- Sejak 2015 saat Menteri Kelautan dan Perikanan dijabat Susi Pudjiastuti, tata kelola benih bening lobster (BBL) ditetapkan berbeda dibandingkan sebelumnya. Sejak tahun tersebut hingga 2019, BBL resmi dilarang untuk dimanfaatkan dalam kegiatan ekspor
- Sempat dibuka keran ekspor pada 2020 di masa Edhy Prabowo menjadi Menteri KP, namun kemudian kebijakan itu ditutup kembali. Sampai akhirnya pada Maret 2024 Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono resmi membuka kembali keran ekspor
- Tetapi, berbeda dari kebijakan serupa sebelumnya, ekspor dibuka kembali hanya terbatas untuk Vietnam, negara pembudidaya lobster yang sukses pada skala dunia. Kebijakan itu diterapkan, karena saat ditutup ekspor, penyelundupan BBL terus terjadi dengan tujuan negara tersebut
- Saat kebijakan ekspor sudah berjalan kembali, Pemerintah menaruh harapan besar kalau ekspor BBL bisa menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) minimal Rp900 miliar. Asumsi itu didasarkan pada perhitungan BBL yang diekspor sekitar 300 juta ekor
Pemerintah Indonesia sedang berupaya keras untuk menghentikan aktivitas penyelundupan benih bening lobster (BBL) yang terus terjadi setiap waktu. Kegiatan melanggar hukum itu, terjadi di sejumlah titik lokasi dan berubah-ubah seperti menghindari kejaran dari pihak kepolisian.
Upaya terbaru yang sudah dilakukan, adalah dengan membuka kembali keran ekspor BBL melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.7/2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) tanggal 21 Maret 2024.
Sampai hari ini, tercatat sudah tiga kali Pemerintah melaksanakan ekspor dengan tujuan Vietnam. Negara tersebut menjadi satu-satunya negara tempat tujuan ekspor BBL dari Indonesia. Kerja sama tersebut dilakukan antar Pemerintah (G to G).
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, pihaknya memang memilih opsi pembukaan kembali jalur ekspor untuk BBL, karena saat pelarangan dilaksanakan masih ada kegiatan penyelundupan yang tidak terdeteksi.
Padahal, setiap paket BBL yang diselundupkan itu nilai ekonominya sangat besar. Hal itu mengakibatkan negara mengalami kerugian yang tidak sedikit, karena diyakini ada banyak penyelundupan yang tidak terdeteksi. Meskipun, penggagalan juga tetap berhasil dilakukan, walau jumlahnya tidak sebanding dengan yang berhasil diselundupkan.
“Karena itu kita buka lagi (keran) ekspor. Biar BBL bisa berkontribusi pada ekonomi nasional,” ungkapnya pekan lalu di Jakarta.
Kebijakan pembukaan ekspor ke Vietnam itu, juga diharapkan bisa memberi peluang terbaik dalam praktik bisnis lobster. Oleh karenanya, pelaku usaha budi daya dari Vietnam menanamkan investasinya di Indonesia.
Baca : Ekspor Benih Bening Lobster: Positif apa Negatif?
Syarat Ekspor BBL
Ekspor BBL ke Vietnam boleh dilakukan dengan mewajibkan syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, yaitu sertifikat kesehatan, surat keterangan asal BBL dari badan layanan umum yang membidangi perikanan budi daya, serta telah membayar pungutan sumber daya alam dan/atau PNBP.
Khusus tentang surat keterangan asal BBL, dia menyebut kalau itu berkaitan erat dengan prinsip ketertelusuran yang sudah dijalankan oleh KKP saat ini. Prinsip tersebut tak hanya bisa menjelaskan asal muasal biota laut, namun juga bisa menjaga ekosistem laut yang menjadi sumber habitat.
“Konservasi memang menjadi tujuan penting yang harus dijalankan. Kami sudah melaksanakannya saat ini. Tidak hanya fokus menggali potensi ekonomi, tapi juga bagaimana menjaga sumber daya di alam bisa tetap lestari,” terangnya.
Sebelum tahun ini dibuka, kebijakan ekspor BBL sempat dilakukan buka tutup. Selama kepimpinan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, BBL dilarang untuk ekspor selama periode 2015-2019. Lalu dibuka kembali pada 2021, dan ditutup kembali hingga 2024 dibuka lagi.
Setelah dibuka kembali, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokus mengawal tata kelola lobster supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Salah satu upayanya, adalah dengan membentuk Project Management Office (PMO) 724 yang tugas utamanya adalah mengelola sumber daya lobster.
“Kita bekerja keras untuk memastikan pelaksanaan Permen KP 7/2024 berjalan optimal, termasuk pengawasan penyelundupan lebih optimal lagi,” ungkapnya.
PMO 724 berisikan perwakilan unit kerja KKP yang akan berperan dalam percepatan transformasi tata kelola lobster. Baik yang berkaitan dengan penangkapan, pengembangan budi daya, penguatan mutu, tata niaga sampai dengan pengawasan pengelolaan BBL dari praktik penyelundupan.
Tujuan KKP dengan PMO 724 KKP adalah membangun dan memperkuat sinergitas terhadap pemangku kepentingan di bidang pengelolaan lobster. Di antaranya dengan aparat penegak untuk penguatan dan pengawasan dalam memberantas praktik penyelundupan BBL.
Kemudian, PMO 724 berperan untuk membangun ekosistem budi daya lobster yang kuat dengan menghadirkan investasi dan teknologi budi daya dari negara yang telah berhasil membudidayakan lobster. Lalu membangun kampung-kampung budidaya lobster sebagai upaya meningkatkan kualitas dan kemampuan pembudidaya di dalam negeri.
Tak lupa, PMO 724 juga akan menerapkan praktik kerja transparan agar setiap kegiatan bisa diakses publik seperti informasi dan data penting terkait pengelolaan lobster. Juga, PNBP dari BBL, hingga pengumpulan BBL yang berasal dari kegiatan penyelundupan.
Sejak awal 2024 hingga sekarang, penyelundupan BBL diyakini masih terus terjadi. Namun, Pemerintah berhasil menggagalkan delapan aksi tersebut dengan jumlah BBL yang diselamatkan mencapai 982.025 ekor. Enam kasus di antaranya digagalkan setelah ekspor dibuka kembali.
Baca juga : Penyelundupan Benih Lobster Tetap Marak
PNBP BBL
Peresmian PMO 724 sendiri dilaksanakan pada Rabu (15/5/2024). Selepas kegiatan tersebut, Plt. Dirjen Perikanan Tangkap KKP Tb. Haeru Rahayu menjelaskan bahwa pihaknya masih terus mendorong kegiatan verifikasi lima perusahaan yang sudah mendapatkan izin ekspor BBL.
Saat ini, sudah tiga perusahaan yang selesai dilakukan verifikasi oleh Pemerintah. Sisanya, masih terus berjalan. Meski demikian, pengiriman BBL untuk ekspor tetap dilakukan, namun dibarengi dengan tahapan pelengkapan dokumen syarat yang sudah ditetapkan.
Kondisi itu membuat pengiriman ekspor BBL saat ini masih dilakukan secara bertahap jumlahnya. Jika semua perusahaan sudah selesai verifikasi dan kelengkapan syarat terpenuhi, pengiriman bisa dilakukan dalam jumlah lebih banyak lagi.
Adapun, tarif PNBP untuk ekspor BBL senilai Rp3.000/ekor. Total kuota BBL yang boleh untuk dimanfaatkan untuk ekspor, jumlahnya mencapai 419.213.719 ekor atau 90 persen dari estimasi stok benih.
Jika semua berjalan lancar, maka pemerintah bisa mendulang PNBP dari BBL sedikitnya mencapai Rp300 miliar. Capaian itu bisa diraih minimal BBL yang dikirim untuk ekspor jumlahnya mencapai 300 juta ekor. Tapi dengan catatan, harga BBL di tingkat nelayan dipatok senilai Rp8.500 per ekor.
Perusahaan Eksportir BBL
Haeru menjabarkan bahwa lima perusahaan eksportir BBL Vietnam yang sudah mendapatkan izin, bekerja sama dengan perusahaan dalam negeri dan sudah berbadan hukum.
Kelima perusahaan itu adalah PT Mutagreen Aquaculture International, PT Gajaya Aquaculture International, PT Ratuworld Aquaculture International, PT Idovin Aquaculture International, dan PT Idichi Aquaculture International.
Mereka sudah mulai berinvestasi dengan membuat budi daya lobster di Jembrana, Bali. Jika sudah melaksanakan investasi sampai menebar benih pada lokasi keramba jaring apung (KJA), maka kelima perusahaan tersebut bisa mendapatkan pasokan BBL.
Berkaitan dengan upaya penyelundupan BBL yang berhasil digagalkan Pemerintah, saat ini sedang dikaji pemanfaatan BBL hasil sitaan untuk dibesarkan dan dipasarkan ke pembudidaya di tanah air. Wacana itu dikaji, karena BBL hasil sitaan negara tidak jarang dilepasliarkan langsung ke alam.
“Sementara, kelulushidupan atau survival rates BBL sangat rendah, ini kurang dari satu persen. Jadi saat masuk ke air laut, langsung dimangsa oleh biota lain,” jelasnya.
Baca juga : Kenapa Singapura Menerima Benih Lobster Selundupan?
Pengelolaan BBL hasil sitaan, sedang dikaji untuk diberikan kepada Badan Layanan Umum Perikanan Budi daya (BLU PB) yang ada di Jepara (Jawa Tengah), Situbondo (Jawa Timur), dan Karawang (Jawa Barat). BLU PB bertugas untuk menyerap, menjual, hingga mengendalikan pemasaran BBL ke luar negeri.
Diharapkan, BBL bisa ditangkar dan dibesarkan hingga ukurannya sekitar 5 gram, setelah itu baru bisa dijual ke pembudidaya lobster. Mereka yang mendapatkan dari BLU PB, dinilai bisa melaksanakan budi daya lobster dengan tingkat keberhasilan sangat tinggi.
Transformasi Tata Kelola Lobster
Sekretaris Jenderal KKP sekaligus Ketua Pelaksana Harian PMO 724 Rudy Heriyanto Adi Nugroho berkomitmen bahwa transformasi tata kelola lobster akan terus dikawal dengan baik. Termasuk, mencegah dan menghentikan upaya penyelundupan.
Dia menyebut kalau PMO 724 menjadi langkah awal untuk pembentukan satuan tugas (satgas) tata kelola lobster yang melibatkan langsung kementerian/lembaga (K/L) lain. Satgas akan bertugas melakukan penegakan hukum terkait penyelundupan BBL.
Saat ini, pihaknya sedang menunggu regulasi peraturan presiden RI bisa disahkan dan berjalan. Dengan demikian, tata kelola lobster bisa terus diperkuat dan penegakan secara hukum juga bisa semakin kuat dan dijalankan dengan tegas di lapangan.
Selain PMO 724, upaya untuk mengawal tata kelola lobster yang baru juga dilakukan Pemerintah melalui aplikasi bernama Sistem Informasi Pengelolaan Lobster Kepiting dan Rajungan (SILOKER). Sistem tersebut sudah terintegrasi dengan sistem yang ada di pemerintah pusat, daerah, atau kelompok nelayan penangkap BBL.
Aplikasi SILOKER disiapkan KKP dengan tujuan untuk memudahkan nelayan saat akan mengajukan usulan kelompok nelayan dan usulan kuota penangkapan BBL yang penetapannya dilakukan oleh dinas kelautan dan perikanan (DKP) provinsi kepada kelompok nelayan/kelompok usaha bersama (KUB).
Kemudian, aplikasi SILOKER akan memudahkan nelayan untuk memperoleh surat keterangan asal (SKA) mulai dari pengajuan hingga penerbitannya. SKA digunakan untuk memastikan ketertelusuran (traceability) produk hasil tangkapan nelayan.
Manfaat lain yang akan dirasakan para pengguna aplikasi, adalah ada menu untuk pendataan hasil tangkapan BBL. Itu berarti, selain bisa mengecek ketertelusuran, pengguna SILOKER juga bisa memantau dan mengetahui berapa besar potensi BBL yang dimanfaatkan nelayan.
Baca juga : Penyelundupan Benih Lobster Berakar dari Regulasi yang Tidak Tepat
Dampak Negatif
Namun, kebijakan pembukaan keran ekspor BBL sempat ditentang banyak pihak. Salah satunya, adalah Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang menilai kebijakan tersebut bisa memicu banyak kerugian di masa mendatang.
Di antaranya, karena eksploitasi komoditas lobster dan BBL akan semakin meningkat dan akan memperparah krisis ekologi dan sumber daya perikanan yang saat ini dihadapi Indonesia. Hal tersebut bisa mengundang industri untuk masuk ke dalam bisnis ini, dan yang akan mendapat keuntungan besar hanya entitas bisnis saja.
“Sementara, nelayan kecil/tradisional tetap bernasib sama dan bahkan bisa saja lebih buruk,” ungkap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati.
Kerugian berikutnya, ekspor BBL secara legal akan meningkatkan eksploitasi sumber daya ikan (SDI) dan praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF). Penilaian tersebut muncul, karena praktik budi daya lobster akan memerlukan ikan rucah sebagai pakan.
Ketiga, ekspor BBL secara legal juga akan menguntungkan Vietnam yang selama ini menjadi negara produsen lobster yang besar di dunia. Negara tersebut memiliki kemampuan teknologi budi daya lobster yang sangat baik dan diakui oleh dunia.
Itu artinya, dengan membuka keran ekspor BBL, maka Indonesia hanya akan membantu Vietnam untuk meningkatkan pendapatan dari penjualan lobster dewasa. Juga, akan membantu negara tersebut untuk semakin aktif melakukan praktik IUUF di perairan Indonesia.
Keempat, ekspor BBL juga akan meningkatkan ekstensifikasi budi daya lobster yang akan mengalihfungsikan wilayah mangrove menjadi lahan-lahan budi daya lobster di pesisir dan perairannya. Terakhir, ekspor BBL akan memicu terjadinya kompetisi di perairan dangkal, tempat habitat lobster, antara nelayan kecil dan tradisional dengan industri perikanan.
“Itu karena terjadi privatisasi ruang beserta komoditas yang ada di dalamnya berhadapan dengan kenyataan bahwa perairan dangkal beserta lobster yang terdapat di dalamnya adalah common pool resources yang biasa diakses oleh nelayan kecil atau tradisional,” pungkasnya. (***)