- Bahan bakar fosil suatu saat akan habis. Para ahli di Millennium Alliance for Humanity and the Biosphere (MAHB) memperkirakan, dengan tingkat konsumsi seperti sekarang, maka pada 2052 cadangan minyak dunia bakal ludes. Sementara gas akan habis pada 2060, dan batubara pada 2090.
- Temuan terbaru yang dilaporkan pada awal April, 2024 lalu di jurnal Energies menyebutkan keberhasilan mengambil energi dari alga. Selama ini alga sebatas dipanen minyaknya dan dimanfaatkan untuk membuat alkohol dan metana.
- Terinspirasi dari proses fotosintesis, para peneliti Kanada berhasil memanen elektron. Dengan susunan tertentu, alga bisa menjadi sumber pembangkit listrik meski berdaya rendah.
- Jika dikonfigurasi dengan benar maka proses itu dapat menghasilkan energi yang cukup untuk perangkat berdaya rendah dan sangat rendah, seperti sensor Internet of Things (IoT).
Bahan bakar fosil suatu saat akan habis. Para ahli di Millennium Alliance for Humanity and the Biosphere (MAHB) memperkirakan, dengan tingkat konsumsi seperti sekarang, maka pada 2052 cadangan minyak dunia bakal ludes. Sementara gas akan habis pada 2060, dan batubara pada 2090.
Alternatif pengganti bahan bakar fosil antara lain bisa didapatkan dari bahan organik. Selain relatif mudah dibudidayakan dan terbarukan, bahan bakar organik lebih ramah lingkungan bahkan bisa mengurangi emisi.
Temuan terbaru yang dilaporkan pada awal April, 2024 lalu di jurnal Energies menyebutkan keberhasilan mengambil energi dari alga. Selama ini alga sebatas dipanen minyaknya dan dimanfaatkan untuk membuat alkohol dan metana.
Terinspirasi dari proses fotosintesis, para peneliti Kanada berhasil memanen elektron. Dengan susunan tertentu, alga bisa menjadi sumber pembangkit listrik meski berdaya rendah.
“Fotosintesis menghasilkan oksigen dan elektron. Model kami memerangkap elektron, sehingga memungkinkan kami menghasilkan listrik,” kata Kirankumar Kuruvinashetti, salah satu peneliti, dikutip dari ScienceDaily.
Para peneliti mengambil energi yang dihasilkan dari proses fotosintesis alga yang dimasukkan dalam larutan khusus. Jika dikonfigurasi dengan benar maka proses itu dapat menghasilkan energi yang cukup untuk perangkat berdaya rendah dan sangat rendah, seperti sensor Internet of Things (IoT). IoT ini digunakan secara luas yang menghubungkan manusia dengan berbagai perangkat seperti dalam aplikasi smart home.
Meski belum mampu bersaing dengan pembangkit listrik yang dihasilkan sel surya, namun penemuan ini cukup menjanjikan untuk dikembangkan karena lebih ramah lingkungan. Tegangan maksimum yang dihasilkan dari satu terminal baru 1,0 Volt.
Baca : Mikroalga Lokal Ini Bisa jadi Sumber Energi Terbarukan

Sejarah Energi Nabati
Sejarah pemanfaatan bahan organik menjadi bahan bakar sendiri cukup panjang dan berliku. Misalnya, di Amerika, bahan bakar nabati sudah dipakai untuk transportasi meski dalam jumlah terbatas pada 1980-an. Namun standar pemanfaatannya baru ditetapkan 25 tahun kemudian yaitu pada 2005.
Saat ini bahan bakar nabati telah memasuki generasi keempat. Meski demikian, bahan bakar nabati belum sepenuhnya mampu menggeser pemakaian bahan bakar fosil. Masih diperlukan banyak penelitian, ketersediaan bahan baku, infrastruktur, juga mengubah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan bahan bakar.
Mengutip artikel dalam jurnal PLOS Biology, bahan bakar nabati generasi pertama terbagi menjadi dua yaitu bioetanol dan biodiesel. Produksi bioetanol generasi pertama dihasilkan dari fermentasi mikroba dari bahan baku yang dapat dimakan. Misalnya, gandum, jagung, dan tebu. Sementara biodiesel sebagian besar berasal dari kedelai, minyak sawit, dan rapeseed.
Karena menggunakan bahan baku yang bisa dimakan, pengembangan biofuel generasi pertama ini kerap memunculkan konflik, sebagai bahan pangan ataukah energi. Perebutan sumber bahan baku semacam ini akhirnya menjadi penyebab naiknya harga di pasar. Permintaan yang tinggi rupanya tidak dibarengi dengan jumlah pasokan yang mencukupi.
Meski demikian, bahan bakar nabati generasi awal ini punya beberapa kelebihan. Antara lain proses untuk mengubahnya menjadi sumber energi cukup sederhana. Selain itu prosesnya tergolong berbiaya rendah, tidak memerlukan banyak persiapan awal, dan teknologinya pun sudah mapan.
Baca juga : Pengajar Biologi UGM Mengolah Mikroalga Menjadi Bioenergi

Namun di antara kelebihan itu, terselip beberapa kelemahan. Untuk mencukupi kebutuhan pasar yang sangat besar akan bahan baku, diperlukan pembukaan lahan pertanian yang luas. Pengembangan bahan bakar nabati juga dituding mendorong deforestasi hutan hujan tropis. Agar produksi bahan baku optimal, kesuburan lahan harus terjaga dan itu butuh pupuk dan banyak air.
Generasi kedua pengembangan bahan bakar nabati lebih banyak memanfaatkan biomassa dari sisa-sisa pertanian serta limbah industri makanan. Sumber bahan baku juga bisa diambil dari tanaman nonpangan yang mampu tumbuh di lahan terlantar atau kritis. Misalnya, tanaman jarak.
Keuntungannya, sisa hasil pertanian maupun limbah industri makanan masih bisa diolah. Selain itu, pengembangan pada generasi kedua ini tidak memunculkan konflik apakah bahan baku akan digunakan untuk pangan atau energi.
Sayangnya, jumlah bahan baku limbah pertanian dan makanan terbatas. Selain itu, proses mengubahnya menjadi energi masih memerlukan biaya tinggi. Para ahli memperkirakan, bahan bakar nabati generasi kedua hanya mampu memasok energi transportasi dunia hingga 30 persen.
BBN Alga
Selanjutnya, bahan bakar nabati generasi ketiga berasal dari mikroalga. Alga diketahui punya kemampuan fotosintesis lebih tinggi dibanding tanaman lain sehingga bisa menghasilkan biomassa lebih cepat.
Alga juga diketahui mampu tumbuh di air limbah, air payau bahkan asin, sehingga tidak mengancam lahan pertanian dan perikanan yang sudah ada. Bahkan dalam pertumbuhannya, alga memerlukan CO2 yang tinggi. Alhasil, budidaya alga sekaligus dapat dimanfaatkan untuk menangkap karbon.
Baca juga : Video: Melirik Kopi Sebagai Bahan Bakar Nabati Potensial

Beberapa spesies mikroalga mengandung minyak hingga 60 persen, meski minyak yang bisa diekstraksi kurang dari itu. Setelah minyaknya diekstraksi, kandungan karbohidrat dan proteinnya bisa digunakan untuk menghasilkan metana dan alkohol.
Kelebihan alga yang mampu menyerap karbon lebih banyak, dapat dibudidayakan di air asin bahkan air limbah, cukup menjanjikan guna pengembangan di masa depan. Sayangnya, untuk menjadikan bahan bakar siap pakai masih membutuhkan biaya besar.
Kini pengembangan bahan bakar nabati telah memasuki generasi keempat. Pada tahap ini, penerapan rekayasa genetika dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan alga menghasilkan komponen bahan bakar nabati. Namun masih ada perdebatan terkait keamanannya. Misalnya, konsumen ingin kepastian nantinya tidak ada organisme hasil rekayasa genetik yang lolos ke alam liar.
Hasil penelitian terbaru yang dicapai peneliti Kanada seperti tersebut di atas memberi harapan baru. Dari alga kita tidak hanya bisa memanfaatkan minyaknya, atau protein dan karbohidrat untuk menghasilkan metana dan alkohol, namun juga memanen elektron. (***)