Baru-baru ini, koalisi jurnalis yang terhimpun dalam Depati Proyek merilis laporan terkait deforestasi skala luas di Kalimantan Barat. Laporan ini menyorot berbagai sudut pandang di lapangan dan memperlihatkan betapa kusut tata kelola hutan di Indonesia, meskipun upaya pembenahan sektor ini dilakukan dalam satu dekade terakhir.
Kehilangan tutupan hutan ini terjadi di konsesi milik perusahaan HTI, PT Mayawana Persada Selama periode 2021-2023, tercatat kehilangan hutan lebih 30.000 hektar, menjadikannya deforestasi terluas dalam satu hamparan selama satu dekade terakhir.
Laporan Koalisi Masyarakat Sipil menyebut, sekitar 80% dari luas deforestasi tersebut merupakan kawasan hidrologis gambut.
Kalau melihat keseluruhan, total kawasan hidrologis gambut di konsesi itu lebih 60% dari 136.710 hektar. Hampir 40.000 hektar teridentifikasi sebagai kawasan lindung gambut, sisanya, masuk gambut budidaya. Untuk memulai operasi di lokasi ini, perusahaan akan membangun kanal-kanal di gambut dengan tujuan mengeringkan lahan hingga bisa ditanami akasia. Praktik ini sering dilakukan perusahaan kebun kayu di wilayah lain seperti Sumatera Selatan, Riau, ataupun Jambi.
Analisis Greenpeace pada 2021 menyebut, semua kawasan hidrologis gambut di Indonesia masuk kategori kritis, baik ringan, sedang, maupun berat. Kekritisan ini dinilai dari jumlah kanal-kanal gambut yang terbangun.
Pembangunan kanal akan makin memperparah kondisi dan memicu kebakaran lahan gambut ketika musim panas, terutama selama El-Nino. Tren kebakaran selama beberapa tahun terakhir menunjukkan area terbakar di lahan gambut selalu didahului pembangunan kanal.
Di bagian lain dari konsesi Mayawana yang masuk area hutan dengan tanah mineral, teridentifikasi sebagai habitat orangutan Kalimantan dan sejumlah satwa endemik lain seperti beruang madu. Aktivitas perusahaan mendesak orangutan berpindah ke area yang dikelola masyarakat.
Pembukaan area gambut dan penghancuran habitat orangutan tentu tidak sejalan dengan semangat menekan laju kenaikan suhu bumi atau menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati. Padahal, Indonesia memiliki komitmen yang tertuang dalam sejumlah dokumen termasuk dalam nationally determined contribution (NDC) sebagai bagian keikutsertaan Indonesia di UNFCCC.
Indonesia juga sebagai bagian dari peserta Convention on Biological Diversity (CBD), ikut menandatangani KMGBF (Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework) yang akan diikuti dengan penyusunan dokumen NBSAP (National Biodiversity Strategic and Action Plan).
Anehnya, perusahaan terus melanjutkan penghancuran hutan meskipun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menerbitkan surat penghentian aktivitas penebangan di area konsesi Mayawana.
Ketika perusahaan mengabaikan perintah KLHK, tidak ada tindakan memaksa yang dilakukan kementerian itu selaku wakil pemerintah yang memiliki kewenangan di bidang kehutanan.
KLHK juga masih membolehkan deforestasi dengan luasan tertentu tiap tahun, seperti tertuang dalam dokumen resmi. Perkiraan Pemerintah, potensi deforestasi terencana maupun tidak selama periode 2013-2030 sebesar 4,22 juta hektar. Kondisi tentu amat mengecewakan, karena tutupan hutan di Indonesia dari tahun ke tahun makin memburuk dan luasan terus berkurang. Hal itu juga memberi ruang bagi perusahaan untuk terus melakukan deforestasi dengan lebih percaya diri.
Sementara itu, masyarakat atau pasar yang ingin ikut membendung deforestasi selalu terganjal dengan terbatasnya informasi mengenai rantai suplai dan jejaring aktor perusahaan yang terlibat.
Di Indonesia, praktik pengelolaan izin berbasis lahan kerap melibatkan perusahaan anonim yang berdomisili di negara suaka pajak.
Keterlibatan perusahaan anonim
Analisis struktur kepemilikan perusahaan Mayawana mengungkapkan kompleksitas yang berujung di dua yurisdiksi yang dikenal sebagai yurisdiksi kerahasiaan: British Virgin Islands dan Samoa. Negara-negara ini, menurut laporan dari International Consortium of Investigative Journalism (ICIJ), menyediakan fasilitas kerahasiaan yang dimanfaatkan oleh banyak perusahaan di seluruh dunia.
Meskipun tidak semua perusahaan yang terdaftar di sana terlibat dalam kegiatan ilegal, keberadaan mereka di yurisdiksi ini seringkali menimbulkan kecurigaan. Data menunjukkan, lebih dari 90% perusahaan terdaftar di negara-negara surga pajak memiliki tujuan untuk memanfaatkan aturan pajak yang longgar dan kerahasiaan finansial.
Surga pajak seperti British Virgin Islands dan Samoa terkenal karena aturan kerahasiaan ketat dan pajak yang rendah bahkan nol persen. Kondisi ini, menciptakan lingkungan sangat menarik bagi perusahaan-perusahaan yang ingin mengurangi beban pajak mereka secara legal. Namun, ini juga menciptakan celah bagi potensi penyalahgunaan.
Laporan ICIJ mencatat, banyak perusahaan terdaftar di surga pajak ini terlibat dalam skandal keuangan besar, termasuk pencucian uang dan penghindaran pajak. Pada 2016, misal, kebocoran dokumen Panama Papers mengungkap bagaimana perusahaan-perusahaan besar dan individu kaya menggunakan entitas offshore untuk menyembunyikan aset mereka dari otoritas pajak di negara asal mereka.
Menurut laporan Tax Justice Network, yurisdiksi kerahasiaan atau secrecy jurisdictions memainkan peran penting dalam memfasilitasi aliran keuangan gelap yang merugikan negara-negara berkembang hingga US$1-1,6 triliun setiap tahun akibat penghindaran pajak dan pencucian uang.
Yurisdiksi ini menyediakan lingkungan yang melindungi identitas pemilik sebenarnya dari aset dan transaksi mereka. Hingga mempersulit otoritas pajak dan penegak hukum untuk melacak aliran dana yang mencurigakan.
Laporan Koalisi Masyarakat Sipil menemukan, indikasi keterkaitan perusahaan ini dengan salah satu perusahaan kertas terbesar di Indonesia, Royal Golden Eagle. Perusahaan ini memiliki komitmen pengelolaan hutan berkelanjutan dan tidak akan memasok bahan baku dari hasil deforestasi.
Indikasi keterkaitan itu berdasarkan kesamaan aktor yang terlibat di Mayawana dengan perusahaan lain yang diduga di bawah kendali grup RGE, hubungan pasokan bahan baku, dan beberapa aspek lainnya.
Grup RGE membantah temuan koalisi masyarakat sipil ini dengan mengatakan bahwa pelibatan perusahaan di yurisdiksi kerahasiaan: untuk menyembunyikan atau memutus keterkaitan antara satu entitas dengan entitas lain.
Praktik serupa bukan hanya terjadi di Mayawana. Sejumlah laporan pernah mengungkap keterkaitan perusahaan yang terlibat penghancuran hutan dan kebakaran dengan perusahaan anonim atau menggunakan struktur perusahaan yang rumit. Misal, laporan dari Global Witness menemukan, sejumlah konsesi sawit di Kalimantan dimiliki perusahaan yang terdaftar di luar negeri,dan antara lain, berada di secrecy jurisdiction.
Kondisi ini mempersulit upaya pemerintah memverifikasi kepatuhan perusahaan terhadap peraturan lingkungan dan perpajakan.
Sekarang, seperti yang di Mayawana, siapa yang harus didesak untuk menghentikan deforestasi ini? Pertanyaan ini juga terlontar ketika diskusi publik SIEJ, komunitas jurnalis lingkungan, di Jakarta Mei lalu.
Tak ada jawaban tunggal atas pertanyaan ini. Untuk menjaga asa, rasanya perlu melihat peluang dari sisi kebijakan maupun hal yang bisa dilakukan masyarakat.
Memutus hubungan penghancuran
Dari sisi kebijakan, pemerintah dapat menggunakan instrumen Perpres 13/2018 tentang transparansi pemilik manfaat korporasi. Namun, aturan ini tidak cukup kuat untuk mengungkap siapa pemilik sesungguhnya.
Laporan Greenpeace awal 2024 membuktikan, deklarasi pemilik manfaat oleh perusahaan tidak terlalu akurat. Karena itu, proses verifikasi harus dilakukan untuk memastikan apakah nama yang dideklarasikan perusahaan akurat atau tidak.
Saat ini, rancangan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tengah digodok, sebagai turunan dari Perpres 13/2018. Harapannya, aturan ini, bisa mengurai sedikit masalah ketidakakuratan informasi pemilik manfaat korporasi yang dideklarasikan perusahaan.
Indonesia juga dapat mempertimbangkan langkah lebih progresif, seperti membatasi keterlibatan perusahaan yang terdaftar di secrecy jurisdiction dalam struktur kepemilikan perusahaan yang mengelola sumber daya alam.
Langkah ini, dapat mendorong transparansi lebih besar dan mempersulit upaya menyembunyikan praktik-praktik merusak. Ke depan, tidak ada lagi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia oleh perusahaan anonim.
*****
*Penulis Syahrul Fitra, adalah Project Lead Defund Nature Destruction, Greenpeace. Tulisan ini merupakan opini penulis.
Was-was Bencana Kala Perusahaan Babat Hutan dan Gambut di Kalbar