- PBB menetapkan 11 Juli sebagai Hari Populasi S edunia. Tujuannya, untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu kependudukan, termasuk hubungannya dengan lingkungan dan pembangunan.
- Jumlah penduduk bumi saat ini mencapai 8 miliar lebih. Indonesia berada diurutan ke empat negara dengan jumlah populasi terbanyak di dunia setelah India, China, dan Amerika, dengan jumlah 279 juta jiwa lebih.
- PBB menyebut bahwa populasi dan pembangunan berkelanjutan harus dipertimbangkan dalam konteks perubahan iklim dan tantangan lingkungan global lainnya, yang berdampak langsung pada pembangunan berkelanjutan.
- Pertumbuhan populasi memiliki dampak ekologis terhadap lingkungan. Sebab, hutan dan habitat lainnya diganggu atau dihancurkan untuk pembangunan rumah, bisnis, dan jalan demi mengakomodasi populasi yang terus bertambah.
Sejak 1990, PBB menetapkan 11 Juli sebagai Hari Populasi Sedunia. Tujuannya, untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu kependudukan, termasuk hubungannya dengan lingkungan dan pembangunan. Data terbaru Worldometer menunjukkan, jumlah penduduk bumi saat ini mencapai 8 miliar lebih.
Proyeksi terbaru menunjukkan, populasi manusia dunia akan mencapai 10 miliar orang pada 2057 dan 10,4 miliar tahun 2100.
Berdasarkan laporan terbaru PBB yang diluncurkan 11 Juli 2024, diperkirakan populasi dunia akan mencapai puncaknya pada pertengahan 2080-an. Tumbuh selama enam puluh tahun ke depan dari 8,2 miliar pada 2024 menjadi sekitar 10,3 miliar orang, lalu kembali menjadi 10,2 miliar orang pada akhir abad ini.
Laporan tersebut menyoroti perbedaan regional, dengan beberapa wilayah mengalami pertumbuhan populasi yang cepat dan wilayah lainnya menghadapi penurunan. Wawasan tersebut memberikan panduan penting bagi para pembuat kebijakan saat mereka berusaha mempromosikan pembangunan berkelanjutan, mengoptimalkan alokasi sumber daya, dan memastikan akses ke layanan sosial yang penting bagi semua.
Dataset World Population Prospects 2024 memberikan gambaran umum komprehensif mengenai tren populasi global antara 1950 dan 2024, yang melacak tingkat pertumbuhan, struktur usia, dan tiga komponen perubahan populasi [kesuburan, kematian, dan migrasi internasional]. Juga, proyeksi tren masa depan hingga tahun 2100 di tingkat global, regional, dan nasional.
“Sesuai tema Hari Populasi Sedunia tahun ini, berinvestasi dalam pengumpulan data penting untuk memahami permasalahan, merancang solusi, dan mendorong kemajuan. Begitu juga keuangan. Saya mendesak negara-negara di dunia untuk memanfaatkan KTT Masa Depan tahun ini sebaik-baiknya dan mengeluarkan modal terjangkau untuk pembangunan berkelanjutan,” terang Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Gutteres, dalam keterangan tertulisnya.

Populasi dan degradasi lingkungan
Populasi manusia yang semakin bertambah setiap tahun bisa menjadi masalah, terutama dalam kaitannya dengan sumber daya alam dan juga kesejahteraan manusia.
Dalam sebuah laporan singkat yang diluncurkan PBB melalui World Population Prospects, menjelaskan bahwa hubungan antara populasi dan pembangunan berkelanjutan harus dipertimbangkan dalam konteks perubahan iklim dan tantangan lingkungan global lainnya.
Pertumbuhan populasi, bisa jadi bukan penyebab langsung kerusakan lingkungan, namun dapat memperburuk masalah atau mempercepat waktu kemunculan. Tergantung pada masalah yang dihadapi, jangka waktu yang dipertimbangkan, teknologi yang tersedia, serta konteks demografi, sosial dan ekonomi.
Menurut tim peneliti dari University of California Museum of Paleontology [UCMP] yang tergabung dalam proyek Understanding Global Change, pertumbuhan populasi manusia berdampak pada sistem bumi dengan berbagai cara, termasuk meningkatkan ekstraksi sumber daya dari lingkungan. Sumber daya ini termasuk bahan bakar fosil [minyak, gas, dan batubara], mineral, pohon, air, dan satwa liar, terutama di lautan.
Proses pengambilan sumber daya, pada gilirannya, sering melepaskan polutan dan limbah yang menurunkan kualitas udara dan air, serta membahayakan kesehatan manusia dan spesies lainnya. Juga, meningkatkan pembakaran bahan bakar fosil sebagai energi untuk menghasilkan listrik dan untuk menggerakkan transportasi seperti mobil, pesawat dan proses industri.
“Pertumbuhan populasi dapat meningkatkan penggunaan air tawar untuk air minum, pertanian, rekreasi, dan proses industri. Air tawar diekstraksi dari danau, sungai, tanah, dan waduk buatan manusia,” tulis laporan tersebut.
Dijelaskan lagi bahwa pertumbuhan populasi memiliki dampak ekologis terhadap lingkungan. Sebab, hutan dan habitat lainnya diganggu atau dihancurkan untuk membangun daerah perkotaan, termasuk rumah, bisnis dan jalan untuk mengakomodasi populasi yang terus bertambah.
Selain itu, seiring bertambahnya populasi, semakin banyak lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian dan memelihara ternak. Hal ini, pada gilirannya, dapat menurunkan populasi spesies, rentang geografis, keanekaragaman hayati, dan mengubah interaksi di antara organisme.
Tim ini juga menyoroti meningkatnya perburuan yang mengurangi populasi spesies yang dieksploitasi. Tidak hanya itu, pengangkutan spesies invasif, baik secara sengaja maupun tidak, ketika orang bepergian dan mengimpor dan mengekspor pasokan, akan ikut meningkat.
Urbanisasi juga menciptakan lingkungan yang terganggu, ketika spesies invasif sering tumbuh subur dan mengungguli spesies asli. Sebagai contoh, banyak spesies tanaman invasif yang tumbuh subur di sepanjang lahan di samping jalan raya.
“Peningkatan populasi juga rentan dengan penularan penyakit. Manusia yang tinggal di daerah padat penduduk dapat dengan cepat menyebarkan penyakit di dalam dan di antara populasi. Selain itu, karena transportasi menjadi lebih mudah dan sering, penyakit dapat menyebar dengan cepat ke daerah baru,” ungkap para peneliti.

Dilema bonus demografi Indonesia
Jumlah populasi yang terus bertambah bisa menjadi potensi baik, namun juga bisa membawa masalah. Berdasarkan data worldometer, jumlah penduduk Indonesia saat ini per Juli 2024 adalah 279 juta jiwa lebih.
Indonesia berada diurutan ke empat negara dengan jumlah populasi terbanyak di dunia setelah India, China, dan Amerika. Tahun 2045, jumlah penduduk Indonesia diprediksi sebanyak 313 juta jiwa.
Di tahun itu pula, tepat Indonesia berusia 100 tahun atau satu abad dan dirancang sebagai “Indonesia Emas”, dengan menargetkan Indonesia sebagai negara maju, moderen, dan sejajar dengan negara-negara adidaya di dunia.
Target 2045 itu bertumpu pada generasi muda. Indonesia akan mengalami bonus demografi, yaitu kondisi jumlah penduduk produktif melebihi jumlah penduduk yang tidak produktif lagi.
Diperkirakan, jumlah usia produktif antara 15-64 tahun sebanyak 70 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Kondisi seperti ini tidak mudah terjadi atau bahkan bisa dikatakan kesempatannya hanya sekali. Dengan adanya bonus demografi, diharapkan dapat membawa Indonesia sebagai negara maju sesuai Visi Indonesia 2045.
Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] memberikan catatan kritis mengenai visi Indonesia Emas 2045 yang disebut memiliki tantangan besar. Menurut Walhi, Indonesia sedang memasuki era yang penuh tantangan ekologis signifikan di tahap akhir periode kedua Presiden Joko Widodo. Upaya memulihkan lingkungan, mengatasi krisis iklim, dan melindungi hak asasi manusia cenderung stagnan, bahkan mundur. Alih-alih menyambut Indonesia Emas, kondisi ini justru akan membawa pada Indonesia Cemas.
“Slogan nawacita yang seharusnya menjadi tonggak pemulihan lingkungan, justru bertransformasi jadi alat mendorong pembangunan infrastruktur. Langkah pembangunan yang diambil pun malah mengancam ekologi dan kesejahteraan masyarakat,” papar Raynaldo G Sembiring, Ketua Dewan Nasional Walhi.