- Kabupaten Luwu menempati posisi pertama pada Indeks Resiko Bencana Indonesia (IRBI) di Provinsi Sulawesi Selatan. Pada banjir dan longsor Mei 2024 lalu, tercatat 13 titik desa terisolir di wilayah pegunungan Latimojong, dengan sebaran 16 titik longsor di wilayah Luwu.
- Dari peta zona kerentanan gerakan tanah dan peta bahaya longsor tanah Luwu berada pada zona merah.
- Kondisi geologi wilayah tanah Kabupaten Luwu khususnya di Kecamatan Latimojong yang mengalami longsor itu, berada pada formasi batuan filit atau batuan keras yang berlapis tipis sudah lapuk di atas.
- WALHI Sulsel menyebut penyebab bencana tersebut dipengaruhi alih fungsi hutan menjadi lahan sawit serta maraknya kondisi kerusakan lingkungan.
Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sulawesi Selatan yang terjadi di awal Mei silam telah menyebabkan kerusakan infrastruktur dan korban jiwa, ribuan warga harus diungsikan. Bencana terbesar terjadi di Kabupaten Luwu. Dari data Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kebencanaan Universitas Hasanuddin menunjukkan bahwa Kabupaten Luwu memang menempati posisi pertama pada Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) di Sulawesi Selatan. Dampaknya, sebanyak 14 warga meninggal dunia serta menimbulkan kerugian materil dan nonmateril tidak sedikit hingga mencapai puluhan miliar rupiah.
Selain itu, tercatat 13 titik desa terisolir di wilayah pegunungan Latimojong, dengan sebaran 16 titik longsor di wilayah Luwu. Bahkan bantuan maupun evakuasi disalurkan harus melalui jalur udara menggunakan helikopter. Dari peta zona kerentanan gerakan tanah dan peta bahaya longsor tanah Luwu berada pada zona merah.
“Dari 24 kabupaten kota di Sulsel, Luwu yang memiliki IRBI tertinggi atau nomor satu berdasarkan survei kaji cepat penanganan bencana banjir dan tanah longsor,” ungkap Kepala Puslitbang Kebencanaan Universitas Hasanuddin Ilham Alimuddin, dalam diskusi publik oleh The Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) simpul Sulsel di Makassar, beberapa waktu lalu.
Diskusi tersebut menindaklanjuti program diseminasi liputan investigasi kolaborasi SIEJ-Depati Project dengan enam media berkaitan pengrusakan hutan di Pulau Borneo, Kalimantan dan jika ditarik ke Sulsel diangkat tema diskusi “Deforestasi Hutan Tanah Luwu dan Ancaman Bencana Ekologis Rutin”.
Baca : Banjir dan Longsor di Sulsel Tewaskan 15 Orang, WALHI Ungkap Penyebabnya
Menurut Ilham, kerentanan Luwu bisa dilihat dari seringnya daerah ini mengalami bencana ekologis, yang sedikit banyaknya dipengaruhi oleh karakteristik tanah di daerah itu.
“Karakteristik tersebut di antaranya, material yang mengalami longsor adalah tanah di dekat permukaan, bergerak secara cepat,” katanya.
Bahkan, menurutnya, sebagian besar termasuk jenis tanah longsor translasi (debris slide), dan terjadi pada tanah tebal yang merupakan pelapukan dari batuan metamorf. Termasuk bidang gelincir berupa batas antara tanah dan batuan ditambah curah hujan tinggi.
“Kondisi geologi wilayah tanah Luwu khususnya di Kecamatan Latimojong yang mengalami longsor itu, berada pada formasi batuan filit atau batuan keras yang berlapis tipis sudah lapuk di atas. Namun sebagian di bawahnya tidak mengalami lapuk hingga menyebabkan lapisan tidak lapuk ini menjadi licin kemudian mendorong tanah lapuknya ke bawah lalu menjadi longsor.”
Menurut Ilham, sebagai rekomendasi kepada pemda atas bencana tersebut adalah dengan mengetahui risiko bencana di sekitar. Secara jangka pendek mulai dengan pendataan rumah atau bangunan yang berada pada area bahaya tanah longsor (zona potensi terdampak material longsoran).
Pemda juga harus melaksanakan survei dan pemetaan lanjutan pada titik longsor yang belum terpetakan yakni prioritas di permukiman untuk memastikan apakah perlu dilakukan relokasi atau tidak, serta mitigasi apa yang diperlukan.
Untuk mitigasi jangka menengah yakni melengkapi dokumen perencanaan penanggungan bencana dimulai dari kajian risiko bencana yang disusun tahun 2025.
Dilanjutkan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Kontigensi (Renkon) per jenis bencana sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri No.101 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Bencana Kabupaten/Kota.
Baca juga : Tanpa Mitigasi, Banjir dan Longsor di Sulsel Terus Terulang
Selanjutnya, mengintegrasikan hasil kajian risiko bencana dengan Perencanaan tata ruang Kabupaten Luwu seperti sempadan sungai dan sempadan lereng harus diperhatikan.
“Terpenting melakukan pemantauan hulu sungai secara rutin dan terprogram. Koordinasi antara dinas terkait. Dan peningkatan kapasitas dan edukasi masyarakat terkait pengetahuan risiko maupun mitigasi bencana wilayah masing-masing,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel Muhammad Al Amin menyebut penyebab bencana tersebut dipengaruhi alih fungsi hutan menjadi lahan sawit serta maraknya kondisi kerusakan lingkungan.
“Mestinya pascabencana ini semua stakeholder harus bisa duduk bersama mencari solusi guna menekan kasus bencana alam serupa yang terjadi secara rutin itu bila musim penghujan datang, termasuk menghadirkan kurikulum sekolah berbasis kebencanaan,” katanya.
Diskusi tersebut dihadiri sejumlah jurnalis dari berbagai media serta anggota SIEJ simpul Sulsel serta perwakilan organisasi lingkungan lainnya dan di akhir diskusi dilaksanakan penandatanganan spanduk dalam deklarasi penyelamatan hutan di Indonesia, khususnya hutan di wilayah Sulsel. (***)
Banjir dan Longsor Landa Sulsel Bukti Ketidakseriusan Pemerintah Kelola Kebencanaan