa hari, menyusul peringatan yang dikeluarkan pihak berwenang terkait risiko kesehatan akibat gelombang panas yang melanda negara itu. Terdapat laporan mengenai tekanan darah tinggi, pusing, dan pingsan pada siswa dan guru. Laporan lain menyebut, sebanyak 4.000 sekolah di Filipina terpaksa diliburkan karena gelombang panas.
Baca : Gelombang Panas dan Dampak Nyata Perubahan Iklim
Beberapa stasiun pengamatan cuaca di Thailand mencatat rekor suhu, menurut WMO. Misalnya di Mueang Phetchabun padda 27 April lalu suhu tertinggi mencapai 44,1 derajat Celsius. Di Lampang bahkan suhu melonjak hingga 44,2 derajat Celsius pada 22 April lalu. Kementerian Kesehatan negara itu menyebut sebanyak 30 orang meninggal akibat gelombang panas dalam satu bulan terakhir.
Di Vietnam bagian utara dan tengah suhu maksimum sempat menyentuh antara 40,2 hingga 44 derajat Celsius. Warga yang kegerahan banyak yang mengunjungi pusat perbelanjaan ber-AC. Konsumsi listrik di negara itu juga melonjak karena warga menyalakan AC lebih lama di rumah-rumah mereka.
Otoritas Malaysia juga mengeluarkan peringatan cuaca panas untuk 16 wilayah yang mencatat suhu 35 hingga 40 derajat Celsius. Puluhan kasus kesehatan yang terkait suhu dilaporan oleh kementerian kesehatan. Suhu ekstrem juga telah menimbulkan korban jiwa. Dua orang dinyatakan meninggal akibat serangan panas di Malaysia, mengutip Reuters.
Sementara di Chauk, Myanmar rekor suhu mencapai 48,2 derajat Celsius. Laporan Radio Free Asia menyebut korban meninggal akibat suhu ekstrem di Myanmar bisa lebih dari 100 orang. Mereka kebanyakan adalah warga lanjut usia, namun di antara korban juga terdapat bayi dan orang sakit.
Ketika suhu melampaui 38 derajat Celsius, ini berarti melebihi suhu inti tubuh manusia yang berkisar pada 37 derajat Celsius. Akibatnya manusia akan cepat merasa lelah, dan berisiko terhadap kesehatan. Kelembapan di Asia memperburuk serangan panas pada tubuh manusia. Sebab keringat tidak dapat menguap secara efektif sebagai mekanisme pendinginan alami.
Baca juga : Pecah Rekor, 2023 Jadi Tahun Terpanas
Sementara di Indonesia meski suhu panas dilaporkan terjadi di sejumlah wilayah namun belum bisa didefinisikan sebagai gelombang panas, menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, suhu panas yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu akibat pemanasan permukaan sebagai dampak berkurangnya pembentukan awan dan berkurangnya curah hujan. Menurutnya, suasana gerah yang dirasakan merupakan gejala umum pada periode peralihan musim hujan ke kemarau.
Makin Banyak Bencana
Bulan April lalu menjadi bulan terpanas secara global menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Mengutip data yang diberikan Copernicus Climate Change Service, rata-rata suhu udara permukaan global pada bulan April mencapai 15,03 derajat Celsius.
Angka itu diperoleh dari pengukuran suhu lautan dan daratan dari satelit dan stasiun cuaca di seluruh dunia lalu dibuat rata-ratanya. Dari gurun Lut di Iran yang panasnya bisa mencapai lebih dari 70 derajat Celsius, hingga Antartika di kutub selatan yang dinginnya bisa mencapai minus lebih dari 80 derajat Celsius.
Suhu 15,03 derajat Celsius terkesan masih rendah. Namun suhu rata-rata global ini sudah menciptakan banyak bencana. Es di kutub meleleh, permukaan laut naik, krisis iklim global, cuaca ekstrem, penurunan keanekaragaman hayati, dan ekosistem yang berubah.
Secara global suhu 12 bulan terakhir (Mei 2023 hingga Mei 2024) lebih hangat dibanding tahun sebelumnya, dan naik sebesar 1,61 derajat Celsius di atas rata-rata suhu pra industri 1850 hingga 1900. Perjanjian Paris menyepakati memperlambat laju pemanasan global minimal 1,5 derajat Celsius dan di bawah 2 derajat Celsius tingkat praindustri.
Sebelum masa industri, rata-rata suhu global sekitar 13,7 derajat Celsius. Pada 1940 mencapai angka tertinggi, lalu melanjutkan tren kenaikan pada 1980 hingga sekarang. Gambaran suhu rata-rata permukaan bisa dilihat dari grafik yang disajikan Climatic Research Unit dari Universitass East Anglia, Inggris. (***)
Krisis Iklim Global: Tahun 2023 Mencatat Rekor Suhu Laut Terpanas