- Bubu berbahan bambu menjadi alat tangkap ikan tradisional yang masih banyak digunakan di Pulau Bangkurung, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah.
- Namun pengetahuan pembuatan dan pemanfaatannya terancam hilang seiring semakin sedikitnya generasi muda yang mau menjadi nelayan.
- Bubu dikenal sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan jika merujuk pada panduan tata cara kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab yang disebut CCRF (Code of Conduct for Resposible Fisheries) yang dikeluarkan oleh FAO tahun 1995 silam.
- Penggunaan bubu menghadapi sejumlah tantangan, seperti cuaca buruk, aktivitas illegal fishing seperti bom, dan datangnya nelayan luar yang menangkap di area pemasangan bubu nelayan lokal.
Hari menjelang malam, Imran Yaisa (61) tergopoh mengambil pola anyaman bambu di belakang rumah, yang tergantung di dinding. Tak lama ia mempraktikkan bagaimana lembaran anyaman dilipat, disambungkan menggunakan tali rafia Hanya butuh beberapa menit mengubah lembar anyaman itu menjadi sebuah bubu.
Imran, nelayan asal Desa Lantibung, Kecamatan Bangkurung, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah, sehari-hari berprofesi sebagai nelayan bubu.
Bubu merupakan alat tangkap berupa jebakan bersifat pasif, sering disebut perangkap (traps) dan pengadang (guiding barriers), berbentuk kurungan sehingga ikan yang masuk tak dapat keluar. Bubu bisa terbuat dari bermacam-macam bahan material, seperti rotan, kawat, jaring, kayu dan plastik, dan bambu.
Di Banggai Laut, sebagian besar bubu terbuat dari bambu lokal yang disebut peling, yang banyak ditemukan di dalam kawasan hutan bernama unas. Hampir semua nelayan memiliki rumpun bambu. Imran sendiri memiliki tiga rumpun bambu yang dulunya dibeli dari pemilik lama, sejak ia memutuskan tinggal di pulau itu. Bambunya lebih tipis, lurus dan lebih kuat, sehingga dianggap paling pas untuk bahan pembuatan bubu.
Bubu yang dalam bahasa Banggai disebut polon atau poloi biasanya dipasang berderetan dengan jarak sekitar 15 depa atau sekitar 20-25 meter. Setiap bubu diberi tali nilon yang menghubungkannya dengan pelampung di atas permukaan air. Pelampung yang digunakan adalah gabus styrofoam yang diikat di bagian atas, sementara pelampung kedua adalah botol aqua ukuran 1,5 liter, dipasang di bagian bawah sejarak satu meter dari pelampung pertama.
“Kalau pelampung pertama berfungsi sebagai penanda lokasi, maka pelampung kedua adalah cadangan ketika pelampung pertama hilang. Tanpa pelampung ini maka bubu berpotensi hilang atau susah diambil karena berada di dasar laut,” jelas Imran kepada Mongabay, awal Juni lalu.
Baca : Inilah Bubu Apung, Perangkap Ikan Tanpa Merusak Karang
Imran kemudian menjelaskan bagaimana bubu itu diletakkan di dasar laut. Bubu yang digunakan terbuat dari anyaman bambu yang dibuat sendiri. Bubu sepanjang satu meter ini memiliki 21 mata berukuran kecil. Bubu yang biasa digunakan adalah bubu dasar, yang diletakkan di dasar laut kedalaman sekitar 20-30 meter.
Imran biasanya melaut setelah salat subuh dan balik sekitar jam 11.00 pagi. Agar tak bergerak, di sudut bagian dalam bubu diberi batu sebagai pemberat. Untuk memancing ikan masuk ke dalam bubu, maka dipasangkan umpan berupa ikan tombo-tombo, sehingga bubu ini kerap disebut bubu umpan.
Menurut data Dinas Perikanan Kabupaten Banggai Laut saat ini terdapat 182 nelayan bubu di Kecamatan Bangkurung, atau sekitar 22,8% dari rumah tangga perikanan yang ada. Bubu yang biasa digunakan adalah bubu dasar dan bubu tono.
Menurut Imran, banyak nelayan memilih menggunakan bubu karena biaya produksi yang rendah, sementara hasilnya bisa lebih banyak dibanding alat tangkap lain. Jenis ikan yang ditangkap adalah katamba, kakatua, pogo dan molobitu. Ikan katamba biasanya dijual dalam bentuk kering atau sudah digarami, dijual seharga Rp30 ribu-Rp50 ribu/kg.
“Kalau kondisi harga sedang bagus maka penghasilan bisa Rp500 ribu-Rp600 ribu sekali turun. Harga tergantung musim, kalau cuaca buruk seperti sekarang jarang nelayan melaut maka harga bisa sangat tinggi dibanding hari biasa. Bagi nelayan seperti saya yang tidak punya kebun tetap akan melaut. Justru ini saatnya bisa dapat untung banyak dari selisih harga yang tinggi,” katanya.
Imran telah melakoni profesinya ini sekitar 40 tahun sejak pertama kali menginjak pulau tersebut sehabis menikah. Selain menangkap ikan dengan bubu dasar, ia juga kadang memancing ikan.
Baca juga : Bubu, Alat Tangkap Ikan Tradisional Ramah Lingkungan yang Digunakan Kembali di Flores Timur
Bubu buatan Imran terlihat kokoh, bisa bertahan di dasar laut hingga empat bulan, sebelum akhirnya bambu rapuh secara alami. Selain bambu, nelayan di Pulau Bangkurung juga sebagian kecil menggunakan bubu dari kawat besi, yang bisa bertahan lebih lama, sekitar setahun. Hanya saja bambu menjadi pilihan utama, selain karena faktor biaya pembuatan, bambu juga memiliki bau khusus yang disenangi ikan dan lebih cepat ditumbuhi lumut yang menjadi daya tarik ikan.
“Kalau pakai bahan bambu ikan bisa lebih cepat tertarik masuk di awal-awal diturunkan, tak sampai seminggu sudah ada ikan, sementara kawat besi bisa lama, bisa sampai sebulan sampai kilatan kawat tidak terlihat lagi dan sudah ada bau-bau laut di kawat,” jelas Saruddin, nelayan bubu dari Desa Mbeleang, Bangkurung.
Selain bubu umpan, bubu juga bisa dipasang tanpa menggunakan umpan. Model dan mekanisme sama dengan bubu umpan, namun ukuran mata berbeda, meski sama-sama memiliki 21 mata. Bubu ini kerap disebut bubu mata besar.
“Kalau pakai bubu mata besar ini jenis ikan lebih besar, ada katamba, ekor kuning, molobitu, dan lainnya,” ujar Saruddin.
Selain itu, ada juga bubu tono, yang bentuknya sama saja dengan bubu umpan. Hanya saja bubu jenis ini tidak menggunakan tali, ukuran lebih besar dan diletakkan di dasar kedalaman lebih rendah, sekitar 2-4 meter, ditutupi dengan batu karang agar tidak bergeser dihantam arus.
Ramah Lingkungan
Bubu sendiri dikenal sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan jika merujuk pada panduan tata cara kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab yang disebut CCRF (Code of Conduct for Resposible Fisheries), yang dikeluarkan oleh FAO (Food Agriculture Organization) tahun 1995 silam.
Dalam CCRF disebutkan sembilan kriteria bagi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, yaitu memiliki selektivitas tinggi, hasil tangkapan sampingan (bycatch) rendah, hasil tangkapan berkualitas tinggi, tidak merusak habitat/lingkungan, mempertahankan keanekaragaman hayati, tidak menangkap spesies yang dilindungi/terancam punah, pengoperasian alat tangkap tidak membahayakan keselamatan, tidak melakukan penangkapan di daerah terlarang dan dapat diterima secara sosial.
Baca juga : Jen Tidore, Pembuat Bubu Ikan Terakhir di Kabau Pantai
Adiwijaya, Camat Pulau Bangkurung, menilai kehadiran bubu berbahan bambu sebagai alat tangkap ikan tradisional yang harus dilestarikan, di tengah aktivitas penangkap ikan modern yang sebagian tidak ramah lingkungan. Ia ragu pengetahuan pembuatan dan penggunaan bubu bambu akan tetap bertahan ke generasi mendatang.
“Pengetahuan ini akan hilang seiring perkembangan alat tangkap modern dan semakin berkurangnya minat generasi muda untuk belajar membuat bubu dan menggunakannya. Jika tak ada anak yang melanjutkan tradisi ini maka suatu saat akan hilang dan terlupakan.”
Penggunaan bubu ini sendiri menghadapi sejumlah tantangan, seperti cuaca buruk tak menentu dampak perubahan iklim, aktivitas bom, dan datangnya nelayan luar yang menangkap di area pemasangan bubu.
“Sekitar dua tahun lalu pernah terjadi konflik dengan nelayan dari provinsi lain, mereka menggunakan jaring lingkar yang mengganggu bubu nelayan lokal. Namun ini sudah diselesaikan oleh bupati, sehingga kejadian yang sama tak pernah terjadi lagi sejak itu,” jelasnya.
Aktivitas bom sendiri masih banyak ditemukan, meski berbagai upaya penindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Adiwijaya menduga ada bekingan oknum aparat sehingga kejadian ini terus berulang, yang disinyalir dilakukan kelompok etnis tertentu.
Pulau Bangkurung sendiri berjarak tempuh sekitar 4 jam dari ibukota kabupaten menggunakan kapal angkut reguler dengan biaya tiket Rp70 ribu. Pulau ini cukup luas dengan panjang jalan mencapai 60 km, dengan masyarakatnya didominasi oleh orang Banggai, Bajo dan Bugis.
Selain kaya dengan gurita dan ikan demersal lainnya, di pulau ini juga menjadi wilayah tangkap ikan roa. Ikan-ikan ini dikemas dalam bentuk basah maupun kering, untuk diangkut ke Luwuk Banggai, sebelum akhirnya dijual ke daerah tetangga, seperti Makassar, Kalimantan dan Gorontalo. (***)