Lahan basah Sungai Musi yang luasnya sekitar tiga juta hektar, merupakan sungai, rawa, danau, dan mangrove. Wilayahnya ini terbentang di Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU], Ogan Komering Ilir [OKI], Ogan Ilir, Palembang, Banyuasin, Musi Banyuasin, PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], Musi Rawas, serta sebagian Muaraenim dan Musi Rawas Utara.
Bahasa daerah yang tumbuh dan berkembang di lahan basah ini adalah Bahasa Musi, Bahasa Ogan, Bahasa Melayu, Bahasa Komering, dan Bahasa Pedamaran.
Komoditas utama masyarakatnya berupa beragam jenis ikan, buah-buahan, padi, aren, kelapa, dan getah karet.
Berbagai pengetahuan dan keahlian pun tumbuh dan berkembang di sini. Mulai kuliner, anyaman, tenun, pertukangan kayu, pandai besi, emas, perak, gerabah, serta perkapalan. Termasuk pula pawang binatang buas, khususnya pawang buaya.
Beranjak dari komoditas yang dihasilkan dan beragam keahlian tersebut, membuat wilayah lahan basah Sungai Musi memiliki peranan penting pada kebudayaan masyarakat di Sumatera Selatan, khususnya terhadap Kota Palembang.
Dengan kata lain, kebutuhan tenaga kerja, sandang, dan pangan masyarakat di Kota Palembang, sangat bergantung dari masyarakat yang hidup di lahan basah Sungai Musi.
Pentingnya peranan tersebut membuat pemerintahan Kesultanan Palembang dan Hindia Belanda menjadikannya sebagai wilayah “pungutan” atau penyumbang pajak.
Bahkan, peranan masyarakat lahan basah Sungai Musi ini diperkirakan sudah berjalan sejak era Kedatuan Sriwijaya. Misalnya, sebagai pembuat perahu dan kapal, gerabah, dan penyedia kebutuhan pangan.
Peran perempuan
Perempuan dan lahan basah Sungai Musi memiliki hubungan yang kuat. Berbagai tradisi dilahirkan dari ikatan tersebut. Misalnya, kerajinan kuliner dan anyaman. Tradisi tersebut menyimpan berbagai pengetahuan, seperti kesehatan, ekonomi, hubungan sesama manusia, hubungan manusia dengan Tuhan, hingga kearifan terhadap alam.
Tradisi kuliner ini dimulai dari kemampuan perempuan bersama lelaki membuat alat tangkap ikan, seperti bubu, serkap, tembilar, tangkul, dan lainnya. Kemudian menguasai teknik menangkap ikan, seperti menggunakan tembilar, bubu dan tangkul.
Selanjutnya, perempuan memiliki kemampuan dalam mengelola ikan yang ditangkap atau kerajinan kuliner. Misalnya, mengelola ikan segar menjadi ikan asin, ikan asap [sale ikan], pekasem [fermentasi ikan], pindang ikan, serta kerupuk, kemplang, dan pempek.
Hasil dari ikan yang diolah tersebut, selain sebagai sumber pangan keluarga juga sebagai penghasil ekonomi. Sebagai sumber pangan, perempuan memiliki pengetahuan tentang kesehatan.
Misalnya, ikan gabus yang dipercaya dapat mengobati luka dalam, sehingga sangat baik dikonsumsi perempuan yang habis melahirkan. Sementara, sebagai sumber ekonomi perempuan memiliki kemampuan berdagang.
Berbagai tanaman di lahan basah Sungai Musi, seperti purun, bambu, rotan, nipah, dan bakau, dikelola perempuan menjadi kerajinan anyaman. Mulai dari alat tangkap ikan, tikar, keranjang, sapu lidi, tudung saji, hingga atap rumah.
Bahkan, sebagian tanaman tersebut dijadikan bumbu masakan, seperti buah nipah, buah bakau, rebung bambu, umbut rotan, dan sebagainya.
Ary Prihardyanto Keim, Etnobiolog dari BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional], menjelaskan sejak puluhan abad lalu bangsa Austronesia sebagai leluhur bangsa Indonesia, sudah memanfaatkan bakau sebagai bagian dari kehidupan mereka. Utamanya, untuk kebutuhan keseharian seperti makanan, bahan bangunan, pembuatan kapal, dan juga sebagai pewarna alami dan obat.
Hubungan harmonis dengan lahan basah Sungai Musi, membuat perempuan memiliki kekuatan secara ekonomi maupun dalam hal ketahanan pangan. Kekuatan ini menjadikan perempuan memiliki hak yang sama dengan lelaki dalam mengambil sebuah keputusan.
Misalnya di keluarga, perempuan sangat menentukan keputusan terkait pernikahan anak, pembagian harta waris, lokasi menetap keluarga, hingga pendidikan anak. Sementara di masyarakat, perempuan mempunyai hak untuk menentukan lokasi yang dapat dikelola untuk perikanan, pertanian, perkebunan, serta wilayah larangan.
Di kehidupan sehari-hari, perempuan juga berani melakukan protes atau mengkritik terhadap seseorang yang dinilai melanggar suatu aturan, atau berperilaku tidak baik.
Berbagai pengetahuan yang dimiliki perempuan tersebut juga diturunkan atau diajarkan kepada anak-anak perempuannya.
Gambaran peran perempuan di lahan basah Sungai Musi tersebut seperti yang dinyatakan Annabel Rodda dalam bukunya Women and the Environment [1991]. Dia menyebutkan, perempuan pada masyarakat tradisional [masyarakat adat] di wilayah tropis di Afrika memiliki empat peran. Yakni consumers, campaigners, educators, dan communicators.
Pertama, sebagai consumers yaitu penghasil pangan bagi keluarga dan komunitas adatnya dengan mengambil hasil ikan dan tanaman di alam, atau mengelola pertanian dan perkebunan.
Kedua, perempuan sebagai campaigners. Misalnya, penyampai pesan betapa pentingnya menjaga ekosistem di wilayah adatnya, atau penyampai etika dan norma.
Ketiga, perempuan sebagai educators yaitu berperan dalam proses alih pengetahuan mengenai berbagai kegiatan produktif maupun reproduktif kepada anak-anak perempuannya.
Keempat, perempuan berperan sebagai communicators yaitu pemasar hasil dari alam ke tempat lain.
Berkelanjutan
Salah satu nilai yang dijaga perempuan lahan basah Sungai Musi adalah berkelanjutan. Artinya, berbagai aktivitas yang dilakukan itu mengintegrasikan dimensi keberlanjutan pangan, ekonomi, lingkungan dan sosial.
Sikap tersebut tercermin dari pilihan tradisi kuliner dan anyaman. Tradisi ini sangat bergantung dari kondisi alam. Jika terjadi perubahan pada lahan basah, seperti rusak atau hilangnya sungai, mangrove, danau, serta rawa, akan memengaruhi produksi atau ketersediaan bahan baku kerajinan kuliner dan anyaman. Sebut saja, terganggunya ketersediaan beragam jenis ikan, serta purun dan nipah. Ini berdampak pada pemenuhan pangan, ekonomi, dan sistem reproduksi sosial.
Jadi, sikap perempuan lahan basah Sungai Musi yang saat ini terus mempertahankan tradisi kuliner dan anyaman adalah upaya mereka menjaga keberlanjutan pangan, ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Sikap tersebut dapat dikatakan bagian dari etika lingkungan. Etika lingkungan tersebut diperkirakan beranjak dari kesadaran biosentrisme yang tercermin dari Prasasti Talang Tuwo, sebuah prasasti yang dibuat pemimpin Kedatuan Sriwijaya pada 684 Masehi. Kedatuan Sriwijaya sekitar lima abad [7-12 Masehi] menguasai lahan basah Sungai Musi.
Isi Prasasti Talang Tuwo menjelaskan bahwa alam [Taman Sri Ksetra] yang dibuat pemimpin Kedatuan Sriwijaya diperuntukkan bagi semua makhluk hidup.
Inti pemikiran biosentrisme bahwa setiap makhluk hidup mempunyai nilai intrinsik dan keberadaannya, memiliki relevansi moral. Sehingga, setiap makhluk hidup pantas mendapatkan keprihatinan dan tanggung jawab karena kehidupan merupakan inti pokok dari moral.
Salah satu pengusung teori biosentrisme adalah Paul W. Taylor. Di dalam bukunya Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics [1986], Taylor menjelaskan semua makhluk hidup di luar manusia, seperti tumbuhan dan hewan, memiliki nilai melekat yang patut mendapat perhatian dan pertimbangan moral.
* Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja seni menetap di Palembang. Tulisan ini merupakan opini penulis.