- Pengadilan memenangkan perusahaan sawit, PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM), melawan Pemerintah Palalawan yang mencabut izin usaha perusahaan di Pulau Mendol, Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau.
- Kemenangan PT TUM melawan Bupati Pelalawan memantik reaksi para perempuan di Pulau Mendol atau Penyalai. Ini pulau kecil dengan daratan bergambut yang hendak dikuasai perusahaan untuk perkebunan sawit seluas 6.055,77 hektar.
- Meski PT TUM menang melawan Bupati Pelalawan, sebenarnya perusahaan ini tidak lagi memiliki izin. Budi Surlani, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Pelalawan bilang, pemerintah akan ikuti putusan pengadilan dengan memperbaki prosedur pencabutan IUPB TUM. Intinya, prosedur pencabutan salah akan perbaiki dan ikuti tetapi pemerintah Palalawan tidak akan menerbitkan IUP perusahaan lagi.
- Saat ini, bekas izin PT TUM sudah jadi lokasi prioritas tanah obyek reforma agraria (TORA). Hanya saja belum bisa proses penyerahan pada masyarakat karena masih berlangsung gugatan di pengadilan tata usaha negara.
Pengadilan memenangkan perusahaan sawit, PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM), melawan Pemerintah Palalawan yang mencabut izin usaha perusahaan di Pulau Mendol, Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Kemenangan akhir itu diperoleh, setelah tiga Hakim Agung, Yulius, Yosran dan Is Sudaryono, menolak permohonan kasasi Bupati Pelalawan, awal Maret lalu.
Informasi itu dapat dilihat di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru. Namun salinan resmi putusan belum sampai ke meja Pemerintah Pelalawan.
Pada dua peradilan sebelumnya, Pengadilan Tinggi TUN Medan menguatkan putusan PTUN Pekanbaru yang mengabulkan gugatan TUM. Majelis hakim membatalkan dan memerintahkan Bupati Pelalawan mencabut dua keputusan: pencabutan izin usaha perkebunan budidaya (IUPB) dan perintah penghentian seluruh kegiatan di atas bekas izin atasnama TUM.
Dua keputusan itu terbit oleh dua bupati pada masing-masing periode kepemimpinan berbeda. Pencabutan IUPB oleh Bupati Muhammad Harris di ujung masa jabatan. Alasannya, TUM tak kunjung mengusahakan areal yang telah diberi izin.
Ada pun surat perintah penghentian aktivitas pembukaan areal perkebunan sawit dikeluarkan oleh Bupati Zukri, atas dasar pencabutan IUPB TUM oleh bupati sebelumnya.
Ceritanya, setelah ada peringatan dari Bupati Harris bahkan Kantor Wilayah BPN Riau atas penelantaran konsesi, TUM baru memulai operasi.
Respon pemerintah juga disambut reaksi penolakan oleh masyarakat Pulau Mendol. Akhirnya, TUM menarik mundur alat berat yang terlanjur membuka hutan dan mengeringkan gambut dengan pembuatan kanal.
Selain menggugat Bupati Pelalawan atas pelanggaran prosedur dan administrasi pemerintahan, TUM juga gugat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (KemenATR/BPN) atas pencabutan HGU awal 2023.
Gugatan kali ini ditolak PTUN Jakarta dan diperkuat oleh hakim banding dengan putusan Nomor: 372/B/2023/PT.TUNJKT. TUM tengah upaya kasasi.
Meski TUM menang melawan Bupati Pelalawan, sebenarnya perusahaan ini tidak lagi memiliki izin. Budi Surlani, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Pelalawan bilang, tidak ambil pusing dengan keputusan akhir di Mahkamah Agung.

Setelah mendapat salinan putusan, mereka akan rapat dengan bupati dan mengajak organisasi perangkat daerah (OPD) untuk menentukan langkah selanjutnya. Budi bilang, pemerintah akan ikuti putusan pengadilan dengan memperbaki prosedur pencabutan IUPB TUM.
“Intinya, prosedur pencabutan salah. Kalau salah, ya kita perbaiki dan ikuti. Tapi Pemda tidak akan mungkin menerbitkan IUP perusahaan itu lagi,” kata Budi, saat ditemui, 28 Mei lalu.
Mongabay mengirim pesan ke aplikasi percakapan Aznur Affandi, pemilik TUM, buat minta waktu wawancara. Status pengiriman hanya tersampaikan dengan tanda centang dua tanpa dibaca, sampai 30 Mei 2024.
Sehari kemudian, Mongabay juga menghubungi Eko Rosnanda, orang yang dikenal dekat dengan Aznur. Dia janji mengabari lebih lanjut setelah meminta izin pada manajemen perusahaan untuk beri keterangan. Hingga Juni, belum bisa diwawancara.
Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau menyarankan, Pemerintah Pelalawan menerbit ulang surat peringatan ketiga lalu mencabut kembali IUPB TUM. Pemerintah Pelalawan harus komitmen dengan sikap awal, melindungi pulau kecil, masyarakat sekaligus sumber penghidupan mereka.
“Jadi, tak ada dasar IUP dan HGU dapat beraktivitas seperti normal. Kita berharap komitmen Pemerintah Pelalawan tetap memastikan perlindungan pada masyarakat,” kata Boy pada Mongabay.
TUM sama sekali tidak bisa beraktivitas karena gugatan perusahaan terhadap KATR/BPN atas pencabutan HGU masih dalam persidangan. Andai perusahaan mengurus izin dari awal lagi, katanya, penerbitan persetujuan lingkungan tetap berada di pemerintah daerah. Lokasi TUM pun dipastikan tumpang tindih dengan gambut fungsi lindung.
Saat ini, bekas izin TUM sudah jadi lokasi prioritas tanah obyek reforma agraria (TORA). Hanya saja belum bisa proses penyerahan pada masyarakat karena masih berlangsung gugatan di pengadilan tata usaha negara.
Seharusnya, kata Boy, proses gugatan itu tidak boleh mengalahkan masyarakat dan lingkungan.

Perempuan menolak
Kemenangan TUM melawan Bupati Pelalawan memantik reaksi para perempuan di Pulau Mendol atau Penyalai. Ini pulau kecil dengan daratan bergambut yang hendak dikuasai perusahaan untuk perkebunan sawit seluas 6.055,77 hektar.
Para perempuan Pulau Mendol menolak atas satu alasan, ingin hidup tenang dengan sumber penghidupan mereka.
Jusilawati, perempuan 28 tahun, pendidik taman kanak-kanak di Desa Teluk Bakau, tidak rela 11 jalur atau sekitar empat hektar kebun kelapa dibabat TUM dan berganti sawit. Kebun itu, katanya, warisan orang tua yang dikelola suami untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka dan anaknya.
Suami Jusilawati memanen kelapa tiap tiga bulan sekali. Terkadang dua bulan sekali tergantung kebutuhan. Di luar waktu panen, si suami menambah pendapatan dengan bekerja di kapal angkut barang alias kargo.
Usia tanaman kelapa milik Ju—panggilan akrab Jusilawati—sudah 12 sampai 15 tahun. Rata-rata kebun tua dan sudah banyak memberikan penghasilan. Sebab itu, dia tidak ingin bernego dengan perusahaan apapun bentuk iming-iming yang akan ditawarkan.
“Saya pasti menolak TUM karena ada kebun di sana. Pendapatan dan penghasilan di situ. Kalau TUM masuk otomatis pekerjaan atau pendapatan dari kebun tidak ada lagi,” kata Ju, saat dihubungi, Mei lalu.
Tidak hanya kebun Ju kena imbas. Hasil olah citra satelit Walhi Riau, HGU TUM diperkira tumpang tindih dengan pemukiman dan perkebunan warga seluas 2.884 hektar. Secara keseluruhan, areal itu tersebar di lima desa, yakni, Sungai Solok, Teluk Bakau, Teluk Beringin, Teluk Dalam dan Teluk.
Ju bilang, wajar masyarakat menolak karena bukan areal kosong. Bahkan rumah dan pemukiman pun di situ. Masyarakat resah ketika TUM mulai mengerahkan alat berat di Desa Teluk. Mereka turun ke lokasi menghadang pekerjaan itu dan unjuk rasa berhari-hari supaya aktivitas perusahaan tidak makin meluas ke areal kelola masyarakat.
“Penting mempertahankan kebun kelapa karena penghidupan sehari-hari. Untuk sekolah anak, untuk sekarang dan masa depan. Kalau itu (kebun) diambil ke mana kami lari dan ke mana dapat penghasilan?” ucap Ju.
“Bisa dikatakan, masyarakat tak bisa tidur memikirkan kalau seandainya TUM betul menggarap (lahan). Kasihan anak kami. Gimana kehidupan kami?” kata Ju, lagi.
Pendapatan masyarakat Mendol dari hasil kelapa cukup menyejahterakan. Ju, misal, dengan kebun kelapa mampu memanen 10.000 butir kelapa. Harga tertinggi saat ini Rp2.300 per biji. Dalam tiga bulan dia memperoleh pendapatan kotor Rp23 juta, sebelum dikurangi biaya perawatan kebun, upah pekerja dan pengeluaran rutin lain.

Panen terkecil biasa hanya 8.000 butir kelapa. Harga terendah bisa sampai Rp1.500. Hasil produksi dijual langsung ke pembeli dari Indragiri Hilir yang datang langsung dengan kapal di pulau yang berbatasan dengan Kepulauan Riau itu. Beberapa petani atau pembeli ada juga yang langsung membawa ke Malaysia.
“Kami tetap menolak keberadaan TUM. Kami akan terus pertahankan tanah dan kebun kami yang selama ini kami olah,” kata Ju, yang tidak tergiur dengan sawit.
Penolakan keras juga diutarakan Martini, perempuan 53 tahun, demi 18 jalur kebun kelapa dan pinang yang diusahakan bersama suami. Aset keluarga itu sudah mereka kelola sejak 30 tahun lalu. Tanah dan kebun itu dihasilkan dari keringat sendiri. Mereka membuka hutan untuk menanam jagung, padi dan kelapa. Hingga menetap di sana dan menjadi perkampungan.
“TUM harus ditolak, sebab (kebun) itulah penghasilan sehari-hari. Makan sehari-hari dari hasil kelapa. Kalau tak ada ini (kebun), kami tak makan. Biarlah kami mati. Ke mana kami keluar lagi?” tegas Ani, panggilan sehari-hari.

Ani resah mendengar kabar Bupati Pelalawan kalah melawan TUM. Dia kembali tak nyaman mengolah kebun. Pikirannya kembali ke masa awal perusahaan itu menebang hutan dan menggali gambut. Waktu itu, dia menangis siang dan malam. Terbayang alat berat sampai depan rumah dan menggali kanal di sana.
Ani memiliki dua anak. Si bungsu, saat itu masih menempuh pendidikan tinggi. Dia tak tahu ke mana mencari uang untuk menyelesaikan kuliah sang anak jika TUM beroperasi.
Anak Ani juga terlibat dalam tiap unjuk rasa mahasiswa dan pemuda asal Pulau Mendol yang kuliah di Pekanbaru.
Bahkan anak Ani ikut dalam rombongan masyarakat Pulau Mendol yang kecelakaan di Jalan Tol Serang, Banten, saat hendak mendatangi Kementerian ATR/BPN, sekitar dua tahun lalu. Peristiwa ini merenggut nyawa seorang aktivis Said Abu Supian.
“Masyarakat di sini tak ada berkebun sawit. Kalau sawit ditanam rusak kelapa. Dengan kelapa hidup kami sudah sejahtera dan cukup. Anak kami selesai kuliah dari hasil kelapa dan padi ini. Tak ada hasil lain. Kami bukan pegawai. Hanya petani,” ucap Ani, lewat sambungan telepon.

******