- Rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Muara Laboh tahap II mendapat protes dari sejumlah kalangan. Pada proyek PLTP I saja, sudah menimbulkan berbagai dampak lingkungan dan sosial masyarakat. Apalagi ada pengembangan, akan memperluas dampak buruk terhadap lingkungan dan komunitas serta melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia.
- Belum lama ini, Walhi mengirim petisi kepada Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Nippon Export Investment Insurance (NEXI) selaku investor dan meminta kedua lembaga keuangan itu tidak memberikan dukungan pendanaan pada proyek yang dikelola PT Supreme Energy Muara Laboh (SEML) itu.
- Walhi menilai, PLTP Muara Laboh Tahap I melanggar pedoman lingkungan hidup dan sosial JBIC/NEXI. Dengan begitu, berarti JBIC/NEXI gagal memastikan, proyek yang mereka dukung mematuhi pedoman itu.
- Proses pembebasan lahan untuk proyek PLTP Muara Laboh I terdapat pengabaian hak warga. Ada juga intimidasi kepada para petani agar melepaskan lahan, terutama mereka yang sebelumnya mengelola lahan eks HGU PT Peconina Baru. Selain itu, PLTP Muara Laboh I juga berdampak parah terhadap petani yang menggantungkan lahannya dari aliran Sungai Bangko Janiah, Bangko Karuah, dan Liki.
Rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Muara Laboh tahap II di Solok Selatan, Sumatera Barat, mendapat protes dari sejumlah kalangan. Pada proyek PLTP I saja, sudah menimbulkan berbagai dampak lingkungan dan sosial masyarakat. Apalagi ada pengembangan, akan memperluas dampak buruk terhadap lingkungan dan komunitas serta melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia.
Belum lama ini, Walhi mengirim petisi kepada Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Nippon Export Investment Insurance (NEXI) selaku investor dan meminta kedua lembaga keuangan itu tidak memberikan dukungan pendanaan pada proyek yang dikelola PT Supreme Energy Muara Laboh (SEML) itu.
Melalui laman websitenya, JBIC dan NEXI menyampaikan, mereka tengah mempertimbangkan memberikan dukungan terhadap proyek PLTP Unit 2. JBIC dan NEXI memberikan dukungan finansial untuk PLTP Muara Laboh unit 1 sejak 2017.
Walhi menilai, PLTP Muara Laboh Tahap I melanggar pedoman lingkungan hidup dan sosial JBIC/NEXI. Dengan begitu, berarti JBIC/NEXI gagal memastikan, proyek yang mereka dukung mematuhi pedoman itu.
“Hingga tidak ada alasan pembenar bagi JBIC/NEXI untuk melanjutkan dukungan mereka pada pengembangan PLTP Muara Laboh tahap 2,” kata Rere Cristanto, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional, dalam rilis kepada media.
Berbagai persoalan
Ada beberapa alasan mendasari Walhi menolak pengembangan PLTP II ini. Pertama, PLTP Muara Laboh I dan II gagal mempertimbangkan proses pembebasan lahan yang dilakukan secara paksa dan diskriminatif pada proyek ini sebelumnya.
Kedua, rencana pengembangan hanya akan memperparah dampak pada pertanian (gagal panen) di WKP Liki Pinangawan Muara Laboh karena pencemaran dan pasokan air berkurang.
Ketiga, pengembangan PLTP Muara Laboh II dapat memperparah ancaman gangguan kesehatan dan keselamatan masyarakat karena konsentrasi gas. Keempat, dapat memperparah dampak banjir akibat perubahan bentang alam
Walhi mengatakan, penelitian sebelumnya menemukan, proses pembebasan lahan untuk proyek PLTP Muara Laboh I terdapat pengabaian hak warga. Ada juga intimidasi kepada para petani agar melepaskan lahan, terutama mereka yang sebelumnya mengelola lahan eks HGU PT Peconina Baru.
“Situasi ini memaksa petani meninggalkan lahan dan beralih mata pencaharian menjadi pedagang, kuli atau buruh tani, bahkan terpaksa terlibat dalam pertambangan maupun logging,” tulis Rere, sapaan akrabnya.
Selain itu, PLTP Muara Laboh I juga berdampak parah terhadap petani yang menggantungkan lahannya dari aliran Sungai Bangko Janiah, Bangko Karuah, dan Liki.
Pada 2021, atau dua tahun pasca SEML resmi berproduksi, sebagian besar petani di Jorong Kampung Baru Pekonina, Jorong Taratak Tinggi Pekonina, dan Jorong Sapan Sari Pekonina mengalami gagal panen padi. Air irigasi mereka, katanya, membawa material berat berwarna hitam. Lahan pertanian bahkan mengeras hingga tak lagi bisa ditanami dalam tempo setahun.
Operasi pertambangan panas bumi juga membutuhkan air sangat besar, mencapai 37-60 liter perdetik. Kebutuhan ini dipenuhi dari sumber air yang sama yang digunakan masyarakat. Alhasil, banyak sawah di sekitar menjadi pertanian lahan kering. Beberapa lahan malah nganggur karena tak ada air.
PLTP Muara Laboh I juga berisiko tinggi meracuni lingkungan dan masyarakat, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Terlebih, jarak PLTP dengan permukiman Jorong Taratak Tinggi Pekonina dan Jorong Kampung Baru relatif dekat, sekitar 500 meter.
“PLTP Muara Laboh menghasilkan 24 ppm gas H2S saat berproduksi. Kadar sebesar itu cukup untuk memberi dampak buruk jangka pendek dan panjang untuk kesehatan masyarakat dan kerusakan lingkungan,” kata Rere.
Gas H2S ini, sangat beracun bagi manusia, korosif, dan sangat mudah terbakar. Ketika terbakar, gas H2S mengeluarkan gas mematikan lain seperti, yakni sulfur dioksida yang memiliki gejala.
“Pada konsentrasi rendah akan merasakan iritasi pada mata, pilek, dan batuk. Kadarnya meningkat, makin parah, dengan efek samping yang disebutkan sebelumnya mulai terjadi, seperti pusing dan mual hingga kematian dalam hitungan detik,” kata Rere.
Walhi juga mencatat, hasil perhitungan tingkat bahaya erosi (TBE) dari analiis mengenai dampak lingkungan (amdal) PLTP Muara Laboh menunjukkan, wilayah proyek merupakan daerah yang memiliki TBE sedang sampai sangat tinggi.
Situasi itu, menjadikan masyarakat di sekitar area tapak lebih rentan gagal panen, banjir, kekeringan, hingga kerusakan rumah dan lahan.
Bagi Walhi, upaya mencapai transisi yang cepat, adil, dan merata dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan tidak boleh jatuh kepada bentuk solusi palsu. Walhi pun meminta JBIC dan NEXI tidak memberi dukungan pada proyek-proyek besar yang justru menyebabkan kerusakan lingkungan, dan merugikan masyarakat.
“Transisi energi yang adil harusberidasarkan prinsip-prinsip keadilan, tanpa kerugian di masyarakat.”

Riwayat PLTP
Tahun 2010, SEML mulai masuk untuk eksplorasi, dengan meminta masyarakat yang mendiami eks HGU Pekonina Baru meninggalkan sawah, kebun dan rumah mereka.
Berdasar cacatan Walhi, masyarakat yang tinggal di lahan eks HGU Pekonina Baru adalah keturunan para pekerja perkebunan era kolonial. Berarti mereka menempati, merawat dan mengelola lahan lebih 20 tahun. Pengambil- alihan lahan secara paksa ini menyebabkan masyarakat kehilangan sumber kehidupan mereka.
Penelitian Walhi menemukan, hilangnya sumber pendapatan itu memaksa masyarakat pindah tempat dan beralih menjadi pedagang, kuli atau buruh tani. Bahkan, tidak sedikit pula yang bekerja sebagai penebang kayu hutan.
Masyarakat sekitar proyek menyatakan sejak awal, SEML tidak pernah menyampaikan secara transparan mengenai dampak apa saja yang mungkin terjadi karena beroperasinya geothermal. Sosialisasi yang melibatkan masyarakat terdampak langsung juga tidak pernah berjalan.
Kalau pun ada, hanya melalui para tokoh dan pemangku adat.
PLTP Muara Laboh berada di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Liki Pinangawan Muara Laboh, Solok Selatan, Sumatera Barat, berjarak sekitar 160 kilometer sebelah tenggara Kota Padang.
Merujuk dokumen amdal addendum III, penetapan WKP SEMLI pada 30 Maret 2009 melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor: 1086 K/MEM/2009. Tak tanggung-tanggung, total kawasan yang ditetapkan dalam WKP ini mencapai 62.300 hektar, meski pada akhirnya mengalami beberapa kali perubahan.
Sampai saat ini, SEML memproduksi listrik hingga berkapasitas 1×85 MW net (89,2 MW gross). Listrik kemudian disalurkan melalui switchyard milik SEML ke jaringan transmisi listrik 150 KV PLN yang berada sekitar 3,2 kilometer dari PLTP.
Dalam kajian Walhi menyebut, lapangan panas bumi di Muara Laboh memiliki prospek cadangan hingga 250 MW. Karena itu, melalui studi amdal ketiga ini, perusahaan merencanakan melakukan sejumlah perubahan antara lain, peningkatan kapasitas produksi PLTP II sebesar 24,1 MW, dari 67,1 MW jadi 87,7 MW net atau 91,2 MW gross dengan tambahan lahan 43,6 hektar.
Perubahan itu akan diikuti sejumlah kegiatan pendukung meliputi pembangunan dan pengoperasian satu wellpad baru (Wellpad ML-K) beserta fasilitasnya seperti mud pond, waters pond, lima wellhead dan cellar, serta perpiaan.
Perusahaan juga akan melakukan pengeboran dan pengoperasian 20 sumur meliputi 9 sumur produksi dan 11 sumur injeksi pada wellpad baru dan wellpad eksisting.
Wengky Purwato, Direktur Eksekutif Wahi Sumatera Barat (Sumbar), menambahkan, dalam operasinya, SEML membuka dan mengubah sekitar 180 hektar bentang lahan yang dahulu merupakan hutan dan ladang (agroforestri) masyarakat.
Hutan dan ladang ini, katanya, berdampingan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat, yang merupakan penyokong hidup masyarakat Pauh Duo. Taman nasional ini juga hulu dari beberapa sungai seperti Bangko Janiah, Sungai Liki, dan Bangko Karuah yang menjadi bagian dari DAS Batanghari.
Perubahan bentang lahan ini menyebabkan kerusakan dan menurunkan daya dukung lingkungan.
Hutan dan ladang yang ditanami tanaman tegakan seperti karet dan kopi itu dulu, adalah kawasan yang mempunyai fungsi penting sebagai penahan air dan pembatas antara wilayah kelola masyarakat dan kawasan konservasi.
Ladang dengan metode agroforestri ini, katanya, bisa menghasilkan nilai ekonomi masyarakat dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis wilayah itu.
“Pasca dibuka dan diubah bentang lahan, masyarakat menuturkan ada perbedaan drastis dari fluktuasi debit air sungai yang menandakan penurunan daya dukung lingkungan.”

Penurunan daya dukung lingkungan, katanya, juga tercermin dari intensitas banjir yang sering terjadi.”
Alvin Putra, peneliti Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai, secara teori, Indonesia memiliki potensi geothermal cukup tinggi hingga 23,9 GW, sebagaimana data KESDM.
Sayangnya, tantangan pengembangan sektor ini cukup berat. Sebagian besar potensi geothermal berada di hutan lindung dan beririsan dengan wilayah masyarakat.
“Bisa dibilang, energi terbarukan yang cukup menantang adalah geothermal. Agak sulit mengintegrasikan eksplorasi dan pemanfaatan geothermal sesuai kebutuhan masyarakat sekitar,” kata Alvin.
Menurut dia, teknologi pada geothermal sangat spesifik hingga pengelolaan bersama juga bukan opsi. Dia pun tidak heran bila dalam banyak kasus proyek-proyek geothermal mendapat penolakan warga karena tidak ada keselarasan dan kesalahan pendekatan di awal.
“Muara Laboh salah satu buktinya. Contoh lain di Wae Sano.”
Alvin menilai, harga jual geothermal makin lama makin tidak atraktif. Teknologinya sudah tidak berkembang lagi, risiko biaya eksplorasi juga masih besar.
Meidina Dwisavira, Corporate Relations and Communications Coordinator Supreme Energy Group mengatakan, terbuka dari masukan positif. “Sebagai bagian dari kontrol sosial dan lingkungan terhadap kegiatan kami,” katanya.
Dia mengatakan, terkait dampak sosial dan lingkungan yang jadi dari poin-poin petisi itu, sebenarnya sudah jadi fokus perhatian mereka.
Meidina berdalih, tetap patuh dan terus menjalani serta melakukan peningkatan soal sosial dan lingkungan yang diperlukan dalam pengembangan unit berikutnya.
“Sudah kami jalankan dari awal proyek pengembangan unit 1 sesuai standar internasional dan aturan perundangan berlaku di Indonesia,” katanya. (Kontribusi: Jaka Hendra Baittri)
*******