- Laporan Global Forest Watch World (GFW) dan Universitas Maryland, Amerika menyebutkan dunia kehilangan 3,7 juta hektare hutan tropisnya pada 2023. Laju kehilangan hutan tersebut hampir setara luas 10 lapangan sepak bola per menit.
- Berita baiknya, Brasil dan Kolombia berhasil menurunkan secara tajam tingkat kehilangan hutan tropis sebesar 36 persen dan 49 persen karena komitmen yang kuat untuk mengurangi kerusakan hutan.
- Laporan itu menyebut hilangnya hutan primer Indonesia dalam kurun waktu 2022 hingga 2023 masih cukup rendah, meski ada peningkatan.
- Namun terdapat ancaman dari perluasan hutan tanaman industri yang terjadi di beberapa lokasi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Papua Barat.
Ditengah komitmen global untuk mempertahankan hutan, deforestasi hutan tropis masih terus terjadi. Global Forest Watch World (GFW) dan Universitas Maryland, Amerika dalam laporannya menyebutkan total hilangnya hutan primer tropis pada 2023 masih tinggi, meski sedikit lebih baik dibanding 2022.
Laporan itu menyebutkan dunia kehilangan 3,7 juta hektare hutan tropisnya pada 2023, sementara pada 2022 lalu seluas 4,1 juta hektare. Laju kehilangan hutan tersebut hampir setara luas 10 lapangan sepak bola per menit.
Berita baiknya, Brasil dan Kolombia berhasil menurunkan secara tajam tingkat kehilangan hutan tropis sebesar 36 persen dan 49 persen. Dalam hal ini karena ada kemauan kuat dari pemerintahan setempat untuk mengurangi kerusakan hutan.
Data yang diperbarui pada 4 April lalu itu juga menyebutkan, jika Presiden Brasil sebelumnya dinilai anti-lingkungan, sebaliknya penggantinya pro-lingkungan. Presiden Jair Bolsonaro digantikan oleh Presiden Luiz Inacio Lula da Silva pada awal 2023 lalu. Lula berjanji mengakhiri deforestasi Amazon, dan mengakui beberapa wilayah adat baru.
Sementara itu Presiden Kolombia Gustavo Petro Urrego telah bernegoisasi dengan berbagai kelompok bersenjata dan memasukkan kesepakatan perlindungan hutan. Sebelumnya banyak dari kelompok bersenjata itu yang bersembunyi di hutan dan memiliki kontrol atas penggunaan lahan.
Baca : Emisi dari Deforestasi di Daerah Tropis Dunia Meningkat, Bagaimana di Indonesia?

Sedikit Naik
Bagaimana dengan Indonesia? Laporan itu menyebut hilangnya hutan primer Indonesia dalam kurun waktu 2022 hingga 2023 masih cukup rendah, meski ada peningkatan. Data GFW memperlihatkan, sejak 2004 hingga 2016 luas hutan primer yang hilang cenderung naik. Puncaknya pada 2016, yang antara lain dipicu oleh kebakaran hutan. Selanjutnya berangsur-angsur turun dan sedikit mengalami peningkatan pada tahun lalu.
Meski awalnya ada kekhawatiran bahwa El Nino bakal menimbulkan dampak signifikan terhadap kebakaran hutan di Indonesia, namun rupanya hal itu hanya berdampak kecil. Laporan itu menyatakan upaya menekan kebakaran yang dilakukan masyarakat lokal, kesiapan pemerintah dalam mencegah kebakaran, dan El Nino 2023 yang lebih basah dibanding 2015 memberikan kontribusi penting sehingga musim kebakaran hutan kali ini bisa dikendalikan.
Namun terdapat ancaman dari perluasan hutan tanaman industri yang terjadi di beberapa lokasi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Papua Barat. Hilangnya hutan dalam skala kecil juga masih terjadi. Misalnya di kawasan lindung Taman Nasional Tesso Nilo dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil, menurut laporan itu. Sementara pengurangan tutupan hutan karena pertambangan terjadi di sejumlah pulau antara lain Sumatera, Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi.
Baca juga : Pemerintah Sebut Deforestasi Turun, Apa Kata Organisasi Lingkungan?

Pemerintah Ragukan Data GFW
Pemerintah Indonesia sendiri meragukan akurasi data satelit yang digunakan GFW dalam penghitungan luas tutupan hutan. Misalnya, objek yang diidentifikasi sebagai hutan oleh GFM ternyata setelah dicek di lapangan tidak seluruhnya hutan. Namun bercampur dengan semak belukar, pertanian, perkebunan, tutupan lahan lainnya dan tubuh air. Sehingga dianggap terjadi estimasi berlebihan pada data GFM.
“Tinjauan yang dilakukan oleh World Resources Institute menegaskan bahwa laju deforestasi di Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, merupakan yang terendah sepanjang sejarah, melampaui negara-negara lain,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dikutip dari siaran pers Kementerian LHK.
Hal itu disampaikannya saat menjadi salah satu pembicara pada panel pleno Menteri di Oslo Tropical Forest Forum 2024, Oslo, Norwegia (25/6). Analisis bersama antara KLHK, WRI, dan Universitas Maryland menunjukkan laju deforestasi antara 2022 hingga 2023 sebesar 0,13 juta hektare per tahun, tulis siaran pers itu.
Indonesia memiliki Sistem Monitoring Hutan Nasional (Simontana) sejak 1990 yang antara lain menyediakan data tutupan lahan, deforestasi, juga degradasi hutan dari waktu ke waktu.
Pada 2022 luas lahan berhutan seluruh Indonesia tercatat sebesar 96 juta hektare atau 51,2 persen dari total daratan seluas 187,5 juta hektare. Deforestasi Indonesia sepanjang tahun 2021 hingga 2022 mencatatkan rekor terendah sejak periode 2000, dengan luas 104 ribu hektare.
Pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah kebijakan untuk menekan laju deforestasi. Antara lain penghentian izin baru di hutan primer dan lahan gambut, pencegahan kebakaran, juga pengendalian legalitas pengunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit.
Baca juga : LSM: Food Estate Penyebab Deforestasi dan Rusaknya Lahan Gambut

Perbedaan Penghitungan
Definisi hutan primer yang digunakan dalam penghitungan luas tutupan yang hilang ini dari waktu ke waktu mengalami perbaikan. Menurut GFW hutan primer adalah hutan tropis lembab yang belum ditebangi dan ditanam kembali, dan belum pernah mengalami ganguan dari aktivitas manusia dalam beberapa tahun terakhir. Komunitas adat dikecualikan dalam hal ini.
Sebelumnya hutan primer termasuk yang masih utuh dan memiliki luas minimal 50 ribu hektare, maupun yang terfragmentasi karena kebakaran, jaringan jalan, atau sebab lain.
Untuk perhitungan kehilangan tutupan pohon pada 2023, data yang digunakan Universitas Maryland yang diadopsi GFW adalah kehilangan tahunan dari semua pohon yang memiliki tinggi lebih dari lima meter selama tahun kalender antara 2001 hingga 2023, baik di hutan alami maupun perkebunan. Namun untuk penghitungan di daerah tropis, kehilangan tidak termasuk perkebunan, tanaman kayu, dan hutan yang hijau kembali.
Penyesuaian algoritma untuk membaca data satelit dan perbaikan dari waktu ke waktu membuat penghitungan menjadi semakin lengkap. Misalnya, data hilangnya hutan akibat kebakaran alami maupun yang dipicu oleh manusia bisa diketahui. Namun penghitungan dengan cara ini menghasilkan perbedaan hasil dibanding angka resmi yang dirilis pemerintah.
Misalnya, data satelit yang digunakan pemerintah Brasil tidak memasukkan penebangan skala kecil yang kurang dari 6,25 hektare. Unit pemetaan minimum juga hanya sampai 6,25 hektare. Sementara data milik Universitas Maryland sampai 0,09 hektare. Hasilnya tentu menjadi lebih besar dibanding angka resmi pemerintah.
Baca juga : Deforestasi di Kalimantan Mengancam Tiga Tumbuhan Endemik yang Terancam Punah

Sementara untuk kasus Indonesia, jika data peta kehilangan hutan primer 2023 milik GFW ditumpangsusunkan (overlay) dengan peta tutupan hutan yang dikeluarkan secara resmi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), maka juga akan menghasilkan selisih data.
Sekitar 70 persen tutupan hutan primer dari data peta GFW akan menutupi peta tutupan hutan versi resmi pemerintah Indonesia. Sisanya sebanyak 30 persen terjadi di lahan pertanian, semak belukar, rawa, dan jenis tutupan lainnya.
Dengan cara yang sama diketahui persentasi kehilangan hutan primer 2023 menurut GFW, 60 persen di antaranya diklasifikasikan KLHK terjadi di hutan sekunder, 9 persen di hutan primer, hutan tanaman 1 persen, dan non hutan 30 persen. Total Indonesia kehilangan 1,03 juta hutan primer tropis pada 2023, atau setara 842 juta ton emisi CO2.
Laporan itu juga memberi catatan, lima provinsi dengan jumlah kehilangan tutupan pohon terbanyak dari 2001 hingga 2023 adalah Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan. Sementara provinsi dengan luas tutupan pohon terbanyak (2010) adalah Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Papua Barat. (***)
Studi: Iklim Global yang Menghangat dan Deforestasi Mendorong Risiko Kebakaran Hutan Kalimantan