- Pertanian kota (urban farming) menjadi alternatif warga dalam pemenuhan pangan lokal yang sehat. Namun upaya tersebut tidaklah mudah, sulitnya terhadap akses lahan, tanah subur hingga hama tanaman menjadi tantangannya.
- Daliman, warga Kampung Danurejan dan Kebun Kali Code menjadi dua di antara banyak inisiatif warga kota yang terus memiliki siasat dalam bertani di tengah kota. Daliman menggunakan atap rumahnya dan kelompok kolektif Kebun Kali Code menggunakan lahan yang tak produktif untuk bertani.
- Lahan pertanian di Kota Yogyakarta mengalami penurunan drastis hingga 50,81% dalam dua tahun terakhir. Penyebabnya alih fungsi lahan masif untuk pembangunan industri dan perumahan. Padahal, ada regulasi perlindungan terhadap sisa lahan pertanian produktif di Yogyakarta namun tidak ada pengawasan.
- Pemerintah Kota Yogyakarta kembali mengadopsi tradisi Lumbung Mataraman untuk menanggulangi ketahanan pangan. Namun, apakah langkah ini bisa untuk mengatasi masalah lahan pertanian untuk pangan di Yogyakarta?
Kebun mini di atas atap berukuran 10 meter persegi dengan beragam tanaman. Galon bekas, polybag, sampai pot plastik berderet rapi memenuhi kebun. Cabai, tomat, dan terong siap dipanen beberapa hari lagi. Di atas ada tanaman anggur menggantung diselingi anggrek. Ini milik Daliman, warga Kampung Danurejan, Kota Yogyakarta. Rumah Daliman di kampung kota dengan yang jalan utama hanya bisa dilalui sepeda motor.
Saat menuju kebunnya, beberapa ember berada di sisi anak tangga. “Ini leri, air bekas cucian beras untuk bahan campuran pupuk organik,” ucap Daliman.
Untuk merawat tanaman-tanaman ini, pria 56 tahun ini tak pernah menggunakan pupuk kimia. “Agar lebih sehat, apalagi di sini buat napas aja engap karena rumahnya pada berhimpitan. Kalau pake bahan kimia nanti gak bagus buat tubuh,” kata Daliman.
Kebun Daliman tampak mencolok di tengah perumahan dan gedung hotel. Sebelum trend pertanian kota, Daliman sudah mulai menanam beberapa jenis tanaman.
Baca juga: Fenomena Iklim dan Belenggu Pertanian
“Meski tidak punya lahan lagi, apalagi di kota, ya harus bertani seperti petani pada umumnya, telaten dan penuh pertimbangan,” katanya.
Upaya bertani di atap rumah ternyata bukan perkara mudah. Mulai dari sulit mencari tanah subur hingga hama yang menyebabkan tanaman mati sebelum panen atau jamur ketika berbuah.
“Akhirnya saya mengakali dengan rendaman air tembakau untuk menghilangkan serangga dan jamur ketika berbuah. Saya pakai ini juga biar tetap konsisten pakai bahan organik,” katanya sambil mengaduk rendaman air tembakau.
Sekitar 500 meter, berseberangan dengan kampung Daliman, ada Kebun Kali Code yang dikelola kolektif oleh warga. Siapa saja boleh ikut, mulai dari siapkan lahan, pembibitan, pemupukan, tanam sampai panen. Lokasinya di Kampung Ledok Tukangan, sisi timur sungai Kali Code.
Luas kebun kolektif ini hanya sekitar 10 meter persegi dengan beragam jenis tanaman. Ada cabai, terong, tomat terlihat menyembul sekitar satu meter dari bedengan tanah. Tidak hanya itu, mereka juga menanam berbagai tanaman obat.
Fitri Nasichudin, salah satu penggagas Kebun Kali Code mencoba mencari solusi dengan lahan keluarganya yang kurang terawat. “Karena kita punya rencana dan keinginan menanam, kita buat kebun dan menggempur cor-coran dengan kerja bakti. Waktu itu ibu-ibu banyak yang ikut menggempur cor-coran,” katanya.
Baca juga: Berkebun Selaras Alam di Kota
Sama dengan Daliman, dia juga alami kesulitan cari tanah subur untuk Kebun Kali Code yang berada di atas tanah cor. Meskipun begitu, tak menyurutkan semangat warga untuk menanam guna memenuhi kebutuhan pangan mandiri yang sehat.
“Kita pakai kain, bekas umbul-umbul, atau kita pakai banner kain,” kata Fitri, menunjuk spanduk bekas untuk membuat bedengan. “Yang penting ga kena angin. Pernah juga kita bedeng dari bambu.”
Saat panen tiba, akan ada musyawarah para anggota kebun kolektif. Meski biasa hasil panen dibagikan kepada warga setempat atau siapa saja yang membutuhkannya.
“Hasil tani kita rundingkan, mau dijual atau dibagikan. Sebab kita juga punya kebutuhan untuk kebun sendiri. Tanah saja kita beli, untuk perbaikan, dan kebutuhan lain. Kalau panen kita saat ini mau kita jual ya kita jual. Kalau misalkan mau dibagikan ke lansia ya kita bagikan,” kata Fitri.
Lahan pertanian di kota Yogyakarta tak terselamatkan?
Daliman dan Fitri serta warga sekitar Kali Code, merupakan segelintir orang yang berupaya memenuhi keperluan pangan mandiri di tengah makin sulitnya lahan pertanian di Kota Yogyakarta.
Dalam satu tahun terakhir (2022-2023), lahan pertanian di Kota Yogyakarta mengalami penurunan hingga 50,81%. Pada 2023, lahan sawah tersisa 25.7 hektar dan tidak semua produktif.
Eny Sulistyowati, Kepala Bidang Pertanian Dinas Pertanian Kota Yogyakarta mengatakan, alih fungsi lahan pertanian yang tinggi kian mengkhawatirkan. “Hanya ada sedikit lahan sawah produktif,” katanya. Padahal, lahan pertanian di Kota Yogyakarta masuk dalam penetapan lahan sawah yang dilindungi (LSD).
Pertambahan penduduk dan alih fungsi lahan menjadi penyebab utama penurunan lahan pertanian di Kota Yogyakarta. Sering kali, alih fungsi lahan ini melanggar aturan dan menyerobot sisa sawah yang masuk dalam kategori dilindungi. “Ada lagi kemarin kita kecolongan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan. Waktu saya survei udah dilakukan pengerukan dan pembangunan.”
Bersama dengan Badan Pertanahan Nasional, Dinas Pertanian dan Pangan Kota Yogyakarta membuat payung hukum dan menyelamatkan sisa sawah tersisa. Hasilnya, kini sawah produktif tersisa masuk dalam kategori dilindungi. Meski demikian, alih fungsi lahan sawah masih terjadi secara masif.
Bukan lagi Lumbung Mataraman
Sejak 2017, Pemerintah Yogyakarta kembali mengadopsi tradisi Lumbung Mataraman guna menanggulangi ketahanan pangan di tengah ancaman krisis iklim. Tradisi ini sudah ada sejak era Mataram yang menciptakan kedaulatan pangan di tingkat desa.
Wahyu Aji, pegiat riset di Pemuda Tata Ruang (Petarung) menyebutkan, alih fungsi di kota sudah merambah pada lahan yang dilindungi. Padahal lahan tersebut seharusnya dilindungi dan sudah diatur dalam Perpres 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
“Peraturan LP2B ini mengatur lahan yang tidak bisa dikonversi menjadi lahan pertanian harus tetap dilindungi. Tapi ada catatan kecuali untuk pembangunan untuk kepentingan umum itu bisa dilepas, makanya tidak heran yang awalnya 55,25 Ha kemudian menjadi 25,7,” jelas Aji yang juga aktif dalam Partai Hijau Indonesia.
Pembangunan untuk kepentingan umum, misal, sarana-prasarana dan bangunan terkait untuk kawasan strategis. “Seperti ruko, hotel, indekos, dan bangunan lainnya untuk menunjang industri pariwisata dan industri pendidikan.”
Untuk memperkuat ketahanan pangan di Kota Yogyakarta, katanya, tidak cukup dengan pertanian kota. Menurut dia, kebijakan ini tidak efektif di tengah urbanisasi dan kebutuhan industri.
“Karena itu semacam minum obat, tetapi bukan minum obat yang menyembuhkan akar masalahnya. Sama dengan pertanian kota, itu hanya cukup proses penghijauan kampung, tidak mampu menjawab kebutuhan ketahanan pangan,” kata Aji. (***)
‘Urban Farming’, Penuhi Pangan Sehat sekaligus Bantu Hadapi Krisis Iklim
*Dewa Saputra Adi adalah mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta. Dia tertarik menulis isu keadilan sosial dan lingkungan.