- Kera besar seperti orangutan Sumatera (Pongo abelii) mempunyai kemampuan untuk membuat sarang. Mereka membangun dua sarang yang empuk dari dedaunan dan ranting setiap hari.
- Bayi orangutan yang berumur enam bulan sudah mulai belajar membuat sarang dari induknya.
- Temuan itu dilaporkan Andrea Permana dan timnya dalam jurnal Animal Behavior, Mei, 2024.
- Memahami fungsi dan kompleksitas pembuatan sarang akan memperdalam pemahaman kita tentang kemampuan kognitif dan luasnya kekayaan budaya orangutan.
Tidur nyaman mungkin menjadi obsesi orangutan. Individu dalam hal ini orangutan Sumatera (Pongo abelii) setidaknya akan membangun dua sarang yang empuk dari dedaunan dan ranting setiap hari. Sarang pertama digunakan untuk tidur siang, dan sarang kedua yang dikerjakan lebih rumit untuk tidur malam. Orangutan dewasa yang terampil bahkan akan menambahkan elemen bantal, guling, selimut hingga kanopi ke dalam sarangnya demi bisa tidur nyaman.
Orangutan adalah pembelajar. Termasuk dalam hal mengembangkan teknik pembuatan sarang. Secara umum, kemampuan orangutan itu berbeda dengan beberapa binatang seperti rayap atau burung yang memperoleh pengetahuannya secara naluriah atau sudah tertanam secara genetis. Kemampuan membuat sarang pada kera besar seperti halnya orangutan adalah keterampilan yang dipelajari.
Hebatnya, bahkan bayi orangutan yang berumur enam bulan sudah mulai belajar membuat sarang dari induknya. Bandingkan dengan kerabatnya, manusia. Pada usia yang sama bayi manusia baru belajar duduk. Proses belajar membuat sarang pada orangutan ini rupanya berlangsung hingga anak disapih induknya pada usia sekitar 7 tahun.
Temuan itu dilaporkan Andrea Permana dan timnya dalam jurnal Animal Behavior, Mei, 2024. Ini adalah studi pertama yang detil dan mendalam tentang perkembangan kemampuan membangun sarang pada kera besar. Andrea Permana adalah seorang ahli primata dari Universitas Warwick, Inggris.
Perempuan yang pernah menjadi manajer proyek di Yayasan Orangutan Sumatera Lestari ini sebelumnya mendapat gelar doktor dari Universitas Amsterdam, dengan disertasi tentang aspek budaya dan kognitif perilaku membangun sarang pada orangutan.
“Memahami fungsi dan kompleksitas pembuatan sarang akan memperdalam pemahaman kita tentang kemampuan kognitif dan luasnya kekayaan budaya orangutan, yang umumnya dianggap paling tidak berteknologi dibandingkan kera besar,” katanya mengomentari penelitiannya, seperti dikutip dari website Universitas Amsterdam.
Baca : Mencermati Masa Depan Orangutan Sumatera
Bentuk Sarang Kompleks
Namun membangun sarang di atas pohon setinggi puluhan meter yang mampu menahan beban berat hingga sekitar 90 kg tentu saja butuh kecakapan. Selain itu, kemampuan membuat sarang pada orangutan yang dikenal paling produktif, dalam hal ini dibanding kera besar lainnya membuktikan orangutan bisa mengenali sumber daya lingkungannya.
Dalam penelitian lain sebelumnya terungkap, orangutan membangun struktur dasar sarang dari batang yang ditekuk dan disusun melingkar. Batang utama sengaja hanya dipatahkan separuhnya, yang dengan cara itu batang pohon tetap hidup dan lentur. Struktur sarang orangutan dianggap lebih kokoh, kompleks dan rumit, serta awet dibanding sarang kera Afrika.
Lebih dari 10 tahun, sejak 2007 hingga 2020, Andrea bersama tim mengamati perilaku 20 induk dan 27 anak serta bayi orangutan Sumatera. Penelitian dilakukan di stasiun penelitian Suaq Belimbing, di kawasan Kluet Selatan, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, Sumatera. Pengamatan melibatkan 51 tenaga pengamat orangutan. Individu orangutan yang diamati diikuti dari pagi hingga sore selama maksimal 10 hari, jika memungkinkan. Setiap 2 menit perkembangan perilakunya dicatat.
Dalam penelitian itu terungkap, bayi orangutan Sumatera akan menunjukkan minat membangun sarang pada usia 6 bulan. Pada usia 1 tahun dia mulai membuat sarang siang hari. Sarang malam hari baru dibuat menjelang usia 3 tahun.
“Bayi mulai menyelidiki bahan-bahan sarang, termasuk menambahkan daun dan ranting ke sarang induknya, membengkokkan dan mematahkan dahan, serta melakukan upaya awal untuk membentuk fondasi sarang melingkar sejak usia 6 bulan,” mengutip laporan itu.
Baca juga : Lebih Dekat dengan Orangutan Kalimantan
Puncak praktik membangun sarang terjadi pada usia 3 hingga 4 tahun. Sampai usia sekitar 8 tahun atau usia sapih, waktu praktik membangun sarang bersama induknya itu intensitasnya menurun. Pada waktu itu meski sudah punya kemampuan dasar, namun dia belum menambahkan elemen kenyamanan tambahan.
Selama pengamatan ditemukan ada individu orangutan berusia 6,6 tahun yang tidur sendirian di sarang malam buatannya. Namun biasanya dalam usia ini mereka masih kembali ke sarang induknya untuk menghabiskan sisa waktu tidur malamnya.
“Menunda peralihan ke tidur malam sendirian mungkin bersifat adaptif, karena dapat meningkatkan kelangsungan hidup dengan menunda perpisahan total dari pengasuhnya,” tulis laporan itu.
Sarang malam secara eksklusif baru akan digunakan setelah anak orangutan disapih di usia sekitar 7 tahun. Walau pada usia lebih dari 3 tahun sebenarnya anak orangutan sudah bisa membuat sarang malamnya sendiri. Selepas usia itu orangutan terus mengembangkan keterampilan membuat sarang, termasuk memilih spesies pohon tambahan yang berbeda dengan yang diajarkan induknya.
Menarik dibaca : 9 Hewan Paling Cerdas di Dunia: Dari Orangutan hingga Gurita
Manfaat Pembuatan Sarang
Apa manfaat bagi kita dengan mempelajari bagaimana kera besar membuat sarang?
Dalam artikel yang ditulis Barbara Fruth dan rekan dari Institut Perilaku Satwa Max Planck, Jerman (1996), pembuatan sarang harus dipertimbangkan sebagai salah satu langkah penting evolusi hominoid. Ada kemungkinan membangun sarang merupakan cara menghasilkan kualitas tidur yang lebih baik, yang berimplikasi pada evolusi kognitif hominoid.
Tidur yang lebih tenang akan melepaskan hormon pertumbuhan, pematangan sistem saraf, dan meningkatkan memori. Tugas-tugas yang dipratikkan akan terekam lebih baik. Selain itu sejumlah informasi akan diteruskan ke korteks dan menghasilkan memori jangka panjang.
“Sarang mungkin merupakan tempat lahirnya kognisi, manipulasi, dan keterampilan teknologi yang lebih tinggi, yang berpuncak pada kemampuan manusia untuk mengubah lingkungan. Oleh karena itu, sarang berfungsi sebagai batu loncatan untuk lompatan besar dalam evolusi hominid,” mengutip artikel tersebut. (***)