- Jaringan masyarakat sipil Break Free From Plastic melakukan brand audit sampah kemasan di berbagai wilayah di Indonesia dan hasilnya Unilever sebagai salah satu pencemar teratas
- Aktivis lingkungan lakukan aksi damai dengan memgembalikan sampah kemasan saset Unilever di depan Grha Unilever, Tangerang, Banten sebagai bentuk tuntutan mereka kepada perusahaan itu mengelola sampah kemasan sasetnya
- Mereka meragukan komitmen pengurangan plastik Unilever karena perusahaan itu membatalkan komitmen pengurangan penggunaan plastik murni menjadi 30 persen di tahun 2026 dan berencana memproduksi dan menjual 53 miliar saset, atau setara dengan 1.700 saset per detik.
- Pihak Unilever mengatakan selalu mematuhi target dan aturan pemerintah terkait pengelolaan sampah. Mereka telah mengumpulkan dan memproses 56.159 ton sampah plastik pada 2023. Jumlah sampah plastik itu diklaim lebih banyak dibandingkan yang dijual
Sebagai salah satu perusahaan barang kemasan konsumen atau Fast Moving Consumer Goods (FMCG), Unilever diminta bertanggung jawab atas sampah kemasan saset yang dihasilkannya. Sebab sampah kemasan yang digunakan sebagai pembungkus produk-produk dari jenis perusahaan publik ini dampaknya telah mencemari lingkungan.
Hal itu diungkapkan jaringan masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan Break Free From Plastic dari kegiatan brand audit sampah kemasan yang mereka lakukan diberbagai wilayah di Indonesia. Hasil brand audit itu, Unilever dituding sebagai salah satu pencemar teratas dengan jumlah total 1.851 kemasan plastik sekali pakai.
Untuk meminta pertanggungjawaban atas sampah kemasan yang dihasilkan itu, Greenpeace Indonesia salah satu organisasi yang tergabung dalam jaringan itu melakukan aksi damai dengan mengembalikan sampah Unilever di depan Grha Unilever, Kawasan BSD, Tangerang, Banten.
Sampah kemasan saset dari berbagai merek yang dikembalikan, selain ditampung di dalam karung transparan juga ditempel di instalasi logo berbentuk huruf U yang dibuat dari papan berukuran jumbo.
“Kami meminta pertanggungjawaban produsen untuk mengambil dan mengolah kembali sampah plastik yang telah mereka hasilkan,” kata Ibar Akbar, Plastic Project Lead Greenpeace Indonesia, disela-sela aksi, Kamis (20/06/2024).
Aksi itu dilakukan karena tahun ini Unilever berencana memproduksi dan menjual 53 miliar saset atau setara dengan 1.700 saset per detik. Selain itu juga bagian dari respon Break Free From Plastic atas pembatalan komitmen pengurangan penggunaan plastik murni dari sebesar 50 persen pada tahun 2025 menjadi sebesar 30 persen di tahun 2026.
Baca : Inilah Lima Produsen Pencemar Sampah Saset Terbanyak di Indonesia

Menarik Kembali
Greenpeace yang hadir di Indonesia sejak tahun 2005 ini menilai, pembatalan komitmen yang dilakukan Unilever itu tidak sejalan dengan klaim Unilever yang menginginkan dunia bebas limbah. Atas beban berat yang dihadapi lingkungan darat maupun perairan akibat pencemaran sampah plastik ini, seharusnya dijadikan pelajaran penting.
Karena dampaknya selain berkontribusi terhadap pemanasan global juga berbahaya bagi kesehatan manusia.
Menyadari betapa bahayanya sampah kemasan saset itu, Muharram Atha Rasyadi, Urban Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia meminta produsen agar menarik kembali kemasan produk yang dihasilkan, serta dapat mengelolanya kembali.
Mereka menuntut perusahaan itu benar-benar berkomitmen mengurangi penggunaan plastik murni, dan juga mampu mengelola kembali sampah-sampah kemasan yang sudah dibuat. Karena, menurutnya, masa depan bebas sampah plastik ini tidak akan bisa selesai jikalau produsen tidak terlibat aktif untuk mengatasinya.
Hal itu sesuai dengan pasal 15 Undang-Undang No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mewajibkan produsen mengelola kemasan dan/atau barang yang sulit terurai di alam.
Sebagai peraturan turunannya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengeluarkan regulasi PermenLHK No.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Dalam mandat yang ditandatangani Siti Nurbaya selaku Menteri KLHK yang juga politikus Nasdem itu meminta produsen bertanggung jawab dan mengurangi sampah sebesar 30 persen hingga tahun 2030.
“Mestinya Unilever bisa menjadi contoh bila punya komitmen dan program pengurangan sampah plastik ini secara serius,” ujar Atha, dalam aksi yang dilangsungkan bersamaan dengan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) perusahaan itu.
Baca juga : Mendesak Produsen Bertanggung Jawab Atas Sampah Mereka

Sebagai perusahaan yang mempunyai total aset hingga Rp20,649 triliun pada 2019, Unilever seharusnya patuh terhadap aturan-aturan yang ada. Sehingga Unilever jangan hanya mengambil keuntungan dari masyarakat, namun juga turut mengatasi persoalan pencemaran sampah kemasan saset yang tercecer dan tidak mudah larut di alam.
“Jangan hanya gimmick saja. Sampai sekarang data peta jalan pengurangan oleh Unilever pun tidak dibuka, nggak transparan,” imbuh Atha.
Perlu Kolaborasi
Menanggapi desakan jaringan Break Free From Plastic itu, Maya Tamimi, Head of Division Enviroment & Sustainability Unilever Indonesia Foundation mengungkapkan, pihaknya akan selalu patuh dengan target-target yang disampaikan pemerintah.
Maya bilang, untuk peta jalan target pengurangan sampah plastik murni maupun multilayer dari produk yang dihasilkan perusahaan sebenarnya sudah ada, hanya dia tidak bisa menjelaskan secara detail berapa angka pengurangannya.
“Boleh kita susulkan melalui email, soalnya ada di ruangan (kantor),” ujarnya, saat menghadapi tuntutan aksi.
Walaupun begitu, Unilever mengklaim telah mengumpulkan dan memproses lebih banyak plastik daripada yang dijual. Di tahun 2023 lalu, mereka mengklaim telah mengumpulkan dan memproses 56.159 ton sampah plastik.
Selain itu, perusahaan yang pabriknya sempat diambil alih oleh serikat buruh ini juga telah memperluas jaringan gerai isi ulang menjadi sekitar 800 gerai. Gerai ini menyediakan produk dari merek-merek Unilever seperti rinso, sunlight, dan wipol.
Upaya lain, pihaknya juga memberikan penghargaan kepada masyarakat lewat jaringan 4.000 bank sampah yang sudah membantu mengumpulkan, menyortir, dan mengembalikan kemasan bekas pakai.
“Jadi, kita punya niatan yang jelas dan fokus untuk mengatasi plastik jangan sampai mempolusikan lingkungan,” bebernya.
Maya juga berharap bahwa untuk mengatasi persoalan tersebut diperlukan kolaborasi dan advokasi lintas pihak.
Perlu dibaca : Break Free From Plastic: Paksa Perusahaan Ubah Produksi Sampah

Sedangkan Direktur Unilever Indonesia Ainul Yaqin mengatakan perseroan mendorong penggunaan kemasan daur ulang di setiap produknya.
“Kami telah mencoba untuk meningkatkan investasi kami dalam mencari berbagai solusi untuk mengurangi sampah. Kami juga telah mencoba mengurangi penggunaan sampah plastik yang telah diproses ulang,” ujarnya dalam konferensi pers di Graha Unilever Tangerang, Jumat (21/6/2024) seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Ainul Yaqin menjabarkan bahwa dalam komitmennya tersebut, perseroan telah mendirikan pusat penelitian dan pengembangan pengemasan yang berfokus pada pengembangan teknologi pengemasan masa depan. Tim ini terdiri dari 50 ilmuwan material dan insinyur pengemasan profesional yang menggunakan solusi dan teknologi terbaru untuk membuka cara dan peluang baru dalam mengemas produk
Pada kesempatan terpisah, Vinda Damayanti Ansjar, Direktur Pengurangan Sampah KLHK menegaskan untuk menekan volume sampah produsen wajib mengurangi sampah plastik dari produk, kemasan dan wadah. Menurutnya, salah satu upaya yang bisa dilakukan yaitu dengan meredesain produk, kemasan produk serta wadahnya. Ikhtiar lain adalah penerapan extended producer responsibility (EPR).
Dia bilang, lewat skema ini produsen diwajibkan mengambil kembali plastik yang sudah tidak digunakan, kemudian didaur ulang untuk menjadi produk yang sama maupun produk lain.
“Sehingga sistem ekonomi sirkular dapat berjalan. Untuk penerapan ekonomi sirkular, produsen dapat bekerjasama dengan bank sampah, TPS3R dan industri daur ulang,” katanya dilansir dari Antaranews.com. (***)