- Perempuan di lahan basah Sungai Musi sangat bergantung dengan kelestarian rawa gambut. Hal tersebut tercermin dari sejumlah sastra tutur yang disajikan perempuan.
- Perempuan di Pedamaran di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, mempersoalkan rusak dan habisnya rawa gambut dalam karya sastra tutur.
- Di Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], melalui sastra tutur, perempuan menyatakan menjaga lingkungan adalah pesan dari nenek moyang.
- Sementara di Tanah Abang, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [PALI], melalui sastra tutur perempuan selalu mengingatkan agar manusia tidak tamak dengan alam.
Rawa lebak merupakan ekosistem penting di lahan basah. Baik rawa lebak pasang surut maupun tadah hujan. Rawa lebak yang kaya flora dan fauna, membuatnya menjadi sumber pangan, papan, dan ekonomi, bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Masyarakat yang menetap di lahan basah Sungai Musi mengoptimalkan ekosistem rawa lebak sebagai sumber pangan, seperti aneka jenis ikan dan padi [sawah]. Beragam jenis tanaman yang berada di rawa lebak, dijadikan bahan baku pembuatan rumah, perahu, hingga kerajinan.
Selanjutnya, hasil ikan [baik segar maupun yang sudah diolah], padi, kerajinan dari tanaman [tikar purun dan alat tangkap ikan], serta kayu [termasuk yang sudah diolah menjadi perahu atau kapal] dijadikan sumber ekonomi.
Selama ratusan tahun, perempuan di lahan basah Sungai Musi mengambil peranan tersebut, sehingga mereka melahirkan sejumlah tradisi yang dijaga hingga saat ini. Contohnya perempuan pada masyarakat Pedamaran, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, yang terus menjaga tradisi menangkap dan mengolah ikan atau membuat tikar purun.
Sekitar akhir 1990-an, lelang lebak lebung yang sebelumnya dikelola pemerintahan marga atau desa, diambil oleh pemerintah kabupaten. Bahkan, pada 2005 pemerintah Kabupaten OKI mengeluarkan peraturan daerah tentang lelang lebak lebung.
Akibatnya, hampir semua lebak dan sungai dijadikan objek lelang. Tidak ada lagi lebak dan sungai yang bebas diakses masyarakat. Di masa sebelumnya, saat lelang dikelola pemerintahan marga atau desa, tidak semua lebak dan sungai dijadikan objek lelang.
Selain itu, pada saat bersamaan, banyak rawa lebak yang berubah fungsi menjadi perkebunan monokultur skala besar.
Kondisi tersebut membuat masyarakat di Kabupaten OKI, termasuk di Pedamaran, dirugikan. Terutama kaum perempuan, yang selama ini menjadikan rawa lebak sebagai sumber livehood.
Bulat Jawo [66], penutur incang-incang di Pedamaran, yang ditemui akhir Mei 2024 lalu, turut merasakan dampak hadirnya lelang lebak lebung. Dia melahirkan karya berjudul “Lebak Pedamaran.”
Karya ini sering ditampilkan bersama karya incang-incang lain, baik yang diturunkan para penutur sebelumnya maupun yang diciptakannya.
Ini teks incang-incang Lebak Pedamaran:
Incang-incang peladang [Incang-incang peladang]
Peladang bungo padi [Peladang bunga padi]
Dulu banyak hutan [Dahulu banyak hutan]
Kayu samo sekali [Banyak pula kayunya]
Lebak purun tebentang [Lebak purun terbentang]
Purun Kemang Menyeti [Purun Kemang Menyeti]
Tak naru nek melarang [Tak ada yang melarang]
Ngambil sekendak hati [Dapat diambil sebanyak-banyaknya]
Iko lah ngali jaman [Sekarang zaman sudah berubah]
Purun tak banyak lagi [Purun tinggal sedikit]
Hutan lebak dijualkan [Hutan lebak sudah dijual]
Oleh urang pintar ni [Dijual oleh orang-orang pintar]
Lebak pedamaran [Lebak Pedamaran]
Itu kampung diri [Itulah kampung kita]
Tak ado dilelang [Tidak untuk dilelang]
Bebas samo sekali [Bebas untuk kita manfaatkan]
Nyalo dengan mukat [Menjala dan memukat ikan]
Nangkol malam hari [Menggunakan tangkul di malam hari]
Tak naru nek nyetat [Tak akan ada yang sulit]
Asal rajin mencari [Yang penting giat bekerja]
Air surut nyelempak [Sungai surut nyelempak]
Nyelempak malam hari [Nyelempak dilakukan di malam hari]
Perahu di rapatkan [Perahu dirapatkan]
Ikan melompat ke diri [Ikan melompat ke badanku]
Ikan-ikan Damaian [Ikan-ikan Damaian]
Lemaknyo bukan lagi [Sangat enak sekali]
Buko siang di panggang [Sudah dibersihkan lalu dipanggang]
Mua garam ikani [Diolesi garam]
Rebusan labu parang [Labu parang direbus]
Kangkung zat besi [Kangkung juga bergizi]
Lemak bukan kepalang [Sangat enak sekali]
Lior caro diri [Sesuai dengan lidah]
Iko Lebak Pedamaran [Inilah Lebak Pedamaran]
Tak ado bebas lagi [Sekarang tak bebas lagi]
Lebak sudah di lelang [Lebak sudah dilelang]
Nak nangkol lagi ngeri [Mencari ikan jadi takut]
Pesan nenek moyang
Pesan terkait lingkungan juga disampaikan Murni [60], penutur senjang dari Desa Kertayu, Sungai Keruh, Kabupaten Muba.
Induk burung elang layang, terbang tinggi pucuk serdang, kalang keluk diam di ladang, kayu tinggi jangan di tebang, ikak lagu kite senjang, pesan dari nenek moyang, supayo kite jago alam.
[Induk burung elang melayang, terbang tinggi di atas serdang, enak sekali tinggal di ladang, kayu tinggi jangan di tebang, ini lagu kita senjang, pesan dari nenek moyang, supaya kita jaga alam].
Bekate di masyarakat dusun Kertayu, jangan buang sampah sembarangan, nageh sungai kite tesumbat, amon sungai kite tesumbat, kotornya laju ke Sekayu, nganter seanyut ke kota Palembang.
[Saya sampaikan kepada masyarakat desa Kertayu, jangan membuang sampah sembarangan, nanti sungai kita tersumbat, jika sungai kita tersumbat, kotornya sampai ke Sekayu sekaligus ke Palembang].
Tidak tamak
Mother Earth atau ibu bumi di Nusantara [Indonesia] adalah ibu pertiwi. Layaknya seorang ibu kepada anak-anaknya, bumi memberi makan, minum, udara, serta menyediakan tempat hidup, tumbuh dan berlindung bagi semua makhluk hidup, dari lahir atau tumbuh hingga meninggal dunia atau mati.
Agar manusia hidup berkelanjutan di bumi, maka manusia tidak boleh tamak. Manusia harus berbagi makanan dengan makhluk lainnya. Manusia harus melindungi bumi layaknya seorang ibu.
Pesan manusia tidak boleh tamak atau berbagi makanan dengan makhluk hidup lainnya, digambarkan dalam sastra tutur andai-andai, berjudul “Jambu Terung Cak Kulak”, yang selalu disajikan Cik Isa atau Kajut Odon yang sudah berusia 109 tahun.
Cik Isa adalah maestro andai-andai dari Desa Tanah Abang Selatan, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir].
Karya prosa klasik ini mengisahkan dua kakak beradik yang ibunya baru meninggal dunia. Adiknya kelaparan. Lalu, sang kakak mengajaknya berjalan untuk mencari makanan. Lalu mereka menemukan buah jambu terung.
Kakak kemudian menjuluk buah itu dari pohon. Setelah jatuh ke tanah, seekor tupai mengambilnya. Kakak meminta tupai mengembalikan buah tersebut. Tupai tidak mau.
Mereka berjalan masuk hutan rimba. Bertemu sumpit. Mereka minta tolong sumpit untuk menembak tupai. Tapi sumpit tidak mau. Sebab tupai adalah temannya.
Mereka terus masuk hutan rimba. Kali ini ketemu kayu bakar atau puntung. Mereka minta tolong puntung melempar sumpit. Puntung tidak mau. Sumpit adalah temannya.
Mereka kian masuk ke hutan rimba. Bertemu api, air, kerbau, tali rotan, dan tikus, yang tidak mau mematuhi permintaan mereka dengan alasan yang sama; berteman.
Akhirnya, mereka bertemu kucing. Mereka minta tolong kepadanya. Belum sempat kucing menjawab, tikus, air, kerbau, tali rotan, puntung, dan sumpit menyatakan mau membantu.
Tupai akhirnya mengembalikan jambu terung tersebut. Tapi ukurannya tidak besar lagi, tinggal seukuran telur ayam. Jambu terung itu kemudian dimakan sebelah oleh sang adik dan sisanya dibuang ke tanah.
Tentang hubungan harmonis manusia dengan satwa liar juga dikisahkan dalam andai-andai berjudul “Perayun.” Kisah ini mengenai hubungan manusia dengan buaya.
Diceritakan hiduplah seorang nenek yang berkebun di pinggiran Sungai Perayun. Sungai ini dipenuhi buaya. Suatu hari seorang nenek hendak diserang seekor buaya. Nenek selamat setelah dia melemparkan kayuh perahu terbuat bambu, yang tersangkut di mulut buaya.
Buaya itu tak berdaya. Cukup lama buaya berusaha melepaskan kayuh dari mulutnya. Tapi, tidak berhasil.
Buaya meminta nenek untuk melepaskan benda itu dari mulutnya. Tapi, nenek tidak memenuhi permintaan buaya.
Sang nenak mau melepaskan bambu, dengan syarat si buaya tidak boleh mengganggu manusia di sekitar Sungai Perayun.
Buaya setuju. Tapi juga punya syarat. Dia minta manusia jangan menggunakan kayuh perahu dari bambu, jangan menggunakan jala saat mencari ikan, serta timba perahu jangan tertelungkup.
Sejak itu, buaya di Sungai Perayun tidak lagi mengganggu manusia. Banyaklah keluarga menetap di sekitar Sungai Perayun hingga terbentuk Dusun Lunas.
Cerita ini memberi pesan jika manusia ingin selamat dari serangan buaya di sungai atau rawa, manusia harus memikirkan makanan dan ketenangan buaya. Misalnya, tidak boleh mencari ikan dengan jala, itu menunjukkan manusia jangan terlalu tamak mengambil ikan, sebab buaya juga butuh ikan sebagai makanan.
Lalu, larangan timba perahu jangan telungkup, sebab menimbulkan suara berisik di air, sehingga buaya terganggu.