- Sebuah penelitian baru-baru ini mengungkapkan bahwa garis pantai Bali menyusut dari 668,64 kilometer menjadi 662,59 km antara tahun 2016 hingga 2021 disebabkan aktivitas manusia dan sirkulasi gelombang, rata-rata adalah -1,21 meter per tahun.
- Abrasi paling banyak terjadi di pesisir selatan Bali, termasuk pesisir barat daya dan tenggara, yakni Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Denpasar, Gianyar, Klungkung, dan Karangasem.
- Sebaliknya juga terdapat penambahan luas lahan sebesar 1,25 km2 akibat reklamasi lahan dan pembangunan infrastruktur, meski upaya ini juga meningkatkan risiko lingkungan.
- Studi ini menyoroti perlunya pengelolaan pesisir terpadu untuk menyeimbangkan perlindungan lingkungan dengan kebutuhan masyarakat pesisir.
Sebuah penelitian yang baru-baru ini diterbitkan menyebut jika Pulau Bali menyusut lebih cepat dibandingkan sebagian besar wilayah pesisir lainnya di dunia, diakibatkan oleh aktivitas manusia dan sirkulasi gelombang.
Garis pantai Bali menurun menjadi 662,59 kilometer dari sebelumnya 668,64 km terjadi diantara tahun 2016 hingga 2021 dengan rata-rata -1,21 meter per tahun.
Penelitian ini dilakukan oleh sekelompok peneliti dari Indonesia, Jepang, dan Turkiye di jurnal mereka yang diterbitkan pada tanggal 29 Mei di jurnal Regional Studies in Marine Science.
Secara global, 24% pantai berpasir di dunia mengalami erosi dengan kecepatan lebih dari 0,5 m (1,6 kaki) per tahun. Erosi pantai di AS menyebabkan kerugian dan kerusakan properti senilai $500 juta setiap tahunnya.
Abrasi ditambah dengan kenaikan permukaan laut yang terus-menerus dapat memperburuk banjir di wilayah pesisir dan kemunduran lebih lanjut, sehingga mengancam ekosistem, infrastruktur, dan masyarakat sekitar.
Wilayah pesisir Bali sendiri sangat penting sebagai warisan sosio-ekonomi dan budaya, dan berfungsi sebagai pusat pemukiman bagi sebagian besar penduduk, penggerak perekonomian melalui pariwisata dan memiliki makna budaya, tradisional dan nilai religi yang mendalam.
“Pesisir Asia berada di bawah ancaman akibat kenaikan permukaan air laut dan pembangunan yang pesat,” tulis makalah tersebut.
“Masalah-masalah ini seringkali diakibatkan oleh perencanaan dan pendanaan yang tidak memadai dalam mengelola erosi.”
Garis pantai merupakan indikator krusial untuk memantau perubahan pesisir serta perencanaan tata ruang dan pembangunan berkelanjutan disebabkan perannya bagi ekosistem pesisir dan lingkungan laut.
Jurnal tersebut menyebut perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya di wilayah pesisir Bali, dikarenakan penggunaan data citra beresolusi tinggi terbaru untuk memantau garis pantai.
Para peneliti, yang dipimpin oleh Amandangi Wahyuning Hastuti dari Graduate School of Science and Technology for Innovation di Yamaguchi University, menganalisis metode dan data geospasial canggih yang mencakup durasi enam tahun dari 2016-22 dan pada bulan Maret 2023.
Survey ini dilakukan lewat survei lapangan di sepanjang garis pantai provinsi Bali, dengan mengumpulkan data total dari 75 titik pengambilan sampel.
Mereka menemukan bahwa erosi pantai berpasir paling banyak terjadi di pesisir selatan Bali, termasuk pesisir barat daya dan tenggara, yakni Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Denpasar, Gianyar, Klungkung, dan Karangasem.
Pulau Bali berbatasan dengan Laut Bali (utara), Selat Bali (barat), Selat Lombok (timur) dan Samudera Hindia (selatan), dengan rangkaian pegunungan yang membentang dari barat ke timur yang membagi pulau menjadi bagian utara dan selatan.
Topografinya dicirikan oleh endapan aluvial vulkanik di sebagian besar pantai dengan formasi batu kapur di selatan. Formasi geologisi ini secara signifikan mempengaruhi evolusi pesisir, morfologi pantai masa kini dan pembentukan pantai-pantai yang dipenuhi hutan mangrove di wilayah-wilayah seperti Teluk Benoa, Teluk Gilimanuk dan Pulau Nusa Lembongan bagian utara.
Namun, perkembangan pesat pariwisata, seperti perluasan bandara, pembangunan jalan bebas hambatan dan hotel di tepi laut, telah menimbulkan tantangan lingkungan seperti polusi, abrasi dan perubahan penggunaan lahan yang signifikan, yang mengancam lingkungan alam.
Jurnal penelitian tahun 2022 menunjukkan bahwa 22% wilayah pesisir Bali masuk dalam kategori sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti erosi, banjir dan badai, termasuk kenaikan permukaan air laut.
Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), permukaan laut telah meningkat rata-rata 2,5 milimeter (0,09 inci) per tahun dalam 25 tahun terakhir.
Studi yang baru diterbitkan ini menemukan bahwa Bali mengalami pertumbuhan pesisir yang signifikan dengan peningkatan lahan bersih sebesar 1,25 km2 yang melebihi laju erosi di provinsi kepulauan tersebut selama periode studi.
Para peneliti mengatakan reklamasi lahan dan pembangunan infrastruktur berkontribusi terhadap peningkatan garis pantai, sementara proses alam dan campur tangan manusia telah mengikis pantai Bali.
Mereka menunjukkan bahwa struktur pantai seperti tembok laut, karung pasir, pemecah gelombang atau groin, turut memberikan perlindungan terhadap erosi.
Namun, tambahan garis pantai buatan ini dapat menyebabkan konsekuensi negatif yang tidak dapat dihindari, diantaranya erosi pantai di bagian hilir, penurunan kualitas air, sedimentasi dan dampak sosio-ekonomi selanjutnya di kalangan masyarakat pesisir. Kajian teknis yang tepat untuk hal ini merupakan suatu keharusan.
“Dinding laut dapat secara efektif melindungi pantai terhadap banjir dan erosi, serta melumpuhkan pasir pantai di sekitarnya,” tulis jurnal tersebut.
“Namun, biaya dan efektivitas tembok laut ini bergantung pada bentuk dan ukurannya.”
Ketut Sarjana Putra, penasihat senior di Conservation International, yang tidak terlibat dalam penelitian ini memberikan pandangannya.
“Seperti saran dari penelitian ini, dan sejauh pengetahuan saya, maka pengelolaan pesisir di pulau kecil seperti Bali memerlukan pemodelan menyeluruh, termasuk perubahan garis pantai dan dinamika laut yang terkait dengan perubahan iklim,” sebutnya dalam sebuah wawancara dengan Mongabay.
“Sehingga dapat diputuskan cara yang paling efektif untuk mengelola garis pantai dan agar pantai dapat mempertahankan keseimbangannya sepenuhnya.”
Ketut mengatakan kajian seperti ini memberikan kita masukan bahwa jika kita memikirkan dampaknya 10 atau 20 tahun ke depan, sekarang waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi perihal penambahan garis pantai atau reklamasi.
“Pulau dan pergerakan gelombang bersifat dinamis dan kita tidak memiliki data yang dapat memprediksi kapan keduanya akan menjadi stabil dan seperti apa polanya. Kita belum dapat memutuskan seberapa besar risikonya di masa depan dan seperti apa bentuk intervensi terbaik.”
Sayangnya, jelas Ketut, pemerintah Bali belum menghasilkan master plan dengan pendekatan holistik, terpadu dan interdisipliner dalam pengelolaan pesisir pulau.
Para peneliti dalam jurnal penelitian ini berpendapat bahwa hanya berfokus pada perlindungan lingkungan saja tidaklah cukup, karena pengelolaan pantai yang baik memerlukan keseimbangan antara kepentingan melindungi masyarakat pesisir dan ekosistemnya.
“Provinsi Bali dapat memitigasi dan mencegah erosi pantai lebih lanjut dengan menerapkan strategi spesifik per lokasi dan melindungi ekosistem pesisir yang berharga serta infrastruktur penting,” tulis jurnal tersebut.
Tulisan asli: Bali’s rapid coastal erosian threatens island’s ecosystems & communities: Study. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita
Referensi:
Hastuti, A. W., Nagai, M., Ismail, N. P., Priyono, B., Suniada, K. I., & Wijaya, A. (2024). Spatiotemporal analysis of shoreline change trends and adaptation in Bali Province, Indonesia. Regional Studies in Marine Sciences, 76. doi:10.1016/j.rsma.2024.103598
Luijendijk, A., Hagenaars, G., Ranasinghe, R., Baart, F., Donchyts, G., & Aarninkhof, S. (2018). The state of the world’s beaches. Scientific Reports, 8(1). doi:10.1038/s41598-018-24630-6
Hastuti, A. W., Nagai, M., & Suniada, K. I. (2022). Coastal vulnerability assessment of Bali province, Indonesia using remote sensing and GIS approaches. Remote Sensing, 14(17), 4409. doi:10.3390/rs14174409
***
Foto utama: Pura Tanah Lot di Bali, Indonesia. Foto: Justine Hong melalui Flickr (CC BY-SA 2.0).