- Sejak Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mengadopsi penerapan kesepakatan negara pelabuhan (port states measures agreement/PSMA), seluruh negara pelabuhan di dunia mulai melakukan ratifikasi
- Namun, Indonesia baru melakukan ratifikasi tujuh tahun kemudian. Tepatnya pada 2016 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2016. Empat tahun kemudian pada 2022, Indonesia mulai mengoperasikan empat pelabuhan yang menerapkan PSMA
- Keempatnya adalah Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman di Jakarta, PPS Bungus di Padang (Sumatera Barat), PPS Bitung di Bitung (Sulawesi Utara), dan Pelabuhan Benoa (Bali). Penunjukan itu diterbitkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 52 Tahun 2020
- Walau sudah hampir dua tahun, namun penerapan PSMA masih belum berjalan baik di Indonesia. Terbukti, sampai sekarang masih ada aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF) di wilayah perairan yurisdiksi nasional
Penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (illegal, unreported and unregulated fishing/IUUF) masih sulit untuk dihentikan di wilayah perairan yurisdiksi Indonesia. Sampai saat ini, Pemerintah Indonesia masih sering menemukan kapal ikan yang melakukan kegiatan terlarang itu.
Paling mutakhir, dua kapal berbendera Rusia, yakni Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 ditangkap oleh kapal patroli milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) karena diduga melakukan berbagai kegiatan ilegal.
Kedua kapal tersebut masuk ke wilayah perairan Indonesia hingga sempat berlabuh di Tanjung Priok, Pelabuhan Ratu, dan Teluk Ambon. Keduanya juga tidak terdaftar dan tidak memiliki izin untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Dosen Kebijakan Laut dan Perikanan IPB University Akhmad Solihin menerangkan kalau IUUF berkaitan erat dengan penerapan kesepakatan negara pelabuhan (port states measures agreement/PSMA). Kegiatan tersebut bisa terjadi, karena kapal pelaku berhasil menghindari PSMA.
Sejatinya, PSMA diterapkan untuk mencegah sebanyak mungkin kegiatan IUUF di sebuah negara pelabuhan. Namun, karena ada banyak faktor dan kekurangan yang membuat PSMA tidak berjalan maksimal di sebuah negara.
Kondisi itu yang terjadi di Indonesia saat ini. Walau sudah sejak 2016 Indonesia meratifikasi aturan tentang PSMA, namun kegiatan tersebut masih belum bisa mencegah banyak IUUF di berbagai perairan yurisdiksi nasional.
Baca : Komitmen Negara Pelabuhan untuk Menghentikan Praktik IUU Fishing
Merujuk Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 52 Tahun 2020, ada empat pelabuhan yang sudah ditunjuk untuk melaksanakan PSMA. Selain Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman di Jakarta, ada juga PPS Bitung di Sulawesi Utara, PPS Bungus di Sumatera Barat, dan Pelabuhan Benoa di Bali.
Pelaksanaan PSMA di empat pelabuhan tersebut, sudah berjalan sejak 2022. Tetapi, selama hampir dua tahun penerapan, dia menilai kalau PSMA masih belum maksimal. Bahkan, sampai sekarang masih ada masalah dualisme yurisdiksi pelaksanaan negara pelabuhan antara Kementerian Perhubungan RI dengan KKP.
“Diperlukan harmonisasi untuk mengatasi persoalan tersebut,” ucapnya belum lama ini di Jakarta.
Dualisme yang dimaksud, adalah kebijakan Port State Control (PSC) yang dijalankan Kemenhub RI dengan PSMA yang dijalankan KKP. Dua kebijakan tersebut berjalan beriringan di Pelabuhan Benoa yang masuk kategori pelabuhan umum.
Akhmad Solihin menyebut kalau penerapan PSC adalah untuk pemeriksaan rutin kesyahbandaran. Sementara, PSMA adalah bentuk tanggung jawab negara bendera dalam menjaga dan melindungi wilayah pesisir dan pantai dengan merujuk kepada hukum internasional.
“Harus ada koordinasi antar instansi agar persoalan bisa diselesaikan,” tegasnya.
Selama penerapan PSMA di Benoa, aktivitas yang berhasil tercatat adalah pergantian kru kapal dengan menaikturunkan kru warga negara asing (WNA) dan warga Negara Indonesia (WNI); perbekalan berupa logistik, makanan, dan BBM; perbaikan, dan darurat/kahar.
“Kapal yang bersandar di Benoa didominasi oleh kapal berbendera Jepang,” tambahnya.
Baca juga : Mencegah Praktik Perikanan Ilegal dari Pelabuhan
Selain isu dualisme antara Kemenhub dengan KKP, Akhmad mengatakan kalau PSMA di Indonesia juga masih menghadapi isu lain yang harus dipecahkan, yaitu ketidaksamaan metode pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia (SDM), serta ketidaksamaan legalitas pemeriksa.
Kemudian, ada juga isu tentang ketiadaan mekanisme koordinasi antar instansi, dan perbedaan kewajiban kemampuan bahasa Inggris. Semua persoalan itu, menurutnya harus dicarikan jalan keluar yang tepat dan bijak.
Tentang penunjukan empat pelabuhan untuk menerapkan PSMA, dia meminta pemerintah untuk terus memperhatikan hal-hal teknis yang bisa mendorong pelaksanaan PSMA berjalan baik dan lancar. Terutama, pemerintah harus memperhatikan bahwa pelabuhan yang menerapkan PSMA akan melaksanakan rutinitas kegiatan perikanan internasional dan ekonomi bongkar ikan (impor ikan).
Perlunya pelabuhan PSMA untuk terus diperhatikan oleh Pemerintah, tidak lain karena fasilitas tersebut akan menjadi pintu masuk dan keluar kapal-kapal pelaku IUUF. Namun tidak hanya kapal ikan asing (KIA), ancaman IUUF akan datang dari kapal ikan Indonesia (KII) yang dibangun di luar negeri atau eks asing.
Penguatan PSMA
Senior Advisor Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Grace Binowo menyampaikan analisis hukum tentang kegiatan IUUF masih berjalan walau PSMA sudah diterapkan di Indonesia. Analisis itu fokus pada indikasi tindak pidana yang dilakukan dua KIA berbendera Rusia yang disebutkan pada paragraf kedua tadi.
Menurutnya, kedua kapal bisa lebih cepat terdeteksi dan dicegah melalui ketentuan kewajiban negara pelabuhan khusus KIA di bawah perjanjian internasional atau PSMA. Tetapi, kedua kapal masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok yang tidak ditunjuk untuk menerapkan PSMA.
Tanpa dikenakan ketentuan PSMA, kedua kapal bisa bisa lolos dan masuk ke wilayah perairan yurisdiksi nasional. Fakta tersebut menjadi kelemahan sekaligus pekerjaan rumah (PR) yang harus dibereskan oleh Pemerintah Indonesia.
“Kejadian tersebut sebenarnya telah melanggar ketentuan PSMA,” jelasnya.
Baca juga : Siapkah Indonesia Bertukar Informasi dengan Semua Negara Pelabuhan?
Indonesia resmi meratifikasi PSMA pada 2016 melalui Peraturan Presiden RI Nomor 43 Tahun 2016 tentang Pengesahan Agreement On Port State Measures To Prevent, Deter, And Eliminate Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing (Persetujuan Tentang Ketentuan Negara Pelabuhan Untuk Mencegah, Menghalangi, Dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur).
Berdasarkan Pasal 3 & 7 PSMA dan Kepmen KP No.52/2020, kedua kapal seharusnya masuk melalui salah satu dari keempat pelabuhan yang sudah ditunjuk, baik dengan tujuan transit, melakukan kegiatan alih muatan ikan, atau kegiatan lainnya, termasuk mengisi bahan bakar atau melakukan pergantian awak kapal.
Merujuk pada kejadian dua kapal tersebut sebagai salah satu contoh, Grace Binowo mengatakan kalau penerapan PSMA di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranya, adalah kapasitas dan sistem koordinasi antar kementerian/lembaga (K/L) belum optimal, terutama KKP dan Kemenhub.
Kemudian, sarana dan prasarana pelabuhan yang ditunjuk masih belum optimal untuk mengakomodasi masuknya kapal perikanan asing ke pelabuhan. Serta, sistem pertukaran informasi di tingkat regional dan internasional belum terintegrasi dan saling melengkapi.
“Penguatan kapasitas dan koordinasi antara PSC dan PSMA di semua pelabuhan masih menjadi PR yang paling besar dalam penerapan PSMA sekarang. Selain, persoalan penunjukan pelabuhan yang menerapkan PSMA,” terangnya.
Selain diduga melakukan praktik IUUF, kedua kapal tersebut juga terindikasi bekerja sama dengan KII yang beroperasi di pulau Jawa dalam praktik pelanggaran hak asasi manusia, yaitu berupa perlakuan yang tidak layak di atas kapal, penahanan gaji, dan dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Semua pelanggaran tersebut masuk ke dalam kategori kejahatan serius berdasarkan definisi UN Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) dan itu dilakukan oleh jaringan kejahatan lintas batas yang terorganisir dengan melibatkan lebih dari dua negara.
Baca juga : Kapal Perikanan Ilegal Diamankan di Laut Arafura, Diduga Terlibat Perdagangan Orang
Seperti disebutkan di atas, ancaman IUUF bukan hanya dari KIA yang beroperasi di perairan wilayah perbatasan Negara. Namun juga, ada ancaman dari KII yang mengoperasikan kapal eks asing seperti Fu Yuan Yu F77.
IOJI mendeteksi kapal tersebut bergerak di sekitar perairan Laut Arafura dan terindikasi melaksanakan praktik IUUF, karena tidak terdaftar dan tidak memiliki izin untuk menangkap ikan di WPPNRI. Kapal tersebut perlu dipastikan lebih lanjut status keberadaan kapal dan perizinannya oleh KKP.
Selain Laut Arafura, IOJI mendeteksi puluhan KIA berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara (LNU) yang terindikasi mencuri ikan. Operasi KIA berbendera Vietnam yang terdeteksi menggunakan alat tangkap pair trawl itu berdampak buruk terhadap kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Pung Nugroho Saksono menjabarkan tentang Fu Yuan Yu F777 sebagai KII yang berasal dari Pantai Utara (Pantura) Jawa dan memiliki nama Berkah Abadi.
“Keberadaan kapal tersebut juga dikonfirmasi nelayan sekitar,” tuturnya.
Tentang dua kapal berbendera Rusia yang sudah ditangkap, dia menyampaikan kronologisnya yang melibatkan peran aktif Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Perikanan, IOJI, dan jaringan internasional, seperti Pemerintah Australia, Pemerintah Papua Nugini (PNG) dan INTERPOL.
“Kami sudah menyampaikan notice ke INTERPOL terkait kedua kapal Run Zeng. Kami juga sudah berkoordinasi dengan Pemerintah PNG terkait penanganan Run Zeng 05 yang saat ini ditahan di PNG. PSDKP berkomitmen melibas IUU fishing tanpa kompromi,” paparnya.
Baca juga : Kasus Perdagangan Orang di Kapal Ikan Berbendera Rusia, Pemilik dari China Terungkap
Rezim IUUF
Diketahui, Indonesia sudah melakukan ratifikasi penerapan PSMA pada 2016 lalu. Ratifikasi dilakukan untuk memperkuat kontrol pelabuhan di antara negara anggota pelabuhan yang masuk keanggotaan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Ratifikasi diterbitkan melalui Perpres 43/2016. PSMA sendiri sudah mulai diterapkan sejak 2009, tepatnya saat negara-negara pelabuhan menjalin kesepakatan untuk mencegah praktik IUUF terus meluas dan menguat.
Pengajar Hukum Internasional Universitas Brawijaya Dhiana Puspitawati menjelaskan bahwa rezim IUUF saat ini tidak terbatas pada FAO, melainkan juga organisasi internasional lain seperti Organisasi Maritim Internasional (IMO) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
Menurutnya, saat berbicara tentang praktik IUUF yang melibatkan tindak pidana lintas batas, harus juga dikaji potensi tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal itu untuk mempertimbangkan kegiatan perikanan sebagai tindak pidana asal (predicate crime).
Agar penegakan hukum di laut bisa semakin kuat, dia mendorong penekanan peran pemerintah daerah yang memiliki kewenangan konkuren dalam praktik tersebut. Contoh peran tersebut adalah Pokmaswas dalam pemberantasan IUUF di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia.
Senior Analyst IOJI Imam Prakoso menjelaskan tentang dua kapal berbendera Rusia yang melakukan IUUF dan TPPO di Indonesia. Keduanya masuk ke wilayah perairan Indonesia hingga sempat berlabuh di Tanjung Priok, Pelabuhan Ratu, dan Teluk Ambon.
“Keduanya juga tidak terdaftar dan tidak memiliki izin untuk menangkap ikan di WPPNRI,” terang dia.
Selain PSMA, dia menyebut kalau pencegahan IUUF bisa dilakukan melalui kesepakatan antar negara. Sayangnya, kesepakatan mengenai garis batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Vietnam ternyata belum bisa mengurangi jumlah intrusi KIA Vietnam di LNU.
“Tren yang menarik adalah, patroli KRI TNI AL ternyata dapat menurunkan angka IUU fishing di sekitar wilayah ZEE LNU. Ketika jumlah kapal patroli di LNU meningkat, jumlah KIA berbendera Vietnam menurun,” sebutnya.
Berdasarkan analisi dan deteksi yang sudah dilakukan, IOJI menyampaikan rekomendasi, di antaranya:
- Terkait KIA berbendera Rusia di Laut Arafura, Pemerintah Indonesia harus menindaklanjuti temuan hasil inspeksi melalui proses peradilan. Guna mencegah masuknya KIA yang terlibat IUUF ke pelabuhan Indonesia, pemerintah perlu memperkuat implementasi PSMA.
- Terkait operasi kapal ‘gelap’ (dark vessel) di Laut Arafura, Pemerintah Indonesia perlu menindaklanjuti keabsahan sistem identifikasi otomatis (AIS) kapal Berkah Abadi yang masih memakai AIS atas nama Fu Yuan Yu F77.
- Terkait intrusi KIA berbendera Vietnam di LNU, Pemerintah Indonesia perlu terus memperkuat patroli laut di LNU. Salah satunya lewat penguatan infrastruktur keamanan laut, terutama pasca pelaksanaan proyek utama dalam penguatan keamanan laut Natuna. (***)