- Perairan Raja Ampat di Papua Barat Daya adalah bagian dari segitiga karang dunia yang melibatkan enam negara berdekatan, yaitu Indonesia, Filipina, Kepulauan Solomon, Timor Leste, dan Papua Nugini. Perairan tersebut menjadi jantung dari segitiga karang, karena menyimpan keaneakaragaman hayati terbanyak
- Sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia, perairan Raja Ampat terus mendapat perhatian dari publik dunia dan menjadi lokasi incaran untuk berwisata menyelam. Wisatawan dari seluruh dunia saling berlomba untuk datang dan merasakan keindahan bawah lautnya
- Tak heran, perairan Raja Ampat kemudian dikenal luas sebagai “The Last Paradise” atau “Surga Terakhir”. Predikat itu semakin meningkatkan minat wisatawan untuk datang dan menghabiskan liburannya di Raja Ampat
- Sayangnya, semakin banyak wisatawan yang datang, semakin banyak pula kapal wisata yang masuk ke perairan Raja Ampat. Dampaknya, ekosistem terumbu karang yang mendominasi perairan tersebut ada dalam ancaman kerusakan
Empat buah piring berdiameter besar berjejer rapi di atas meja pada teras sebuah rumah di Kampung Friwen, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, akhir pekan lalu. Piring berisi sesajian itu selanjutnya akan dilarung ke laut sebagai bagian dari upacara adat pemasangan tambat labuh (mooring) di perairan sekitar kampung tersebut.
Pemilik rumah yaitu Ketua Adat Kampung Friwen Derek Wawiyai, langsung memimpin upacara tersebut dari teras rumahnya. Dia membeberkan isi dipersembahkan untuk upacara adat tersebut
Terdapat dua piring yang berisi enam batang rokok kretek, enam biji buah sirih, tujuh buah pisang yang setengahnya dikupas, dan enam koin logam yang semuanya dibentuk formasi lingkaran. Kemudian, dua piring lagi berisi nasi putih dan kuning, dengan dua potong ikan yang sudah digoreng.
Dari rumahnya, Derek memimpin rombongan berjalan kaki menuju gereja satu-satunya di kampung tersebut. Saat di dalam gereja, upacara kemudian dipimpin oleh seorang pendeta, dan berdoa bersama yang berlangsung khidmat untuk kesuksesan kegiatan tersebut.
Selanjutnya, rombongan bergerak menuju dermaga pantai, tempat perahu-perahu cepat bersandar. Ketua adat naik ke salah satu perahu yang dihiasi dengan ornamen khas di sekelilingnya.
Sebelum naik ke atas perahu, dia mampir ke pantai untuk membacakan doa-doa dalam bahasa lokal. Doa tersebut juga meminta alam memudahkan proses pemasangan mooring dan menjaganya agar tetap tidak bergerak posisinya.
Ditemani tiga orang lainnya yang membawa piring, Derek kemudian naik ke atas perahu dan melanjutkan upacara adat dengan mengucap doa-doa yang diteruskan dengan menurunkan setiap piring dengan isiannya ke dalam air.
Setelahnya, rombongan sempat memutar ke sekitar lokasi pemasangan mooring dan kemudian kembali ke kampung. Proses pemasangan mooring pun kemudian dilaksanakan dengan melibatkan tenaga ahli yang paham dengan situasi di dalam air.
Baca : Tertinggi Jenisnya di Dunia, Bagaimana Kesehatan Karang di Perairan Raja Ampat?

Tambat Labuh
Pemasangan mooring menjadi program Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya (PBD) sejak 2018 dengan memulainya dari inisiasi dan pengenalan. Bagi perairan Raja Ampat, kehadiran tambat labuh menjadi penting karena lebih dari 75 persen perairan adalah ekosistem terumbu karang.
Terumbu karang yang sehat, diyakini akan menjadi kunci kesehatan sebuah kawasan laut dan pesisir. Sebaliknya, terumbu karang yang rusak, akan memicu banyak penurunan dan dampak negatif pada wilayah perairan tersebut.
Di antara faktor yang bisa memicu kerusakan terumbu karang di Raja Ampat, berasal dari kegiatan di atas perairan yang didominasi oleh perilaku manusia. Selain itu, ada juga dari dalam perairan yang disebabkan jangkar kapal dan aktivitas menyelam yang dilakukan manusia.
Beberapa persoalan yang mengemuka adalah penyelam yang tidak mengetahui cara merawat terumbu karang, jumlah kapal wisata yang semakin bertambah, atau kapal-kapal yang kandas karena berbagai faktor. Semua itu berkontribusi pada kerusakan karang di sana.
Agar semua persoalan itu bisa dikurangi, bahkan dihilangkan secara bertahap, adalah dengan menyediakan lokasi tambat labuh (mooring) di seluruh wilayah perairan Raja Ampat. Cara itu diyakini akan bisa meningkatkan perlindungan terhadap terumbu karang.
Itu juga yang menjadi konsentrasi dari Pemprov PBD dengan menggandeng banyak pihak untuk bisa mewujudkan perlindungan tersebut, salah satunya dari lembaga non profit seperti Konservasi Indonesia (KI).
Baca juga : Ikan Purba Coelacanth Ditemukan di Raja Ampat, Apakah Spesies Baru?

Direktur Program Papua KI Roberth Mandosir bahkan tak ragu menyebut perairan Raja Ampat sebagai harta karun yang wajib dijaga oleh semua generasi umat manusia. Mengingat, ada 553 spesies karang, 1.661 spesies ikan, 4 spesies penyu, 14 spesies mamalia laut, dan 25 spesies mangrove.
Semua kekayaan laut itu berkumpul pada empat kawasan konservasi perairan daerah dan nasional. Dua perairan yang dikelola Pemerintah Pusat, adalah Kawasan Konservasi Nasional (KKN) Kepulauan Raja Ampat dan KKN Waigeo Sebelah Barat.
Sementara, dua yang dikelola Pemprov PBD adalah Kawasan Konservasi Daerah (KKD) Raja Ampat dan KKD Misool Utara. Selain itu, ada juga perairan yang dikelola sebagai Cagar Alam Laut (CAL) yaitu CAL Kofiau. Total, ada 1.993.149,73 hektare kawasan konservasi perairan di Raja Ampat.
Secara khusus, Robert Mandosir bahkan menyebutkan kalau 14 spesies mamalia laut yang ada di perairan Raja Ampat terdiri dari tujuh spesies lumba-lumba, enam spesies paus, dan satu spesies dugong/duyung.
Keanekaragaman hayati laut tersebut bisa tumbuh dengan baik, salah satunya adalah karena kehadiran ekosistem terumbu karang yang sehat. Itu kenapa, ekosistem tersebut mutlak untuk diberikan perlindungan penuh sepanjang waktu.
Perlindungan itu, dimulai melalui pemasangan mooring yang menjadi pertama kali di Indonesia. Ada dua titik lokasi yang dipasang mooring, yaitu di perairan sekitar Friwen dan Miskoun, dengan jarak keduanya sekitar 1 mil laut atau 1,85 kilometer.
Setiap mooring yang dipasang memiliki berat buoy 200 kg, volume 2 meter kubik (m3), dengan kedalaman 44 meter untuk titik di perairan sekitar mioskun dan kedalaman 48 meter untuk titik yang ada di sekitar perairan Friwen.
Baca juga : Pari Manta Karang: Ikan Raksasa Ikonik Raja Ampat yang Rentan Punah

Sebagai program kolaborasi, Raja Ampat Mooring System (RAMS) mendapat dukungan dana dari Global Fund for Coral Reefs (GFCR), dan dilaksanakan oleh KI bersama Pemprov PBD dan Pemkab Raja Ampat. Direncanakan, total mooring yang akan terpasang mencapai 107 titik.
Menurut Robert, pemasangan mooring akan semakin menjamin keberlangsungan ekosistem terumbu karang, karena tidak akan ada lagi jangkar yang turun ke dalam air dan menyentuh dasar yang berpotensi bisa merusak terumbu karang.
Tetapi, dia meyakinkan bahwa target tersebut adalah untuk jangka panjang. Sementara, untuk jangka pendek akan diupayakan dipasang mooring pada 30 titik lagi. Pemasangan di Friwen dan Mioskun akan menjadi pembelajaran untuk perakitan dan instalasi.
“Ini menjadi sistem kontrol dan pengawasan terhadap proses tambat laut yang tidak langsung dilakukan kapal seperti biasanya,” jelasnya.
Setiap kapal yang bisa tambat di mooring, ukurannya maksimal sekitar 200 hingga 300 gros ton (GT) dan akan diatur maksimum tambat selama enam jam. Pengaturan tersebut akan dikelola oleh Kelompok Kerja RAMS yang sudah terbentuk sejak 2018.
Adapun, setiap kapal yang tambat pada mooring, akan dikenakan retribusi yang nilai besarannya masih dibahas oleh Badan Layanan Umum Daerah Kawasan Konservasi Perairan (BLUD KKP) Raja Ampat. Pengeloaan tersebut akan dilakukan duplikasi di lokasi perairan lain, jika dinilai sukses.
Baca juga : Raja Ampat, Antara Kekayaan Laut dan Ancaman pada Ragam Hayati

Pemanfaatan dan Pelestarian
Kepala BLUD UPTD Pengelolaan KKP Raja Ampat Syafri Tuharea menjelaskan pemasangan mooring sebagai upaya pelestarian dan pemanfaatan ekosistem laut dan pesisir di wilayah perairan Raja Ampat.
Pemanfaatan dilakukan, karena banyak orang datang ke perairan yang sering disebut sebagai “Surga Terakhir”. Tetapi, ada titik krusial pada pemanfaatan, yaitu menyangkut pengaturan, pengendalian, dan pemantauan para pemanfaat.
Oleh karena itu, mooring ditempatkan pada lokasi yang diperlukan dengan peran pemerintah sebagai pihak yang menyediakan sarana yang dibutuhkan. Saat itu semua terwujud, maka diharapkan upaya perlindungan terumbu karang bisa terjadi, karena kapal sudah tidak lagi membuang jangkar sembarangan.
Aspek pemanfaatan, juga menjadi salah satu pertimbangan utama untuk menetapkan besaran nilai retribusi yang akan dibebankan kepada setiap kapal yang ingin melakukan tambat labuh pada mooring. Penetapan dilakukan dengan melibatkan para pengguna, agar nantinya tidak menjadi beban, namun justru menjadi kebutuhan.
“Inisiasi mooring ini sudah dilakukan sejak dari 2017. Sudah lama. Tetapi, saat itu tidak terwujud karena terbentuk pada pembiayaan,” jelasnya.
Selain membahas besaran nilai retribusi, pihaknya juga membuka kemungkinan untuk menetapkan besaran tarif retribusi dengan periode setahun. Dengan demikian, kapal yang sudah membayar tarif setahun, akan bisa keluar masuk perairan lebih mudah dan cepat.
Akan tetapi, karena jumlah mooring juga masih terbatas saat ini, kapal yang sudah memiliki izin masuk perairan bisa memanfaatkan lokasi tambat labuh lain yang sudah ditetapkan. Pilihan itu bisa diambil, jika mooring sedang dalam kondisi penuh antrian.
Baca juga : Bersatunya Kegiatan Ekonomi dan Ekologi di Raja Ampat

Berkaitan dengan pemantauan mooring, Syafri menyebut kalau BLUD sudah memiliki tim pemantau bernama satuan unit organisasi pengelola (SUOP) dengan 10 pos yang menyebar di seluruh wilayah perairan Raja Ampat. Setiap pos dijaga oleh 6-7 orang petugas.
Tim pemantau tersebut akan bekerja untuk melihat apakah kapal yang sudah mendapatkan izin, mengikuti aturan dengan tambat labuh pada mooring ataukah tidak. Jika tidak, maka itu akan ada sanksi yang dikeluarkan oleh Distrik Navigasi Tipe A Kelas I Sorong.
Sekda Pemprov PBD Jhony Way pada kesempatan berbeda menjelaskan bahwa mooring menjadi penting bagi Raja Ampat, karena ada tantangan perlindungan terumbu karang yang berasal dari kegiatan perikanan dan pariwisata yang tidak bertanggung jawab dengan cara merusak.
Tetapi, agar mooring menjadi tepat sasaran dan efisien, sebelum pemasangan terlebih dahulu dilakukan pengawasan kawasan konservasi laut, dan monitoring ekologis yang dilakukan rutin setiap tahun bekerja sama dengan mitra dan masyarakat.
Regulasi Konservasi
Agar perlindungan terumbu karang bisa berjalan lebih baik, Pemprov PBD juga menyiapkan regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Selain itu, Pemprov saat ini juga tengah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Direncanakan, nantinya juga akan hadir aturan turunan yang mengatur lebih detail dan teknis tentang perlindungan terumbu karang.
Baca juga : Butuh Ratusan Tahun Kembalikan Kondisi Terumbu Karang Raja Ampat yang Rusak

Kepala Dinas Pertanian, Pangan, Perikanan, dan Kelautan Provinsi Papua Barat Daya Absalom Salossa sesaat setelah upacara pemasangan tali tambat dari kapal wisata MV Aldo ke mooring di atas Kapal Navigasi Yefsus terlihat optimis bahwa mooring menjadi masa depan untuk Raja Ampat.
Dia mengatakan, fasilitas mooring digunakan untuk kapal yang membawa wisatawan (live on board) yang dikenal dengan sebutan kapal liveaboard. Jadi, kapal liveaboard yang tujuannya ke sekitar perairan Friwen dan Mioskun, akan tambat pada mooring.
Penggunaan mooring untuk fasilitas tambat labuh, optimis akan bisa membantu upaya perlindungan ekosistem terumbu karang yang mendominasi perairan Raja Ampat. Fasilitas tersebut akan mencegah mencegah kapal wisata melepaskan jangkar secara sembarangan.
“Pariwisata ini sudah menjadi sumber penghasilan utama bagi masyarakat di sini,” ucapnya.
Pengaturan Alur Kapal
Salah satu pihak yang ikut terlibat dalam pengelolaan mooring, adalah Distrik Navigasi Sorong yang berada di bawah Kementerian Perhubungan RI. Tugas Navigasi adalah untuk melaksanakan survei alur pelayaran kapal yang akan masuk ke dalam perairan Raja Ampat.
Kepala Distrik Navigasi Sorong Arif Muljanto menyebut kalau survei alur bisa mengatur dan mengendalikan kapal-kapal yang akan masuk ke dalam kawasan konservasi perairan sesuai dengan sistem mooring.
Dia mengakui kalau proses survei alur di jalur konservasi baru pertama kali dilaksanakan pihak Navigasi Sorong. Saat ini, survei masih terus berlanjut dan ditargetkan bisa selesai pada akhir Juni 2024. Setelah itu, penetapan alur pelayaran akan dilaksanakan yang diperkirakan berlangsung pada akhir 2024.
Baca juga : Luas Terumbu Karang yang Rusak di Raja Ampat Ternyata 18.882 Meter Persegi

Tentang fasilitas mooring yang sudah terpasang pada kawasan konservasi area III Selat Dampier, Penjabat (Pj) Gubernur Papua Barat Daya Mohammad Musa’ad menyebut kalau itu menjadi bagian dari upaya konservasi terumbu karang dengan mencegah kapal wisata melepas jangkar sembarangan.
Agar upaya perlindungan itu bisa berjalan baik, dia berjanji segera melengkapi regulasi yang diperlukan untuk mendukung penerapan RAMS di Raja Ampat. Regulasi menjadi penting, karena mooring memerlukan perawatan, perbaikan, pengawasan, pemantauan, dan pembiayaan berkelanjutan.
“Dua fasilitas labuh tambah ini adalah awal dari sekitar 170 unit yang kita perlukan di masa mendatang, yang akan memperkuat visi Raja Ampat tanpa jangkar,” tambahnya. (***)
Raja Ampat, Antara Kekayaan Laut dan Ancaman pada Ragam Hayati