- Kondisi hutan mangrove di pesisir timur Riau, terus terkikis, hingga abrasi terus menggila, daratan terkikis, dan kehidupan masyarakat makin sulit. Upaya pemulihan hutan mangrove sudah mulai jalan dan akan terus dilakukan.
- Badan Restorasi Gambut dan Mangrove bakal masuk lewat program mangrove for coastal resilience (M4CR). Bank Dunia akan mendanai restorasi mangrove dengan dana lebih US$ 100 juta di empat provinsi, yakni, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara termasuk Riau.
- Desa Kuala Selat, akan jadi titik awal awal pemulihan mangrove ini ditandai dengan penanaman pohon. Wilayah ini, satu dari ratusan lokasi tersapu abrasi. Lebih kompleks lagi, daratan yang berhadapan dengan Kepulauan Riau itu perlahan-lahan ‘dijilati’ air laut alias intrusi hingga mematikan kebun kelapa masyarakat.
- Gatot Soebiantoro, Deputi Pemberdayaan Masyarakat BRGM, menguatkan keterangan ini. Hutan mangrove di Riau cukup luas, katanya, sekitar 230.000 hektar. Mayoritas kawasan mangrove di Riau rusak karena penebangan untuk kebutuhan domestik dan industri kayu arang. Selanjutnya, beralih fungsi menjadi pemukiman, perkebunan dan tambak. Setelah tidak produktif lagi, kawasan justru ditinggalkan begitu saja.
Kondisi hutan mangrove di pesisir timur Riau, terus terkikis, hingga abrasi terus menggila, daratan terkikis, dan kehidupan masyarakat makin sulit. Upaya pemulihan hutan mangrove sudah mulai jalan dan akan terus dilakukan. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove bakal masuk lewat program mangrove for coastal resilience (M4CR). Bank Dunia akan mendanai kegiatan ini dengan dana US$ 100 juta di empat provinsi, yakni, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara termasuk Riau.
Hartono Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengatakan, M4CR di Riau akan menyasar lima kabupaten dan satu kota–dengan 32 kecamatan dan 117 desa–., yakni, Indragiri Hilir, Kepulauan Meranti, Rokan Hilir, Pelalawan, Bengkalis dan Dumai.
Desa Kuala Selat, akan jadi titik awal awal pemulihan mangrove ini ditandai dengan penanaman pohon. Wilayah ini, satu dari ratusan lokasi tersapu abrasi. Lebih kompleks lagi, daratan yang berhadapan dengan Kepulauan Riau itu perlahan-lahan ‘dijilati’ air laut alias intrusi hingga mematikan kebun kelapa masyarakat.
Dalam video pendek yang BRGM tayangkan sebelum bincang-bincang dengan para jurnalis, Kepala Desa Kuala Selat, Imam Taufik, mengenang hutan mangrove di kampungnya dalam kondisi baik dan hijau, sekitar 1990-an. Dari waktu ke waktu hingga puncaknya 2021, hutan mangrove habis karena gelombang kuat terpicu penebangan.
“Akhirnya, akibat abrasi itu, selain mangrove berubah jadi lautan, dampaknya ke perkebunan masyarakat. Perkebunan kelapa di desa ini milik pribadi masyarakat. Bukan perusahaan atau investor dari luar,” kata Imam, dikutip dari kanal Youtube BRGM.
BRGM mensimulasi perubahan bibir pantai Kuala Selat dengan tangkapan foto udara citra satelit resolusi tinggi. Tampak pergeseran itu sudah terjadi sejak 1987.
Desa yang terdiri dari empat dusun ini mengharapkan penghidupan dari kelapa selain nelayan, yang jadi pekerjaan utama Masyarakat Adat Suku Duanu. Kerusakan terjadi karena hutan mangrove beralih jadi perkebunan kelapa.
Menurut hitungan BRGM, sekitar 2.500 hektar daratan hilang. Jumlah ini, perkiraan Imam Taufik, sudah mencapai 50% dari keseluruhan kebun kelapa di Kuala Selat. Semula kebun produktif berubah jadi dataran lumpur dengan tanaman kelapa mati.

Kejayaan perkebunan kelapa di Kuala Selat hanya jadi kenangan. M As’at kehilangan empat hektar lebih kebun. Padahal, dulu dia masih bisa menanam jagung, pisang, sayur mayur maupun lada buat konsumsi di rumah.
Asmarita, warga lain, merasakan betul hasil pertanian semusim itu sangat menopang ekonomi keluarga. Pisang, ubi kayu dan cabai dapat menutupi kebutuhan sehar-hari sebelum panen kelapa yang biasa tiap tiga bulan sekali.
“Kalau yang kecil-kecil (tanaman harian) ini per hari kami ambil. Asal ada orang datang ke darat dan mau beli maka kami jual. Kalau sekarang, apa mau dijual? Semua tidak ada. Kelapa habis. Tanaman kecil habis. Semua habis,” katanya.
Kehilangan sumber penghidupan mengganggu siklus ekonomi keluarga petani Kuala Selat. Mereka tidak dapat mengatur pengeluaran dan pemasukan bulanan. Pendapatan harian kadang ada kadang kosong melompong. Satu dari sekian banyak imbasnya, berdampak pada pembiayaan sekolah anak.
“Abrasi yang menghilangkan mata pencarian masyarakat betul-betul membuat petani menjerit karena penderitaan ekonomi itu,” kata Imam.
Abrasi menambah jumlah tunawisma di Kuala Selat, tiap tahun. Gelombang tinggi menghantam pemukiman nelayan dan petani. Di Dusun I, bekas tapak rumah sudah berubah jadi lautan. Padahal pada 1990, masih berupa pemukiman padat penduduk.
Perubahan situasi itu dialami langsung oleh Ahmadi. Dia sudah tiga kali pindah karena gubuk kayunya diterjang ombak. Sekali bergeser, setidaknya berjarak sekitar 200 meter menjauh dari laut. Sekarang, tempat tinggalnya kembali berhadapan dengan laut. Dia pun sudah berancang membongkar material bangunan sebelum badai gelombang tiba.

Laju abrasi di Kuala Selat terjadi ketika musim pasang utara. Biasanya mulai November sampai Januari bahkan Februari. Kemudian berlanjut pada musim pasang tenggara. Mulai April sampai Juli. “Setiap malam, dengar bunyi desiran ombak besar. Kadang-kadang tidak bisa tidur. Pikiran kurang rasa aman,” kata Ahmadi.
Warga yang punya kemampun ekonomi, memilih meninggalkan kampung kelahiran dengan mencari kehidupan di tempat baru.
Bagi yang tidak punya pilihan, terpaksa bertahan dengan kondisi makin sulit. Mereka pun harus beradaptasi pada keadaan. Dalam hal pekerjaan, semula petani alih jadi nelayan. Bila punya modal lebih beli jaring dan pompong sebagai alat transportasi melaut. Bagi yang tak punya, cukup cari siput dan kepiting dengan mengarungi lumpur tepian sungai atau parit bekas hamparan kebun kelapa.
Harga hasil tangkapan cukup tinggi ketika jual ke penampung. Misal, kepiting Rp 80.000 per kg untuk kategori kecil. Pekerjaan ini tidak dapat dilakoni tiap hari. Pendapatan pun tidak menentu. Tergantung seberapa rajin dan tekun mencari rezeki. Asal dapat mencukupi kebutuhan harian tanpa pikir menabung.
“Yang jelas untuk makan dulu. Hari ini dapat, besok tak dapat. Habis lagi,” cerita M As’at.
Asmarita, juga begitu. Dia harus bantu suami untuk mencukup ekonomi keluarga. Dia mencari upah mencongkel kelapa di kebun petani yang masih bertahan. Di lain waktu, menjaja pakaian ke rumah-rumah tetangga. Dalam tiap pekerjaan itu, selalu terbersit ingin dapat uang lebih dari kebutuhan harian.

Terus berupaya
Bagaimana pun kondisinya, Kuala Selat harus diselamatkan. Walau sejumlah usaha seolah tak berarti. Imam Taufik, mengatakan sejak 2007, pemerintah berupaya menyelamatkan perkebunan kelapa tersisa dengan membangun tanggul mekanik. Bahkan dilakukan kembali 10 tahun berikutnya.
Tahun lalu, pemerintah juga terus memperluas tanggul agar air laut tidak sampai ke kebun kelapa masyarakat. Termasuk tanggul mekanik sepanjang 6.000 meter untuk menyelamatkan kelapa produktif sebelah Selatan Kuala Selat tetapi tetap tak mampu menahan air laut.
Pada 2021, BRGM sudah berupaya menanam mangrove di Kuala Selat meski usaha ini terlihat sangat berat. Banyak pohon mati dan belum bisa menahan laju gelombang besar dan pasang tinggi.
Bakhtiar, Ketua Kelompok Selat Mangrove, terlibat penanaman bersama 40 anggota seluas mencapai 50 hektar.
Situasi di Kuala Selat, baru satu dari puluhan desa di Indragiri Hilir yang juga mengalami nasib serupa. Dampak kerusakan perkebunan kelapa menyebabkan ratusan bahkan ribuan orang kehilangan mata pencarian.
Menurut catatan Zainal Arifin Hussein, Akademisi Universitas Islam Indragiri (Unisi), terdapat 75.000 hektar kebun kelapa rusak dari 31 desa di Indragiri Hilir. Secara matematis, kalau satu hektar kebun kelapa investasi Rp30 juta, maka Rp2,2 triliun lebih nilai aset masyarakat petani hilang karena dampak perubahan iklim.
“Itu baru hitungan dari sisi kebun kelapa.”
Di Kuala Selat, ada 133 keluarga dengan 446 jiwa yang kehilangan mata pencarian. Kalau 31 desa dengan luasan kebun 75.000 hektar ada satu buruh per hektar, berarti ada 75 buruh terdampak miskin.
“Mangrove penting sebagai mitigasi dampak perubahan iklim. Potensi mangrove untuk menyelamatkan kebun kelapa masyarakat sangat besar,” kata Zainal, juga Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Unisi.
Pernyataan Zainal senada dengan harapan dan keinginan masyarakat Kuala Selat. Imam Taufik, yakin mangrove mampu mengurangi laju abarasi bahkan menghentikannya. Kalau tidak, Kuala Selat bisa tinggal nama.

Program pesisir BRGM
Hartono mengatakan, M4CR merupakan program penanaman mangrove paket komplit. Mulai dari perencanaan, pra kondisi, penataan air, tanam menanam, pemeliharaan hingga penguatan kapasitas masyarakat pengelola.
Secara rinci ada tujuh alur rehabilitasi mangrove pada program M4CR. Yakni, identifikasi lokasi, koordinasi dan sosialisasi, pelatihan penyusunan rancangan, dan groundcheck. Juga, persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (padiatapa), dan penyusunan rancangan kegiatan sampai pada kegiatan rehabilitasi.
“Ini didesain tidak boleh gagal. Pastikan kegiatan yang sudah ditandai dari awal akan dilaksanakan dengan baik,” kata Hartono di Pekanbaru, awal Juni lalu.
Model rehabilitasi mangrove dengan program M4CR berbeda dengan PEN 2021. PEN merupakan kebijakan pemerintah mengatasi gejolak pendapatan masyarakat selama pandemi COVID-19 berbasis pemulihan lingkungan, penanaman mangrove salah satunya.
BRGM telah indentifikasi lokasi pemulihan mangrove di Riau luas sekitar 7.500 hektar, tersebar di beberapa titik. Satu wilayah saja terdapat puluhan titik. Setidaknya, ada 494 poligon dari indikasi luasan yang dipetakan. Tiap poligon akan melibatkan satu kelompok masyarakat.
BRGM juga tidak menutup partisipasi kelompok lain terlibat penanaman, termasuk pemerintah daerah maupun perusahaan yang biasa dengan program tanggungjawab sosial dan lingkungan. Mereka akan koordinasi menentukan lokasi dan mencatat itu sebagai kontribusi pihak terkait.
Ayu Dewi Utari, Sekretaris BRGM, mengatakan, target lokasi rehab mangrove masih tentatif alias bisa bergerak dan berubah karena masih berupa data dari atas meja yang perlu pengecekan lapangan. Kondisi mangrove kritis di Riau, katanya, tentu lebih luas dari target rehab.
Gatot Soebiantoro, Deputi Pemberdayaan Masyarakat BRGM, menguatkan keterangan ini. Hutan mangrove di Riau cukup luas, katanya, sekitar 230.000 hektar.
Mayoritas kawasan mangrove di Riau rusak karena penebangan untuk kebutuhan domestik dan industri kayu arang. Selanjutnya, beralih fungsi menjadi pemukiman, perkebunan dan tambak.
“Setelah tidak produktif lagi, kawasan justru ditinggalkan begitu saja.”

*****
Kala Desa Kuala Selat Terancam Hilang, Bagaimana Upaya Penyelamatan?