- Perkebunan sawit bercokol juga di beberapa provinsi di Pulau Jawa, seperti Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur dengan luas sekitar 36.000-an hektar. Bahkan, ada indikasi perlahan, terjadi konversi lahan-lahan pertanian maupun perkebunan tanaman pangan ke sawit hingga bisa mengancam produksi pangan kalau terus lanjut.
- Pulau Jawa juga tengah mengalami tantangan untuk menyeimbangkan pola konsumsi dengan jumlah penduduk yang terus naik. Lahan pertanian di Jawa makin menyempit. Kalau lahan terjadi konversi ke sawit, produktivitas pertanian akan menurun. Saat ini saja, pemenuhan kebutuhan beras di Jawa harus dari produksi pertanian pulau lain, seperti dari Sulawesi.
- Pengembangan kebun sawit di Jawa umumnya oleh swasta dan negara. Di Banten, misal, dari 1981-1992 penanaman sawit di area 12.000 hektar melalui proyek Nucleus Estate Smallholder (NES-V) yang sekarang dikenal dengan nama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
- Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, pengawasan dan perhatian bisa ditingkatkan untuk menjaga Jawa dari serangan sawit. Salah satu rekomendasi Sawit Wach adalah perlu kaji ulang sawit di pulau lumbung pangan nasional ini.
Perkebunan sawit bercokol juga di beberapa provinsi di Pulau Jawa, seperti Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur dengan luas sekitar 36.000-an hektar. Bahkan, ada indikasi perlahan, terjadi konversi lahan-lahan pertanian maupun perkebunan tanaman pangan ke sawit hingga bisa mengancam produksi pangan kalau terus lanjut.
Hal ini tergambar dari diskusi saat peluncuran buku Sawit Watch berjudul Gula-gula Sawit di Pulau Jawa, di Jakarta, baru-baru ini.
Dari buku itu, menyebutkan, ada lahan pertanian di Desa Bojongjuruh, Banten, justru jadi kebun sawit. Tandan buah segar (TBS) dari kebun itu dijual langsung ke agen pabrik sawit (PKS) Kertajaya yang datang langsung ke desa dan jual sekitar Rp1.000 per kg.
Data BPS Lebak, pun memperlihatkan, di Desa Banjarsari, terjdi peningkatan kebun sawit, pada 2019, seluas 44,25 hektar lalu melonjak jadi 287,93 hektar pada 2020.
“Kalau lahan pertanian terus dikonversi [jadi sawit], ini jadi alarm bahaya,” kata I Gusti Ketut Astawa, Deputi I bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional, yang hadir dalam peluncuran buku itu.
Pulau Jawa sebagai sentra pangan nasional. Sekitar 60%, katanya, produksi pangan nasional ada di Pulau Jawa.
Belum lagi, sebagian bahan pokok Indonesia sudah bergantung impor. Dia bilang, dari 12 pangan pokok, ada empat jenis yang pemenuhan lewat impor, yakni, kedelai hampir 90%, bawang putih 60%-70%, daging sapi dan kerbau 40%, dan gula akan impor 400.000 ton sampai akhir 2024.
“Kalau minyak goreng kita surplus. Yang mana sumbernya itu dari sawit,” kata Astawa.
Dari sini, katanya, terlihat, mana yang harus jadi prioritas dalam penguatan produksi.
Secara spesifik, katanya, Pulau Jawa juga tengah mengalami tantangan untuk menyeimbangkan pola konsumsi dengan jumlah penduduk yang terus naik. Untuk itu, pengembangan pertanian dan perkebunan harus bisa menjawab tantangan ini.
Belum lagi, lahan pertanian di Jawa makin menyempit. “Lahan padi kita turun. Mungkin saat ini tinggal 9 jutaan (hektar),” kata Astawa.
Kalau lahan terus terjadi konversi, katanya, produktivitas pertanian akan menurun. Saat ini saja, pemenuhan kebutuhan beras di Jawa harus dari produksi pertanian pulau lain, seperti dari Sulawesi.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, alih fungsi lahan jadi sawit di pulau Jawa salah kaprah.
“Pengendalian jadi hal penting. Harus benar-benar dipastikan masyarakat menanam tanaman pangan, bukan sawit,” katanya.
Arief Rahman dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB University mengatakan, Rancangan Undang-undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional memproyeksikan, Jawa sebagai megalopolis yang unggul pada 2045. Setiap provinsi pun memiliki tema pengembangan masing-masing.
“Tema-tema ini jauh dari sektor sawit,” kata Arief.
Kalau ada pengembangan sektor pertanian di Jawa, katanya, maka yang dikembangkan adalah sektor pangan.
“Bisa jadi kalau di Jawa akan domiman holtikultura, palawija, dan sejenisnya.”
Selain itu, dari 9 provinsi dan 35 kabupaten, kota yang prioritas sebagai pengembangan sawit oleh Kementerian Pertanian, tidak ada satupun di Pulau Jawa. Berdasarkan perhitungan potensi area mereka dan tim P4W pada 2018, Jawa tidak masuk hitungan.
Menurut dia, ada isu strategis di Pulau Jawa yang harus dicari jalan keluarnya, seperti tekanan penduduk, mempertahankan eksistensi sawah, dan konversi lahan pangan. “Kalau dijawab dengan sawit, isu strategis ini makin parah, bukan makin benar,” katanya.
Swasta dan negara
Pengembangan kebun sawit di Jawa umumnya oleh swasta dan negara. Di Banten, misal, dari 1981-1992 penanaman sawit di area 12.000 hektar melalui proyek Nucleus Estate Smallholder (NES-V) yang sekarang dikenal dengan nama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
“Kawasan ini meliputi wilayah Lebak sampai Pandeglang. Terus nyambung sampai Sukabumi,” kata Rambo.
Di Jawa Barat, pengembangan sawit mulai di Garut oleh PT Condong Garut, penanaman mulai 1975 diikuti pembangunan pabrik sawit.
Dalam buku Sawit Watch, Condong Garut disebut sebagai perkebunan sawit swasta terbesar di Jawa. Luas kebun yang mencapai 3.505,41 hektar dilengkapi pabrik berkapasitas 20 ton TBS per jam.
Upaya negara dan swasta menggarap kebun sawit di Jawa rupanya berakibat pada matinya perkebunan karet. Awalnya, lahan PTPN VIII dan Condong Garut merupakan kebun karet yang berubah jadi sawit.
Di Banten, PTPN diikuti pula oleh masyarakat. Dalam catatan Sawit Watch, kebun sawit mandiri masyarakat merupakan hasil konversi perkebunan karet mulai secara terang-terangan sejak 1990.
Kesuksesan petani Perkebunan Inti Rakyat (PIR) ditengarai menjadi alasan utama konversi lahan oleh petani karet. “Sayangnya, tidak hanya karet, kebun tanaman seperti padi dan buah-buahan juga dikonversi jadi sawit,” kata Rambo.
Di Jawa Barat, katanya, ada kontestasi sawit dengan petani nenas. Selama ini, nenas selalu ditanam bersama karet.
Sejak ada sawit, kualitas nenas turun karena naungan sawit tidak seperti pohon karet.
“Karena sawit lebat, hingga sinar matahari tidak sampai ke bawah. Nenas jadinya tidak tumbuh dengan baik,” kata Rambo.
Situasi berbeda dijumpai di Jawa Timur. Di provinsi yang paling dekat dengan Pulau Bali ini, pengembangan sawit secara mandiri oleh warga transmigran yang kerja sawit di Sumatera atau Kalimantan. Mereka coba-coba menanam sawit.
“Jadi sifatnya ditanam berapa pokok-berapa pokok. Mereka tidak tahu pabrik di mana,” kata Rambo. “Ada yang ambil sawit mereka, tapi pembayaran tersendat. Ada yang bilang dua bulan atau tiga bulan baru dibayar.”
Rambo menyebut belum ada kajian holistik yang bisa menyebut luasan perkebunan sawit di Jawa Timur. Akan tetapi, ada tren penurunan luasan kebun lantaran pembayaran mandek.
Kondisi ini juga terjadi secara umum di seluruh Jawa. “Memang perlu kajian lebih jauh,” katanya.
Buku ini, kata Rambo, mencoba menjawab kegelisahan publik akan sawit di Jawa yang sudah cukup luas. Harapannya, pengawasan dan perhatian bisa ditingkatkan untuk menjaga Jawa dari serangan sawit.
Salah satu rekomendasi Sawit Wach adalah perlu kaji ulang sawit di pulau lumbung pangan nasional ini. “Sekali lagi, sawit tidak ada dalam perencanaan strategis Pulau Jawa,” katanya.
*****