- Kondisi hutan Indonesia makin tak baik-baik saja, terus tergerus dari tahun ke tahun, jadi berbagai macam bisnis ekstraktif yang menggerus ekosistem dan fungsi sebagai penyangga lingkungan.
- Data Auriga Nusantara yang rilis akhir Maret 2024 menunjukkan, deforestasi Indonesia pada 2023 mencapai 257.384 hektar, naik dari 230.760 hektar tahun sebelumnya, 2022. Kondisi ini menunjukkan deforestasi Indonesia pada 2023 naik sekitar 26.624 hektar.
- Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, perlu ada terobosan hukum Pemerintah Indonesia untuk melindungi hutan alam tersisa. Ada 30 juta hektar dari 90 juta hektar hutan alam Indonesia tersisa belum ada perlindungan hukum, termasuk hutan alam di dalam konsesi.
- Kerusakan hutan Indonesia juga ada peran lembaga keuangan. Menurut laporan Banking on Biodiversity Chaos 2023 yang dibuat Forests & Finance bersama TuK Indonesia menemukan, bank-bank besar di Indonesia mendanai empat komoditas yang berisiko terhadap hutan, mendorong deforestasi besar-besaran di hutan tropis Indonesia.
Kondisi hutan Indonesia makin tak baik-baik saja, terus tergerus dari tahun ke tahun, jadi berbagai macam bisnis ekstraktif yang menggerus ekosistem dan fungsi sebagai penyangga lingkungan.
Data Auriga Nusantara yang rilis akhir Maret 2024 menunjukkan, deforestasi Indonesia pada 2023 mencapai 257.384 hektar, naik dari 230.760 hektar tahun sebelumnya, 2022. Kondisi ini menunjukkan deforestasi Indonesia pada 2023 naik sekitar 26.624 hektar.
Pulau terluas yang mengalami deforestasi adalah Kalimantan dengan 124.611 hektar, dan Kalimantan Barat adalah provinsi dengan deforestasi terbesar di Indonesia seluas 35.162 hektar. Ironisnya, hampir semua deforestasi di Indonesia terjadi di kawasan hutan negara.
Tak hanya itu, 12.612 hektar dari temuan deforestasi 2023 itu berada di dalam 142 kawasan konservasi yang mayoritas berada di Papua. Suaka Margasatwa (SM) Pegunungan Jayawijaya menduduki peringkat pertama kawasan konservasi yang mengalami deforestasi terbesar mencapai 1.591 hektar.
Deforestasi di dalam konsesi mencapai 121.728 hektar, dan dalam konsesi kebun kayu menduduki peringkat pertama yang merusak hutan alam di Indonesia.
Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, PT Mayawana Persada (Mayawana) di Kayong Utara, Kalimantan Barat menjadi perusahaan kayu yang menyumbang deforestasi terbesar di Indonesia pada tahun 2023 yang mencapai 15.052 hektar.
Timer contohkan satu perusahaan kayu, PT Mayawana Persada, di Kalimantan Barat, sejak 2021–2023, melalap hutan alam lebih 33.000 hektar, atau hampir setengah ukuran Singapura. Ini menyumbang lebih dari seperempat dari deforestasi di ratusan konsesi perkebunan kayu pulp dan sawit di seluruh nusantara.
Padahal, menurut peta habitat terbitan International Union for the Conservation of Nature (IUCN), sekitar 49.208 hektar hutan dalam konsesi Mayawana merupakan habitat yang sesuai untuk orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Lebih setengah hutan alam di konsesi Mayawana pun berada di lahan gambut.
“Kami memiliki report investigasi khusus untuk PT Mayawana Persada ini yang sudah merusak hutan alam dan gabut di Kalimantan Barat,” katanya dalam acara rilis data deforestasi Indonesia 2023.
Adapun deforestasi di konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) atau konsesi logging mencapai 36.032 hektar. Timer bilang, PT Inocin Abadi di Papua Selatan, katanya, menjadi perusahaan teratas yang menyumbang angka deforestasi sebesar 1.698 hektar di dalam konsesi HPH.
Selain itu, deforestasi dalam konsesi sawit pada 2023 mencapai 24.634 hektar. PT Inti Kebun Sawit di berada di Papua menjadi perusahaan perkebunan kelapa sawit teratas yang menyumbang deforestasi sebesar 1.745 hektar di dalam konsesi sawit.
Untuk deforestasi dalam konsesi tambang mencapai 33.812 hektar pada 2023. PT Berau Coal, katanya, memiliki konsesi pertambangan batubara di Kalimantan Timur berada di peringkat pertama penyumbang deforestasi Indonesia dalam konsesi tambang sebesar 1.346 hektar.

Penguatan perlindungan hutan
Menurut Timer, perlu ada terobosan hukum Pemerintah Indonesia untuk melindungi hutan alam tersisa. Ada 30 juta hektar dari 90 juta hektar hutan alam Indonesia tersisa belum ada perlindungan hukum, termasuk hutan alam di dalam konsesi.
“Pemerintah perlu melakukan terobosan untuk melindungi hutan alam Indonesia tersisa. Misal, ada peraturan presiden untuk melindungi semua hutan alam tersisa itu,” katanya.
Sebenarnya, pemerintah menargetkan hutan Indonesia tidak lagi berkontribusi terhadap pelepasan emisi gas rumah kaca. Kontribusi sektor hutan pada akhir dekade mendatang direncanakan harus bisa lebih banyak menyerap karbon, dibandingkan melepaskan agar bisa berperan aktif meredam krisis iklim.
Rencana aksi mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan itu disebut Indonesia’s Forestry and Other Land Uses (FoLu) Net Sink 2030. Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 diamanatkan di dalam Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
Kebijakan itu untuk mendorong pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional. Tingkat emisi gas rumah kaca yang hendak dicapai adalah negatif 140 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) pada 2030.
Namun, dalam riset Greenpeace Indonesia berjudul “Main Api dengan Deforestasi” menemukan, bagaimana FoLU Net Sink 2030 dan dokumen terkait iklim Indonesia lainnya akan menjadi bumerang bagi kelangsungan hutan di tanah air.
Riset itu pun menyebutkan, strategi FoLU Net Sink 2030 untuk penyerapan emisi dari sektor hutan justru melanggengkan deforestasi. Ia berubah menjadi penyumbang emisi, memperparah kerusakan hutan yang bernilai konservasi tinggi, keanekaragaman hayati, dan kelangsungan masyarakat adat dan lokal.
Iqbal Damanik, Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, strategi FoLU Net Sink 2030 dari sektor hutan itu bertolak belakang dengan komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dan pembangunan berkelanjutan. Terlebih lagi, FoLU Net Sink tidak menargetkan deforestasi Indonesia turun ke titik nol.
Sebaliknya, kata Iqbal, pemerintah masih mengizinkan deforestasi atas nama “pembangunan besar-besaran dengan skema deforestasi terencana dan deforestasi tidak terencana. Melalui skema deforestasi terencana, pemerintah mengizinkan pembabatan hutan untuk berbagai kegiatan, seperti perkebunan sawit dan perizinan berusaha pemanfaatan hutan-hutan tanaman (PBPH-HT) atau kebun kayu.
“Ada juga sektor pertambangan, ataupun kepentingan lain, seperti proyek strategis nasional,” kata Iqbal Damanik kepada Mongabay .
Melalui skema deforestasi tidak terencana, pemerintah masih memperkirakan ada kebakaran hutan alam ataupun perambahan hutan ilegal. Namun, katanya, masalah bermula di tahap perencanaan, dimana pemerintah justru mengakui “jatah” deforestasi Indonesia sudah minus sejak awal.
Data perkiraan pemerintah dalam rencana operasional FoLU Net Sink, akan ada potensi deforestasi terencana maupun tidak terencana selama 2013-2030 sebesar 4,22 juta hektar. Padahal, deforestasi pada 2013-2019 yang tercatat dalam dokumen sama sudah mencapai 4,80 juta hektar atau lebih luas dari Negara Belanda.
Artinya, kata Iqbal, klaim kunci dalam kebijakan FoLU Net Sink bahwa pelepasan karbon dari deforestasi hutan alam dapat diganti (offset) dengan penyerapan karbon dari pembangunan hutan tanaman merupakan hal yang menyesatkan.
Menurut laporan dari tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data akhir 2023 menunjukkan, Indonesia jadi salah satu negara 10 besar penghasil karbon dunia. Bahkan, di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia.
Pemerintah, katanya, seharusnya tak membolehkan deforestasi lagi bahkan sejak 2020, karena kuota deforestasi sejak 2019 yaitu 4,226 juta hektar sudah dilampaui 577.000 hektar.
Pahitnya, kata Iqbal, pemerintah justru nekat mematok target deforestasi hampir setengah lebih besar dari target NDC yang sudah besar yaitu 7,27 juta hektar menjadi 10,47 juta hektar selama 2021-2030. Angka yang nyaris setara dengan seperempat luas Pulau Sumatera.
“Deforestasi yang ditargetkan itu terbagi dalam deforestasi terencana seluas 5,32 juta hektar (sekitar 0,53 juta hektar per tahun) dan deforestasi tidak terencana seluas 5,15 juta ha (0,52 juta hektar per tahun).”
Dalam perhitungan Greenpeace Indonesia, target deforestasi itu berisiko menghasilkan emisi karbon dengan total potensi 10,1 Gigaton CO2. Proyeksi deforestasi 2021-2023 ini 7,5 kali lebih banyak dari emisi karbon Indonesia dari seluruh sektor pada 2010 sebesar 1,34 Gigaton CO2.
“Risiko itu belum termasuk emisi lainnya yang dapat terlepas dari atmosfer akibat kebakaran hutan dan gambut,” kata Iqbal.
Angka deforestasi itu, katanya, sangat berisiko melampaui target pemerintah dalam FoLU Net Sink. Pasalnya, banyak hutan alam berada di konsesi tidak dilindungi payung hukum kuat. Terlebih lagi, hutan alam ini banyak terdapat di hutan produksi, kawasan yang dapat diambil hasilnya, baik kayu maupun non kayu.

Keterlibatan lembaga keuangan
Kerusakan hutan Indonesia juga ada peran lembaga keuangan. Menurut laporan Banking on Biodiversity Chaos 2023 yang dibuat Forests & Finance bersama TuK Indonesia menemukan, bank-bank besar di Indonesia mendanai empat komoditas yang berisiko terhadap hutan, mendorong deforestasi besar-besaran di hutan tropis Indonesia.
Laporan ini mengungkapkan, sejak Perjanjian Paris, bank-bank di Indonesia seperti Bank Mandiri, BRI, BCA dan BNI menjadi bank terbesar di Asia Tenggara yang meresikokan hutan di Indonesia.
Ambil contoh, aliran kredit periode 2016-Sept 2023, pinjaman dan penjaminan yang merisikokan hutan ada US$76 miliar atau setara Rp1.083 triliun. Dominasi penyaluran atau 52% ke sawit dengan US$39 miliar atau setara Rp557 triliun. Sedangkan, 37% ke pulp & paper US$28 miliar atau Rp142 triliun.
Dalam periode sama, bank-bank internasional menyediakan 60% dari total kredit, atau US$45,7 miliar (Rp650 triliun), dengan kreditor terbesar dari China, Jepang, Singapura, dan Malaysia.
Sementara itu, bank-bank Indonesia menyediakan 40% dari total kredit, atau U$ 30,5 miliar (Rp433 triliun). Dari jumlah kredit itu, Mandiri, memberikan layanan pinjaman dan penjaminan terbanyak, total US$6,5 miliar (Rp92 triliun), disusul BRI US$5,8 miliar (Rp82 triliun).
Sedangkan Bank Central Asia (BCA) memberikan kredit ketiga yang paling berisiko terhadap hutan US$5,0 miliar (Rp71 triliun).
Adapun pinjaman dan penjaminan terbesar kredit diberikan kepada Sinar Mas Group (SMG) sebesar 38% atau sekitar US$29 miliar (Rp412 triliun). Grup Royal Golden Eagle (RGE) debitur kedua yang menerima 8% atau US$5,8 miliar (Rp82 triliun). Pembiayaan kepada kedua grup ini ditujukan pada komoditas pulp & paper, dan minyak sawit.
Sementara para investor menyediakan obligasi dan menjadi pemegang saham untuk sektor berisiko tinggi terhadap hutan ini senilai US$11 miliar (Rp169 triliun) pada September 2023. Investor terbesar dari Amerika Serikat sebesar US$4,4 miliar (Rp67,5 triliun) dan Malaysia US$3 miliar (Rp46,4 triliun).
Sime Darby dari Malaysia menerima investasi terbesar US$1,9 miliar (Rp29 triliun), dan taipan Hong Kong Jardine Matheson, banyak terlibat dengan PT Astra Agro Lestari Tbk, menjadi penerima investasi kedua US$1,1 miliar (Rp17 triliun).
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia mengatakan, laporan Banking on Biodiversity Chaos 2023 menjadi bukti bahwa kebijakan terkait lingkungan, sosial dan tata kelola bank-bank besar di Indonesia masih tertinggal. Ia masih gagal mencegah kehilangan hutan dan keanekaragaman hayati di Indonesia.
Seharusnya, kata Linda, bank-bank ini ikut menjalankan komitmen nol deforestasi, nol pembangunan di lahan gambut, dan nol eksploitasi (NDPE) pada tingkat grup perusahaan yang berisiko terhadap hutan. JUga, berperan meminta perusahaan-perusahaan ini mematuhi komitmen sebagai syarat pembiayaan bagi nasabah non-NDPE mereka.
Namun, kata Linda, implementasi komitmen ini sering kali tidak jelas, bahkan belum ada satupun dari lima bank terbesar di Indonesia itu yang mengadopsinya. Padahal, katanya, bank-bank dari Malaysia, Singapura dan Jepang, baru-baru ini mulai mengadopsi kebijakan yang sejalan dengan NDPE.
“Faktor-faktor kegagalan lainnya diakibatkan karena sektor keuangan Indonesia belum membahas risiko terkait perusahaan bayangan yang berada di bawah kendali yang sama dengan grup-grup perusahaan produsen terbesar di Indonesia,” katanya dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Selain itu, kata Linda, perubahan Taksonomi Hijau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) melemahkan pedoman lingkungan hidup di beberapa sektor termasuk energi dan pertambangan.
“TKBI telah menghapuskan kategori ‘merah’ sama sekali untuk sejumlah kegiatan berdampak tinggi terhadap hutan dan keanekaragaman hayati. Ini akan mengaburkan tanggung jawab sosial, maupun lingkungan.”
Dia juga meminta sektor keuangan memastikan bahwa kebijakan dan praktik mereka melindungi, memprioritaskan, dan memusatkan hak asasi manusia dari masyarakat yang terkena dampak, serta memprioritaskan transisi yang adil dan inklusif.
“Semua itu kami rasa bisa dilakukan dengan melakukan pembatasan pembiayaan atas klasifikasi aktivitas ekonomi merah, kuning, hijau.”
Alih-alih menghentikan bank-bank besar di Indonesia mendanai komoditas berisiko terhadap hutan, ternyata lembaga-lembaga keuangan di Uni Eropa juga mengalirkan kredit global ke grup-grup perusahaan di sektor yang berisiko terhadap ekosistem dan iklim.

Hal itu berdasarkan laporan berjudul ”EU bankrolling ecosystem destruction” yang dibuat Greenpeace International, Friends of the Earth Belanda, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa.
Laporan itu menemukan, seperlima dari kredit global atau setara Rp4.394 triliun berasal dari lembaga-lembaga keuangan di 27 negara anggota Uni Eropa.
Pendanaan itu mengalir ke 135 perusahaan atau pemain utama di sektor yang berisiko terhadap lingkungan hidup, seperti kedelai, peternakan, sawit, karet, kayu, dan komoditas lain yang berpotensi tinggi merusak ekosistem.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional mengatakan, lembaga keuangan di Indonesia juga perlu berefleksi dari laporan ini. Mengingat kebijakan keuangan berkelanjutan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih jauh dari ideal.
“Uni Eropa dan Indonesia perlu lebih ketat membuat regulasi agar lembaga-lembaga keuangan di negara masing-masing lebih bertanggung jawab dan tidak ikut membiayai perusakan lingkungan,” tegas Uli melalui rilis yang diterima Mongabay.
******
Was-was Bencana Kala Perusahaan Babat Hutan dan Gambut di Kalbar