- Konser-konser musik besar kini makin berani mengimplementasikan kebijakan minim sampah sebagai upaya mitigasi krisis iklim.
- Konser musik dinilai penyumbang emisi karena jumlah massa yang terlibat dan banyaknya energi yang dibutuhkan.
- Sejumlah strategi yang sudah diujicoba dan dinilai berhasil adalah penggunaan alat makan dan minum pakai ulang untuk mengurangi sampah sekali pakai. Ada juga penyediaan air isi ulang, penggunaan panel surya, dan penggunaan energi dari daur ulang sampah kantong plastik.
- Upaya mendorong maintreaming isu lingkungan ini diperlukan untuk mengubah kebijakan dan menambah kesadaran warga.
Pupuh Wargasari, sebuah potongan kidung yang kerap terdengar di pura sebelum persembahyangan mengalun dari Robi, vokalis band Navicula.
Purwakaning
Purwakaning angripta rum
Ning wana ukir
Kahadang labuh
Kartika panedengin sari
Angayon tangguli ketur
Angringring jangga mure
Ini adalah kidung yang mengakhiri lagu bertajuk Segara Gunung, yang baru beberapa bulan lalu diluncurkan di markas besar PBB di New York feature NATURE oleh Sounds Right. Selain Navicula feat Endah N Rhesa, ada juga sejumlah musisi global lain di gerakan ini.
Robi merespon lirik kidung ini sebagai penghormatan pada alam, hutan, sumber air, gunung yang diciptakan oleh masyarakat yang hidup dengan alam di masa lalu. Betapa terikatnya manusia pada alam, karena dekat dan menghidupi alam. Sementara saat ini, sebaliknya. Manusia jauh dari alam dan tidak memiliki ikatan pada tempat tinggalnya.
“Ketika bulan Oktober, pepohonan tumbuh subur, menghayati pohon, gunung, dan sumber air,” imaji Robi dalam workshop iklim, musik, dan lingkungan bersama jurnalis di Denpasar pada Rabu (26/06/2024).
Bersama belasan musisi lain di Indonesia, rintisan IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab) kini akan menghelat beberapa program lanjutan untuk membawa isu lingkungan dan perubahan iklim makin populer lewat seni dan musik. Tahun lalu, IKLIM menerbitkan sebuah album bertajuk Sonic/Panic yang dirilis Alarm Records. Tahun 2023, sebanyak 13 musisi bergabung dalam inisiatif IKLIM ini.
Baca : Uji Coba Konser Musik Menggunakan Bahan Bakar dari Olahan Sampah Plastik
![](https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2021/04/sampah-laut-di-kedonganan-bali-2021.jpg)
Salah satu event konser dinilai memberi bukti bahwa musisi bisa berkontribusi pada lingkungan dengan menerapkan sejumlah strategi. Data dari Aliansi Zero Waste menyebutkan dari sebuah konser minim sampah oleh IKLIM bertajuk No Music on Dead Planet pada 4 November 2023 lalu menyatakan ada dampak besar dari pemakaian wadah pakai ulang.
Sampah organik yang dihasilkan dari konser ini lebih banyak sekitar 87 kg dan anorganik terdiri dari kaleng, botol, dll, sekitar 75 kg. Seluruh limbah organik yang didominasi sisa makanan dikirim ke Rumah Kompos Padang Tegal, Ubud, yang berlokasi di sekitar venue.
Jumlah pedagang dalam arena konser sebanyak 11 tenant dan menyajikan 1.200 porsi makanan. Dari sistem alat makan pakai ulang dari beberapa penyedia seperti Allas, Balikin, dan Taksu. Dari jumlah itu setiap 4 alat makan mampu memenuhi 10 porsi makanan dan minuman.
Event minim sampah percobaan dari IKLIM ini memperkirakan ada sekitar 1.800 pengunjung dan wadah sekali pakai yang bisa dicegah lebih dari 3.300 buah.
Saat itu, strategi yang dilakukan adalah dengan menyiapkan stasiun isi air ulang gratis dan sejumlah titik pengembalian alat makan dan minum pakai ulang. Terlihat ada piring dan gelas plastik ulang pakai yang dipinjamkan ke semua pedagang. Ada juga yang pakai anyaman ingka sebagai piring dengan alas daun. Di tiap meja pedagang ada petunjuk anjuran pakai ulang.
Para pedagang, diminta menanyakan ke konsumen apakah membawa wadah sendiri atau pakai wadah tenant. Lalu, mengingatkan pengembalian ke tempat pengumpulan. Makanan dan minuman hanya dihidangkan di tempat, kecuali bawa wadah sendiri bisa take away. Bagusnya, titik pengembalian wadah makanan dan minuman ini ada beberapa di sejumlah sudut hingga memudahkan pengunjung konser.
Selain konser IKLIM, pernah ada juga konser musik besar lain di Bali yang membawa misi lingkungan. Konser menggunakan solar dari olahan sampah kantong plastik pada Oktober 2022 lalu di Bali bertajuk Get the Fest. Panitia menyampaikan, kebutuhan generator di konser sebanyak 420 liter. Sedangkan untuk kendaraan tur, bahan bakarnya juga menggunakan solar dari pirolisis, yakni Chevrolet 160 liter, Triton 130 liter, dan bus 360 liter. Untuk itu, total sampah plastik yang diolah 1.320 kg. Dimas Bagus Wijanarko, pendiri Get Plastic, salah satu inisiatornya mengatakan 1 kg sampah kresek (jenis plastik HDPE) bisa menghasilkan 1 liter solar.
Baca juga : Konser Musik Nosstress dari Energi Surya di Musim Hujan
![](https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2024/06/audience-1853662_1280.jpeg)
Perubahan Ekosistem Musik
Perubahan ekosistem musik dimulai dari individunya. Sandrina Malakiano, salah satu pendukung gerakan IKLIM ini berkomentar bahwa para musisi yang terlibat kini memiliki komitmen khusus.
Komitmen artis IKLIM ini dirangkum dari respon pre dan post survei saat workshop, grafiknya dinilai positif. Jika sudah terikat secara personal, pengetahuan dan kesadaran baru ini diyakini mengembangkan artisnya. Hal sederhana yang dilakukan musisi misalnya minta IKLIM meriset apakah sponsor yang terlibat ketika mereka manggung termasuk perusak lingkungan.
Workshop IKLIM berikutnya pada tahun ini akan diisi alumni workshop pertama seperti Endah dari Endah N Rhesa yang mengisi pembuatan lirik. Selain itu akan ada TuanTigaBelas yang mengisi sejarah hiphop sebagai media menyuarakan masalah sosial. Pasca workshop pertama yang melibatkan 13 musisi, Robi mengatakan lebih mudah mengajak musisi karena ada 150 band yang mendaftar untuk mengikuti workshop IKLIM kedua, namun hanya 15 band yang dikurasi.
Salah satu topik hangat di media sosial baru-baru ini adalah pertanyaan kenapa Navicula mau main di forum World Water Forum (WWF) yang dihelat Mei lalu di Nusa Dua, Bali? Navicula kemudian membatalkan pentasnya di WWF setelah insiden represi dan pembubaran People’s Water Forum oleh aparatur dan ormas untuk kali pertama selama WWF ini dihelat.
Menurut Robi setiap acara global selalu ada pro kontra, seperti tarik menarik deklarasi. “Kami memanfaatkan semua platform asal tidak menjual idealisme, oke ada panggung kami ingin menyuarakan air untuk rakyat. Kami ingin bicara di dalam. Tapi di tengah jalan ada sesuatu PWF dibubarkan lalu kami bersolidaritas dengan membatalkan manggung di WWF,” urainya.
Ia meyakinkan musisi bahwa membuat lagu lingkungan tidak akan membuat fans meninggalkan musisinya. Robi mengingatkan sejumlah industri hiburan seperti film paling populer juga banyak tentang lingkungan misal Avatar yang membahas tentang hutan, air, dan langit.
Baca juga : Sound of Ska V, Konser Musik buat Penyelamatan Satwa
![](https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/02/mongabay-TPA-suwung-yg-terbesar-di-bali.jpg)
Tawaran membuat lagu bersama NATURE juga hasil dari konsistensi merangkum berbagai perspektif lingkungan dalam karyanya. Segara Gunung adalah tentang siklus air, bagaimana gunung dan laut saling mengait untuk keseimbangan kehidupan. Demikian juga lagu Dinasti Matahari. “Betapa banyak suku dan negara yang menghamba pada matahari karena sumber energi misalnya bagaimana piramida di Mesir berfilosofi untuk memanen matahari, Jepang yang membuat bendera negara dengan gambar matahari, bangsa Maya dan Aztec, dan lainnya,” sebutnya.
Artis menurutnya tidak menciptakan apa-apa tapi mengambil dari alam memanfaatkan teknologi informasi. Sayangnya di Indonesia belum banyak musisi dengan karya green label. Sementara di negara lain seperti Australia banyak band dengan katalog green label. Karena itu ia menerima tawaran ketika pandemi saat Music Declares Emergency mengajak musisi Indonesia terlibat. Industri musik di Asia besar tapi artis yang bicara lingkungan tak banyak.
“Kita harus occupy semua platform. Jika berkompetisi ke regional nilai apa yang akan kita bawa?” Robi mencontohkan hutan hujan dan negara kepulauan karena bagian dari biodiversitas yang kaya. Harusnya Indonesia bisa membuat festival hutan hujan.
Yang lebih dikenal dari Indonesia malah sampah plastik atau deforestasi. Karena itu ajakan Music Declares Emergency direspon dengan inisiatif IKLIM dimulai dengan kolaborasi belasan musisi berbagai genre. Mereka harus mengikuti workshop tentang perubahan iklim dan apa yang harus dilakukan musisi sebagai aksi untuk meresponnya. “Antusiasnya bagus, ternyata isu lingkungan sedekat ini. Endah sampai menangis,” kata Robi. Pembicaranya juga dari aktivis LSM selain musisi sendiri. Setelah itu membuat album kompilasi lagu-lagu yang merespon krisis iklim.
Selama workshop, diakui ada pertentangan atau kerisauan antar musisi. Misalnya ada yang risau jika mengusung isu berat ini terkait lingkungan akan mengurangi permintaan manggung. Atau Fans base merasa aneh karena sebelumnya tidak pernah membawa isu lingkungan. Menurutnya harus diseimbangkan antara bisnis dan pertanggungjawaban sosialnya. “Kita harus ikut mengedukasi pasar. Misalnya dulu di Ubud susah jual makanan organik, sekarang harganya mahal karena value meningkat,” contohnya.
Andre Dananjaya dari Kopernik yang mendukung IKLIM mengingatkan Indonesia akan menghelat sejumlah kegiatan politis tahun ini dan sangat penting memastikan kebijakan lingkungan dibicarakan. Misalnya Pilkada serentak November ini. (***)