- Kampung Rawageni, Kota Depok, Jawa Barat berhasil berubah dari kampung kumuh rawan tawuran pemuda menjadi kampung mandiri yang menjalankan ekonomi sirkuler dengan pengolahan sampah yang memberdayakan warganya secara swadaya
- Warga Kampung Rawageni mengolah berbagai jenis sampah, organik maupun non organik menjadi kerajinan tangan, mulai dari tikar, tas belanja, taplak meja dan lainnya. bahkan warga membuat paving block untuk mempercantik jalan-jalan kampung.
- Kemandirian kampung peraih penghargaan kampung iklim tingkat nasional ini digagas oleh seorang warga bernama Sanusi, yang sekaligus Ketua RW 07
- Saat ini Kampung Rawageni menjadi ruang pembelajaran dalam mengelola lingkungan yang zero sampah bagi tamu-tamu yang berkunjung dari berbagai lapisan usia, bahkan datang dari berbagai kota dan pulau.
Tangan mungil Zaki sapaan akrab Muhammad Khoirul Muzaqi (11 tahun) begitu cekatan mengaduk semen basah, lalu mencelupkan popok-popok bekas sumbangan warga yang telah dicuci bersih.
Siang itu, terik matahari ditutupi mendung tipis, namun cukup baik untuk mengeringkan hasil cetakan popok-popok bekas yang akan dimanfaatkan warga menjadi pot tanaman di kampung Rawageni, Kota Depok, Jawa Barat. Wilayah RW 07 yang membawahi enam RT memang dikenal sebagai kampung yang mandiri dan pernah meraih penghargaan kampung iklim tingkat nasional.
Kampung Rawageni luasnya hanya 17,77 hektar dan dihuni sekitar 2.516 jiwa penduduk, sejak lama memegang prinsip bebas sampah. Semua warga mengolah berbagai jenis sampah, organik maupun non organik. Nyaris tidak ada sampah berserak di jalan-jalan kampung Rawageni.
Sampah plastik akan diolah menjadi kerajinan tangan, mulai dari tikar, tas belanja, taplak meja dan lainnya, bahkan warga membuat paving block untuk mempercantik jalan-jalan kampung.
Limbah sampah sayur dan buah-buahan akan diolah menjadi kompos organik, sangat berguna untuk menyuburkan berbagai tanaman sayur di kebun yang dikelola secara swadaya. Sedangkan bekas popok diolah menjadi pot tanaman.
Limbah cair rumah tangga pun di daur ulang untuk mencuci motor dan lainnya, bahkan warga mengelola air tadah hujan untuk keperluan cuci tangan, wudhu, menyiram tanaman sayur, buah, bunga dan lainnya.
Pada tahun sebelumnya, Rawageni berhasil mengelola bank sampah dan memanfaatkan setoran sampah untuk menghasilkan program-program pemberdayaan warga, sehingga warga mendapatkan manfaatnya seperti pemberian beasiswa anak yatim, pembayaran pajak bumi dan bangunan gratis, hingga belanja di warung kelontong cukup dengan barter, sampah kardus ataupun plastik ditukar dengan berbagai kebutuhan dapur seperti beras, minyak goreng dan lainnya.
Baca : Begini Mereka Kelola Sampah, Lingkungan Bersih, Dompet Bisa Berisi
Kemandirian kampung ini digagas oleh seorang lelaki sederhana bernama Sanusi, 47 tahun, yang sekaligus Ketua RW 07. Sanusi cuma jebolan SMP, namun mampu mengubah tujuh kampung yang kumuh, penuh sampah yang berserak menjadi kampung yang ramah lingkungan.
Awalnya Sanusi hanya mengajak enam tetangganya untuk patungan dana dan secara swadaya membangun jalan kampung dengan semen. Maklumlah, jalan-jalan di kampung Rawageni masih tanah saat itu. Jika hujan akan becek dan sampah menimbulkan bau menyengat.
Kampung ini dulunya juga sangat rawan tawuran anak muda dan penyalahgunaan narkoba. Bertahun-tahun Sanusi menyadarkan warga kampung Rawageni dengan sabar. Salah satunya yang didekati adalah Edo Budi Santoso, warga yang akhirnya juga terlibat aktif dalam berbagai gerakan lingkungan yang kreatif hingga melahirkan inovasi yang ramah lingkungan.
Seperti tanah-tanah yang terbengkalai dimanfaatkan untuk membuka kebun bersama. Siapapun warga dapat mengambil manfaat dari kebun, baik bumbu rempah, sayur mayur, buah-buahan. Untuk mendukung gizi dan melestarikan pangan lokal, setiap rumah tangga juga diwajibkan menanam berbagai tanaman sayur dan buah. Selain itu membuat lubang biopori dengan berbagai ukuran, besar, sedang dan kecil, yang difungsikan sebagai pembibitan ikan lele hingga komposer.
Ekonomi Sirkular
Setiap akhir pekan Edo Budi Santoso terus mengajarkan anak-anak muda menciptakan perubahan di kampung Rawageni, dari membuat taman bermain hingga mengolah sampah rumah tangga. Dia juga yang menghias kampung dengan berbagai ornamen khas Betawi di kampung Rawageni, menjadi tampak estetik dan artistik. Tembok-tembok dipenuhi dengan mural-mural edukasi yang lucu tentang lingkungan hidup dan lainnya.
Zaki, bocah SD yang rutin mengolah popok-popok bekas menjadi pot tanaman, memilih tidak bermain dengan kawan-kawan sebayanya. Dia lebih suka melukis pot-pot yang sudah kering dengan gambar yang lucu dan warna-warni.
Jika kampung Rawageni diundang untuk menghadiri event pameran, workshop, festival dan lainnya, selalu dimanfaatkan untuk mempromosikan pot-pot dari limbah popok dan kerajinan tangan lainnya. “Lumayan kalau dijual harga per pot Rp7 ribu sampai Rp10 ribu, kadang pot-pot ini digunakan untuk cinderamata, kalau banyak tamu-tamu yang hadir dari luar kota atau luar pulau,“ ujar Edo.
Baca juga : Bank Sampah Dayung Habibah, Cerita Para Penjaga Danau Sipin
Edo menggagas pengolahan popok bekas menjadi pot tanaman, karena 55 persen bahan popok bekas kemasan seperti pampers, berasal dari plastik yang sulit terurai. Menurut Edo, butuh 20 hingga 35 tahun lamanya untuk terurai, juga mengandung senyawa kimia super absorbent polymer (SAP) sebanyak 42% yang akan berubah menjadi gel jika terkena air. Itu sebabnya Edo memisahkan gel yang terdapat di popok ke dalam karung tersendiri. Dia akan mengembangkan lagi menjadi agar gel-gel yang akan bermanfaat di kemudian hari.
Selain memilah sampah, mengolah sampah dan memanfaatkan menjadi nilai ekonomi, warga kampung Rawageni juga membuat berbagai kudapan kuliner kering yang dijual secara online di berbagai marketplace, seperti sirup markisa, sambal goreng teri kacang, bawang goreng dan lainnya. Mesin pemotong bawang yang dijalankan dengan tenaga listrik surya panel atap itu—hasil sumbangan dari Politeknik Negeri Jakarta. Nyaris tidak ada warga kampung yang menganggur, hampir semua melakukan aktivitas dan inovasi yang ramah lingkungan.
Setiap tahun warga bergerak bersama menggelar “Festival Pepes Ikan” dan para pengunjung tidak diperbolehkan menggunakan pembungkus dari plastik, semua pembungkus makanan harus ramah lingkungan seperti daun pisang dan lainnya yang mudah terurai oleh tanah.
Ibu-ibu rumah tangga di kampung ini pun tidak dipusingkan oleh persoalan bumbu rempah di dapur atau pemenuhan gizi keluarga. Beragam jenis tanaman pangan tersedia di kebun yang dikelola secara swadaya, selain juga mengembangkan budidaya lele, ayam dan bebek.
“Prinsipnya, semua warga saya di Rawageni gak boleh kelaparan dan kurang gizi,“ kata Sanusi, Ketua RW 07. Jika ibu-ibu membutuhkan kecap, gula hingga penyedap rasa untuk memasak, tinggal barter sampah kardus atau sampah plastik dengan kebutuhan dapur di toko-toko kelontong melalui program yang dinamai “Sampah Mart”.
Sanusi memiliki kecakapan dalam bekerja, mampu mengubah pola pikir warga kampung Rawageni yang kolot menjadi mandiri dan saling bekerjasama, tanpa memandang agama, suku hingga status sosial. Rawageni di huni oleh warganya yang multikultural dan majemuk dari sisi agama, begitupun latar belakang pendidikan dan sosialnya. Namun semua itu tak menyurutkan warga untuk melakukan berbagai inovasi yang ramah lingkungan.
Mereka memiliki kesadaran bahwa ancaman climate change itu nyata, sehingga warga kampung Rawageni harus mengubah perilaku yang bertentangan dengan alam, menjadi sangat peduli dengan kondisi alam dan lingkungannya, semisal dengan menanam bibit tanaman pohon keras hingga membuat kolam embung untuk menampung kelebihan air sehingga tidak terjadi banjir jika hujan deras.
Baca juga : Cerita Danori Hidup dari Sampah, Lingkungan Merauke pun Terbantu
Masrifah Satiri atau yang biasa di sapa Eva, ibu muda yang sangat kreatif di kampung Rawageni. Dia yang paling rajin memberdayakan perempuan dari mengelola bank sampah, membuat beragam kerajinan tangan hingga memproduksi kuliner yang dapat dijual di marketplace.
Setelah sampah saset terkumpul banyak, tangan Eva sangat cekatan menggunting dan merapikan bekas bungkus kopi sachet. Eva akan menganyamnya menjadi tikar yang lebar atau membuat kerajinan tangan lainnya. Tentu butuh ketelitian dan kerja yang presisi, juga keahlian dalam komposisi—memadu-padankan motif, karena Eva juga menyeragamkan motif yang telah terangkai menjadi tikar.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Depok, setiap hari 900 hingga 1.000 ton sampah dibuang di TPA Cipayung, Depok. Diasumsikan, warga Depok rata-rata menghasilkan 0,67 liter sampah per hari. Jika jumlah warga Depok sebanyak 2 juta penduduk, sampah yang dihasilkan 1.500 ton. Padahal gunungan sampah di TPA Cipayung saja sudah mencapai angka 3,5 juta metrik ton. Tentu saja jumlah itu melebihi kapasitas dan daya tampung TPA Cipayung.
Itu sebabnya, penting bagi kampung-kampung urban di pinggiran Jakarta memikirkan, bagaimana mengolah sampah dan menghasilkan finansial dengan ekonomi sirkular dari sampah olahan tersebut. Kampung Rawageni misalnya, dapat menjadi ruang pembelajaran dalam mengelola lingkungan yang zero sampah.
Tamu-tamu yang berkunjung ke kampung ini dari berbagai lapisan usia, bahkan datang dari berbagai kota dan pulau. Banyak juga pelajar dan mahasiswa yang melakukan studi banding terkait inovasi-inovasi ramah lingkungan yang dilakukan oleh warga kampung Rawageni. Para pengunjung akan disuguhi replika-replika robot yang terbuat dari botol-botol plastik bekas, mural-mural edukatif yang dekat dengan alam dan lainnya.
Baca juga : Sampah Organik Dijadikan Pupuk Cair, Cara Efektif Kurangi Beban TPA
Kawasan Bebas Asap Rokok Yang Ramah Anak
Kampung Rawageni khususnya RW 07 telah mendeklarasi sebagai kampung bebas asap rokok, meski kadang beberapa pemuda melanggar dan memilih merokok di halaman rumahnya. Tapi gagasan sebagai kampung bebas asap rokok ini sangat baik bagi generasi mendatang—anak-anak dapat tumbuh sehat tanpa menghisap asap rokok, ibu-ibu juga dapat menghemat keuangan keluarga.
Menurut Kementerian Kesehatan RI, orang yang perokok pasif artinya orang yang berada di sekitar yang terpapar dan secara tidak sengaja menghirup asap rokok, justru yang paling dirugikan dalam hal kesehatan. Data WHO menyebutkan, sekitar 1,2 juta manusia meninggal dunia setiap tahunnya akibat asap rokok, walaupun tidak merokok
Setidaknya 7 ribu zat kimia pada asap rokok, minimal 250 diantaranya diketahui merugikan kesehatan, partikel-partikel berbahaya di dalam rokok dapat bertahan di udara selama beberapa jam atau lebih lama. Kesadaran ramah lingkungan dan hidup sehat digaungkan di seluruh RW 07. “Kita bekerja sama dan saling mendukung di setiap RT, meski kadang juga ada perbedaan dan ketidaksepakatan,“ ujar Sanusi.
Memang tak mudah bagi Sanusi yang bertahun-tahun menjabat posisi sebagai Ketua RW, tanpa ada satupun generasi baru yang mau menggantikannya. “Semoga saya bukan Ketua RW seumur hidup,“ kelakarnya.
Namun kemampuannya dalam mengedukasi warga dan membuat perubahan itu justru menjadikannya piawai berbicara di depan publik. Bahkan dia sering di undang oleh berbagai lembaga dan organisasi masyarakat sipil untuk mengajar dalam pelatihan komunitas. Tidak cuma di sekitar Jabodetabek, namun ke kota-kota lainnya di Jawa.
Meski gagasan-gagasannya seringkali menimbulkan pertentangan, namun dia tak surut mewujudkan impiannya menjadikan kampung Rawageni menjadi kampung bebas asap rokok, kampung anti narkoba, kampung ramah anak-anak, kampung bebas PBB, kampung zero sampah plastik dan lainnya.
Kampung Rawageni bangkit menjadi kampung yang mandiri berkat swadaya warganya. Mereka saling bergotong-royong. Tak ada keterlibatan Pemerintah Kota Depok dalam mendukung pendanaan dan lainnya, di awal-awal perjuangan kampung Rawageni. Namun kini, kampung ini menjadi kampung percontohan dan berhasil membangkitkan warganya dari keterpurukan. (***)
*Farida Indriastuti. Wartawan paruh waktu di Jakarta.
Kampung Iklim jadi Model Kelola Sampah Masyarakat, Seperti Apa?