- Pemerintah diminta transparan memberikan informasi soal kontrak ketenagalistrikan atau perjanjian jual beli listrik (PJBL) kepada publik agar bisa ikut mengawasi. Selama ini, proyek-proyek kelistrikan seperti PLTU menimbulkan daya rusak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
- Debby Thalita Nabila, peneliti ICEL mengatakan, kontrak PJBL ini memuat berbagai macam informasi yang memiliki dimensi publik. Dalam PJBL, menentukan seberapa cepat Indonesia dapat beralih dari PLTU batubara dan mencapai net zero emission.
- Agus Cahyono Adi, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) KESDM beralasan, keterbukaan informasi PJBL berpotensi resistensi dari badan usaha dalam menyampaikan keterbukaan isi kontrak kepada publik. Meski begitu, peluang keterbukaan informasi PJBL bisa dengan mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP).
- Donny Yoesgiantoro, Ketua KIP mengatakan, dasar hukum keterbukaan informasi terdapat dalam Pasal 28F UUD 1945 dan UU KIP Nomor 14/2008. Dalam UUD 1945, jelas disebutkan setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Pemerintah diminta transparan memberikan informasi soal kontrak ketenagalistrikan atau perjanjian jual beli listrik (PJBL) kepada publik agar bisa ikut mengawasi. Selama ini, proyek-proyek kelistrikan seperti PLTU menimbulkan daya rusak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyebut, PJBL berkaitan erat dengan tanggung jawab lingkungan dan hak asasi manusia (HAM).
Debby Thalita Nabila, peneliti ICEL mengatakan, kontrak PJBL ini memuat berbagai macam informasi yang memiliki dimensi publik. Dalam PJBL, menentukan seberapa cepat Indonesia dapat beralih dari PLTU batubara dan mencapai net zero emission.
PJBL ini, katanya, merupakan kontrak yang dilakukan oleh badan publik dalam hal ini PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Dengan begitu, ada kepentingan publik dalam kontrak ini.
“Ketentuan di dalam PJBL ada konsekuensi pada HAM, yang mana nanti akan berdampak pada risiko kesehatan, keselamatan, dan masyarakat adat yang tinggal di sekitar proyek,” katanya dalam giat bertajuk menimbang peluang keterbukaan informasi dalam kontrak ketenagalistrikan di Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI, Jakarta.
Debby bilang, produksi tenaga listrik di Indonesia dominan PLTU batubara. Sisi lain, pemerintah berkomitmen menurunkan gas rumah kaca 31,89 % dan 42,82% dengan bantuan internasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) pun menyatakan, pemerintah juga berkomitmen beralih ke energi terbarukan 23%pada 2024 dan 31% dalam 2050—angka ini kini turun jadi 17-19%.
Untuk itu, katanya, penting bagi pemerintah untuk membuka informasi soal PJBL.
Menurut Debby, ada enam hal penting terkandung dalam PJBL antara lain, jangka waktu jual beli listrik, hak dan kewajiban penjual serta pembeli, pengakhiran PJBL, pernyataan penyesuaian harga, penyelesaian perselisihan dan keadaan kahar atau force major.
KESDM sampaikan alasan perjanjian itu tak buka ke publik.
Agus Cahyono Adi, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) KESDM beralasan, keterbukaan informasi PJBL berpotensi resistensi dari badan usaha dalam menyampaikan keterbukaan isi kontrak kepada publik.
Dia juga lihat soal potensi penyalahgunaan data kontrak untuk kepentingan sendiri oleh LSM yang tidak bertanggungjawab.
“Harus ada uji konsekuensi karena masih ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dipakai untuk melakukan perbuatan kurang layak. Kalau memang disepakati kita lakukan uji konsekuensi,” katanya.
Meski begitu, peluang keterbukaan informasi PJBL bisa dengan mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP). KIP akan menilai keterbukaan informasi Badan Publik, melalui monitoring dan evaluasi keterbukaan informasi publik.

Agus bilang, PJBL antara PLN (Persero) dengan badan usaha paling sedikit memuat antara lain ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli, alokasi risiko, jaminan pelaksanaan proyek dan komisioning dan commercial operation date (COD). Kemudian, pasokan bahan bakar, transaksi, pengendalian operasi sistem, penalti terhadap kinerja pembangkit, pengakhiran PJBL, pengalihan hak, persyaratan penyesuaian harga, penyelesaian perselisihan dan keadaan kahar (force majeur).
Donny Yoesgiantoro, Ketua KIP mengatakan, dasar hukum keterbukaan informasi terdapat dalam Pasal 28F UUD 1945 dan UU KIP Nomor 14/2008. Dalam UUD 1945, katanya, jelas disebutkan setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Juga berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
“Dalam UU KIP menjelaskan, kami juga memberikan jaminan kepada rakyat untuk memperoleh informasi publik dan memberikan kewajiban bagi badan publik untuk meningkatkan pengelolaan, pelayanan dan membuka akses atas informasi publik.”
Setiap orang, katanya, bisa mengajukan sengketa informasi atas lembaga publik. “Kalau ada gugatan meminta informasi kepada PLN atau lembaga publik, dalam waktu 10 hari dan 14 hari bisa mengajukan gugatan ke kami.”
********