- Sudah sering dipublikasikan bahwa saat ini produksi subsektor perikanan tangkap semakin menurun. Masyarakat dunia diminta bersiap jika kebutuhan protein hewani yang berasal dari laut pelan-pelan berkurang
- Penurunan produksi tersebut, akan semakin bertambah rumit karena pertambahan jumlah penduduk dunia justru makin bertambah. Bahkan, pada 2050 diperkirakan jumlah penduduk dunia bisa mencapai 9,7 miliar orang
- Kebutuhan terhadap protein hewani dari sumber daya ikan (SDI) yang terus meningkat, harus dicarikan solusi dari sekarang. Pilihannya, adalah memaksimalkan segala potensi yang ada pada subsektor perikanan budi daya di seluruh dunia
- Indonesia sebagai bagian dari pasar dunia, ingin memaksimalkan peluang tersebut karena diuntungkan dengan geografis alam. Selain rumput lain, ada lima komoditas unggulan yang dikembangkan dengan menggunakan sentuhan teknologi terkini
Dunia sedang bekerja keras untuk memastikan kebutuhan protein manusia tetap terpenuhi dari sektor kelautan dan perikanan. Upaya itu dilakukan, karena kemampuan laut untuk menyediakan sumber daya ikan (SDI) terus menurun seiring berjalannya waktu.
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) bahkan sudah mempublikasikan bahwa kebutuhan protein dari perikanan tidak akan bisa dipenuhi lagi dari subsektor perikanan tangkap. Selama ini, subsektor itu terbiasa menjadi penyuplai utama kebutuhan ikan dunia.
Pada 2050, FAO memprediksi kalau penduduk dunia meningkat 30 persen dari sekarang dengan 8,1 miliar orang menjadi sekitar 9,7 miliar orang. Pertambahan itu akan diikuti dengan peningkatan kebutuhan protein hewani yang berasal dari ikan.
Sayangnya, FAO menyebut kalau kebutuhan ikan akan semakin sulit dipenuhi dari perikanan tangkap. Sebagai substitusinya, subsektor perikanan budi daya akan naik menjadi penyuplai utama kebutuhan ikan di seluruh dunia.
Deputi Bidang Koordinasi Maritim Sumber daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Mochammad Firman Hidayat menukil semua data FAO tersebut sebagai pengingat bahwa perikanan tangkap terus mengalami penurunan produksi dan harus dicarikan solusi.
Sebelum mencapai 2050 yang menyisakan 26 tahun lagi, dia mengingatkan bahwa pada 2030 nanti atau enam tahun dari sekarang, lebih dari setengah kebutuhan ikan dunia sudah dipasok dari perikanan budi daya. Itu berarti, perikanan tangkap sudah menurun jauh produksinya.
Pada 2028, nilai produksi perikanan tangkap diperkirakan hanya sanggup mencapai angka USD80 triliun di seluruh dunia. Sementara, nilai produksi perikanan budi daya pada tahun yang sama meroket hingga mencapai USD175 triliun di seluruh dunia.
Namun demikian, data tersebut tidak mengubah fakta bahwa laut adalah masa depan dunia untuk memenuhi kebutuhan makanan. Terutama, protein hewani yang bisa disediakan oleh semua jenis ikan yang tersedia di laut.
Baca : Memaksimalkan Perikanan Tangkap, Mengoptimalkan Perikanan Budi daya, Penuhi Protein Dunia

Perikanan Tangkap Menurun
Sayangnya, penurunan produksi perikanan tangkap mengindikasikan bahwa terjadi hal yang tidak diinginkan oleh manusia. Terutama, karena kerusakan ekosistem atau penurunan daya dukung ekosistem yang membuat produksi menurun tajam.
Dia kembali menukil hasil penilaian FAO yang menyebutkan bahwa jumlah persentase stok ikan yang ditangkap pada tingkat yang tidak berkelanjutan secara biologis telah meningkat sejak akhir 1970-an. Pada 1974 hanya 10 persen dan meningkat menjadi 35,4 persen pada 2019.
Penurunan produksi perikanan tangkap, berdampak pada banyak hal. Termasuk, ada 600 juta orang yang bekerja pada produksi ikan dan seafood dari laut, sebanyak 3,3 miliar orang sudah percaya bahwa seafood adalah sumber protein mereka.
“Paling besar, setiap tahun dunia kehilangan untung sebesar USD8,9 miliar karena praktik overfishing,” jelasnya belum lama ini di Jakarta.
Penyebab utama turunnya produksi perikanan tangkap, adalah karena fenomena perubahan iklim yang sudah menyebar ke seluruh dunia. Laut sebagai bagian di dalamnya, harus bisa merasakan dampak negatif hingg sampai ke perubahan ekosistem yang menjadi tempat produksi SDI.
Melihat semua fakta tersebut, Firman tidak meragukan jika peluang perikanan budi daya untuk berkembang lebih besar lagi sangat terbuka lebar. Sebabnya, karena subsektor tersebut sampai saat ini masih belum dikembangkan maksimal di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Baca juga : Membesarkan Potensi Perikanan Budi daya Tanah Air

Rumput Laut Unggulan
Di luar rumput laut yang sudah menjadi komoditas andalan di Indonesia, perikanan budi daya bisa menghasilkan nilai produksi setiap tahun senilai USD12 miliar. Pada 2023, produksi perikanan budi daya mampu menghasilkan 16,97 juta ton, atau kedua terbesar di dunia setelah Cina.
Namun, dia mengakui kalau potensi utama dan paling besar pada perikanan budi daya Indonesia tetap dipimpin oleh komoditas rumput laut. Setiap tahun, komoditas tersebut sanggup memproduksi rerata 9 juta ton dan akan terus berkembang dengan potensi produksi di sepanjang garis pantai yang membentang 7,9 juta kilometer persegi.
“Indonesia secara aktif berupaya memajukan hilirisasi rumput laut menjadi bioplastik, biostimulan, dan biofuel melalui budi daya laut skala besar dengan teknologi mekanisasi,” jelasnya.
Peluang untuk melipatgandakan produksi rumput laut terbuka lebar, karena ada 12 juta hektare dari laut Indonesia yang dialokasikan untuk dijadikan kebun rumput laut. Memanfaatkan 0,8 persen saja dari luas tersebut, maka terdapat 102 ribu ha kebun rumput laut.
Kemudian, Indonesia juga diuntungkan dengan limpahan sinar matahari sepanjang tahun yang berarti bahwa panen bisa dilakukan sepanjang tahun juga. Juga, Indonesia memiliki laut yang relatif tenang, tanpa ada serangan angin topan ataupun tornado.
“Agar bisa dipanen, rumput laut hanya memerlukan waktu 45 hari,” tambahnya.
Baca juga : Kisah Rumput Laut dan Hilirisasi

Modeling Perikanan Budi daya
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pernah mengatakan bahwa pihaknya fokus untuk meningkatkan kualitas produksi, karena pada 2024 ada target sebanyak 24,85 juta ton produksi perikanan budi daya yang harus diwujudkan.
Selain rumput laut, target itu akan berusaha diwujudkan melalui budi daya ikan, khususnya lima komoditas unggulan ekspor, yaitu udang, lobster, kepiting, nila salin, dan rumput laut. Peningkatan produksi ini dilakukan melalui strategi pembangunan modeling budi daya berbasis kawasan di sejumlah daerah.
Penggunaan modeling sudah lebih diadopsi oleh negara-negara yang sudah maju saat mengembangkan perikanan budi daya, sehingga sudah bisa melaksanakan budi daya terbarukan, atau teknologi third water. Teknologi seperti itu merupakan hasil sinergi antara industri dengan riset.
Pembangunan modeling dijanjikan akan mengedepankan prinsip keberlanjutan lingkungan, dan penyerapan tenaga kerja lokal. Selain udang, adopsi modeling dilakukan pada komoditas ikan nila salin, dan lobster.
Praktek adopsi modeling akan menerapkan prinsip eco-efficiency dan mengedepankan pelestarian sumber daya alam, pengendalian dampak kerusakan lingkungan hidup, dan melibatkan masyarakat setempat sebagai aktor utama pertumbuhan ekonomi.
Baca juga : Perikanan Budi daya, antara Ekologi dan Ekonomi

Penerapan Ekonomi Biru
Direktur Jenderal Perikanan Budi daya sekaligus Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Tb Haeru Rahayu pada kesempatan yang sama menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang menjalankan ekonomi biru pada perikanan budi daya dan juga tangkap.
Khusus budi daya, KKP saat ini sedang mengembangkan budi daya laut, pesisir, dan darat secara bersamaan. Prakteknya dilakukan dengan mengembangkan perikanan budi daya berorientasi ekspor dan pembangunan kampung perikanan budi daya berbasis kearifan lokal dengan tujuan untuk mengentaskan kemiskinan, sekaligus menjaga komoditas dari kepunahan.
Adapun, komoditas yang dikembangkan untuk fokus ekspor adalah lima komoditas unggulan, di antaranya udang, rumput laut, nila, kepiting, dan lobster. Pengembangan dilakukan, melalui modelling budi daya berbasis kawasan dan revitalisasi budi daya.
Penerapan ekonomi biru pada perikanan budi daya, dilakukan juga melalui keragaman sertifikasi budi daya yang mencakup Cara Budi daya Ikan yang Baik (CBIB), Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB), Cara Pembuatan Pakan Ikan yang Baik (CPPIB), Cara Pembuatan Obat Ikan yang Baik (CPOIB), dan Cara Distribusi Obat Ikan yang Baik (CDOIB).
“Pengelolaan Benih Bening Lobster atau BBL juga menjadi bagian dari program kerja ekonomi biru pada perikanan budi daya, selain belajar budi daya dari Vietnam dan Jepang,” katanya.
Perlu dibaca : Ekonomi Biru di Indonesia: antara Konservasi Laut dan Ekonomi Maritim

Tantangan Perikanan Budi daya
Akan tetapi, walau potensi perikanan budi daya sangatlah besar untuk dikembangkan di Indonesia, masih ada kekurangan yang harus bisa dicarikan solusi oleh Pemerintah Indonesia bersama para pihak terkait pada subsektor tersebut.
Penasehat Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (HIPILINDO) Effendy Wong menyebutkan, di antara kekurangan itu adalah karena letak geografis Indonesia jauh dari negara konsumen yang menjadi tujuan. Akibatnya, biaya pascapanen menjadi tinggi.
Kedua, perlunya dilakukan peningkatan terhadap kesanggupan pasar lokal dalam menerima hasil panen dari ikan laut yang berasal dari budi daya. Ketiga, regulasi yang dibuat dan berlaku di Indonesia selama ini sering berubah-ubah.
Kemudian, penetapan regulasi rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi ada yang tidak sesuai dan justru kawasan tersebut ditetapkan menjadi sentral budi daya.
Padahal, dia menyebut bahwa Indonesia memiliki kelebihan karena ada banyak teluk dan selat perairan laut yang bisa potensial menjadi lokasi perikanan budi daya. Hal itu, mendorong pemerintah untuk membuat metode budi daya yang tepat menyesuaikan dengan lokasi.
“Namun riset pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi sudah pindah ke BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Ini menjadi kekurangan juga,” terangnya.
Kekurangan yang disebutkan di atas, menjadi tantangan yang harus dihadapi Indonesia saat mengembangkan perikanan budi daya. Selain, ada juga tantangan lain yang juga tak boleh dilupakan untuk dicarikan solusi tepat.
Termasuk, hama penyakit, sentral budi daya yang jauh dari sentral pakan dan sentral panen. Peran Pemerintah untuk bisa mempermudah persyaratan regulasi perizinan usaha budi daya. Semua pihak terkait harus bergandengan tangan agar bisa ditemukan jalan keluar yang tepat.

Akuakultur di Pesisir
Beberapa waktu lalu, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia pernah menyebutkan kalau Indonesia memiliki tantangan dalam mengembangan subsektor perikanan budi daya. Salah satunya, bagaimana mempertahankan wilayah pesisir sebagai sentra produksi dan sekaligus pusat konservasi.
Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, tantangan paling besar pada perikanan budi daya adalah bagaimana mengembangkan teknik akuakultur dengan menggunakan pendekatan ekosistem.
Teknik tersebut sangat dibutuhkan, karena kegiatan akuakultur memicu terjadinya pencemaran dan juga konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak di kawasan pesisir. Sejauh ini, kegiatan akuakultur menjadi salah satu penyumbang angka tertinggi dari produksi perikanan budi daya.
“Hal tersebut tak jarang menimbulkan konflik dan aksi protes dari masyarakat pesisir,” ungkapnya.
Dia menilai, kebutuhan akan produksi perikanan budi daya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan sudah disadari oleh pemerintah. Hal itu ditunjukkan dengan penetapan kegiatan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sebagai fokus utama, seperti yang sudah berjalan di banyak negara.
Komitmen itu kemudian dipertegas melalui pengembangan budi daya dengan pendekatan ekosistem. KKP sudah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budi daya (Perdirjen PB) Nomor 154 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Akuakultur dengan Pendekatan Ekosistem (ADPE).
Abdi mengatakan, aturan tersebut memuat panduan teknis tentang bagaimana mengelola kegiatan perikanan budi daya, termasuk di dalamnya praktik akuakultur. Regulasi itu juga menekankan pentingnya menjalankan akuakultur dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sumber daya perikanan.
Menurutnya, salah satu aspek utama dari ADPE adalah pendekatan berkelanjutan. Dokumen tersebut memberikan panduan mengenai penggunaan lahan yang bijaksana, manajemen air yang efisien, serta penggunaan pakan yang ramah lingkungan.
“Perlunya harmoni antara kegiatan manusia dan lingkungan tidak dapat diabaikan. Dalam upaya menciptakan keselarasan ini, kehadiran ADPE memberikan manfaat yang substansial,” pungkasnya. (***)