- Transisi energi ke sumber terbarukan adalah keniscayaan di tengah ancaman krisis iklim. Ia pun jadi target capaian Indonesia. Pemerintah sebentar lagi berganti, akankah presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran akan serius melakukan transisi energi?
- Nizar Marizi, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Kementerian PPN/Bappenas mengatakan, untuk pengembangan transisi energi ini, Bappenas tengah menggodok arah kebijakan transisi energi dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJN) pada 2025-2045.
- Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional juga praktisi energi mengatakan, kebijakan energi perlu selaras dengan kebijakan perubahan iklim. Kedepan arah penilaian ketahanan energi yang sebelumnya nasional perlu dinilai secara regional.
- Pius Ginting, Koordinator Nasional Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan, selain kebijakan, pendanaan juga perlu menjadi perhatian dalam transisi energi ini. Untuk tak menambah beban negara, katanya, transisi energi agar menghindari skema utang.
Transisi energi ke sumber terbarukan adalah keniscayaan di tengah ancaman krisis iklim. Ia pun jadi target capaian Indonesia. Pemerintah sebentar lagi berganti, akankah presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran akan serius melakukan transisi energi?
Nizar Marizi, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Kementerian PPN/Bappenas mengatakan, untuk pengembangan transisi energi ini, Bappenas tengah menggodok arah kebijakan transisi energi dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJN) pada 2025-2045.
Dalam rancangan ini ada arahan delapan transisi energi, antara lain, retirement pembangkit listrik tenaga uap secara bertahap.
Selain itu, pemanfaatan kendaraan transportasi yang menggunakan energi bersih juga akan dipercepat, dan penggunaan sistem penyimpanan energi secara massal di seluruh Indonesia.
“Dalam pelaksanaannya, transisi energi ini perlu kita kawal bersama,” katanya Juni lalu dalam diskusi yang diadakan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER).
Dalam lima tahun pertama (2025-2029), di rancangan akhir RPJN itu akan fokus pada pengembangan energi terbarukan juga mengurangi emisi karbon dari energi fosil.
Sedangkan baseline porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025, yaitu 20%, dengan target 70% pada 2045. Sedang baseline Indeks Ketahan Energi 2025 sebesar 6,64%, dengan target 8,24% pada 2045.
Indonesia, katanya, untuk nilai investasi skenario dekarbonisasi menuju net zero emmision 2025-2060 sebesar Rp794,6 triliun per tahun.
Dalam kondisi ideal, pada 2025-2060, pemerintah dan swasta mengalokasikan 2% ke investasi hijau, dan masih terdapat kesenjangan (celah) investasi Rp458,2 triliun.
Dia bilang, penerapan kebijakan pembiayaan hijau alternatif, seperti realokasi subsidi, pajak karbon, bisa mengisi 84% dari celah itu. Artinya, masih perlu alternatif pendanaan, serta investasi hijau yang keberlanjutan.

Selaraskan kebijakan
Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional juga praktisi energi mengatakan, kebijakan energi perlu selaras dengan kebijakan perubahan iklim. Kedepan arah penilaian ketahanan energi yang sebelumnya nasional perlu dinilai secara regional.
Bersama beberapa stakeholder, mereka berkoordinasi untuk perhitungan ketahanan energi dan mengidentifikasi ketersediaan data. Dalam perhitungan ketahanan energi regional ini, data masih bersifat nasional dan per sektor.
“Minimnya data perhitungan ketahanan energi di daerah ini juga jadi tantangan tersendiri.”
Apa kata daerah dalam transisi energi ini? Briliant Faisal, Fungsional Perencana Ahli Madya Bappeda Sumatera Selatan mengatakan, selalu menyesuaikan dengan arah dan kebijakan nasional.
Dalam capaian bauran energi terbarukan di provinsi yang dikenal dengan sebutan Bumi Sriwijaya ini melebihi nasional yaitu, 23,85% pada 2022.
Sumatera Selatan, katanya, bisa kembangkan energi terbarukan sampai 21.032 MW, seperti dari air, matahari, panas bumi, bioenergi dan angin.
Meskipun begitu, sebagai daerah penghasil batubara, untuk jadi mandiri dalam ketersediaan energi ini Sumatera Selatan juga alami kendala. Salah satu, terbatasnya kewenangan pemerintah daerah terutama di kabupaten atau kota.
Untuk itu, perlu ada sinkronisasi maupun harmonisasi kebijakan energi antara pusat dan daerah. “Dalam upaya menuju transisi energi ini pemerintah daerah memerlukan dukungan regulasi dari pemerintah pusat.”
Sementara Pius Ginting, Koordinator Nasional Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan, selain kebijakan, pendanaan juga perlu menjadi perhatian dalam transisi energi ini. Untuk tak menambah beban negara, katanya, transisi energi agar menghindari skema utang.
Sebagai gantinya, pemerintah perlu melakukan debt swap and debt cancellation (pertukaran dan penghapusan utang) dengan mitra internasional maupun lembaga keuangan.
Perlu juga menjalin kemitraan dengan organisasi global yang berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, seperti green climate fund. Pemerintah juga perlu mempertegas pajak karbon, dan windfall profit tax.
Penggunaan hibah dan bantuan teknis dari lembaga multilateral dan donor internasional juga perlu dioptimalkan.
Pemerintah, kata Pius, juga perlu membangun mekanisme jelas dan akuntabel, serta memperkuat langkah-langkah anti-korupsi dengan berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil.
“Dengan berbagai dinamikanya kebijakan transisi energi rendah karbon ini perlu terus didorong dalam kepemimpinan pemerintahan baru Prabowo-Gibran nantinya,” katanya.

********
Transisi Energi Minim Keterlibatan Publik, Pemerintah Diminta Transparan