- Kasus-kasus konflik lahan kerap memberikan dampak sosial dan ekonomi pada perempuan dan anak.
- Konflik di Taman Wisata Alam Gunung Batur Bukit Payang, Kintamani, Bangli, Bali, sampai kini masih berlangsung karena pemerintah memberi konsesi lahan hutan pada investor untuk pengembangan wisata.
- Di sisi lain, ada warga yang sudah turun temurun tinggal dan menolak digusur
- Komnas Perempuan melakukan pendataan sejumlah dampak konflik atas program pemerintah terutama pada perempuan di TWA Gunung Batur Bukit Payang.
Konflik penguasaan lahan hutan masih berlangsung di kawasan taman wisata alam (TWA) Batur Gunung Payang, Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Warga yang sudah lama bertani dan tinggal di kawasan menolak digusur karena pemerintah memberi hak kelola pada investor wisata.
Sekelompok petani dan warga perempuan memimpin penolakan ini dengan berbagai aksi dan perlawanan pengurugan alat berat. Salah seorang perempuan dipidana dengan tuduhan pengancaman. Warga kemudian mengadu dan audiensi ke sejumlah lembaga di Jakarta, ditemani Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali.
Rezky Pratiwi, Direktur LBH Bali mengatakan lima warga juga sudah bertemu Komnas Perempuan di Jakarta, ditemui Dewi Kanti. Sebelumnya mengirim surat untuk menghentikan penyidikan petani perempuan yang dikriminalisasi. “Komnas kemudian mengirimkan surat atas pemidanaan Semiati, sebulan kemudian kasus dihentikan,” ujarnya saat mendampingi kunjungan balasan dari Dewi Kanti, tengah Juni lalu.
Dewi Kanti menjelaskan ini adalah mandat Komnas Perempuan dalam upaya pemenuhan hak perempuan dalam pengelolaan lingkungan dan menjaga ruang hidup. “Mendengar perlakuan yang dirasakan perempuan, yang dianalisis apakah kekerasan berbentuk gender atas dampak situasi konflik,”katanya. Misalnya kebutuhan air berkurang, kepentingan sekolah anak, dampak ekonomi dan sosial masyarakat.
Dalam situasi konflik, kerentanan perempuan lebih tinggi. Ini adalah isu prioritas serta menyiapkan rekomendasi dari pendokumentasian kasus untuk pengubah kebijakan dalam desain pembangunan. Dalam beberapa kasus konflik agraria atau sumberdaya alam, ia mengatakan, ruang litigasi banyak mengalami hambatan.
“Kami memberi penguatan warga petani penggarap, tahun lalu mereka datang ke Komnas Perempuan dan kami perlu melihat langsung. Kami ingin lembaga negara hadir di konflik ruang memastikan hak atas kehidupan bagi warga yang sudah tinggal turun temurun, tak kehilangan hak atas lingkungan sehat,” paparnya.
Dalam berbagai konflik ruang, otoritas kerap tak memberikan informasi optimal termasuk yang substantif. Tak heran pihaknya banyak mendapat pengaduan tata ruang, penyebabnya kelemahan di pola pemberian komunikasi yang tidak diberikan utuh, sehingga warga tidak tahu persis yang akan dibuat. Dampaknya, warga kehilangan pendapatan, dampak ekonomi dalam konflik. Dampak sosial juga rentan pada perempuan dan anak-anak. “Kohesi sosial perlu dijaga. Bagaimana projek kemajuan mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis,” lanjutnya.
Dalam rencana aksi penanganan konflik sosial, sejak 2020 lebih dari 20 kasus konflik agraria dan tata ruang terkait proyek strategis nasional karena kelemahan pola komunikasi, tak ada partisipasi warga terutama perempuan. Padahal dampak kebijakan pada perempuan besar sekali dalam perubahan tata ruang. Ia mencontohkan konflik di Nagakeo, Sumatera Utara, dan lainnya.
Baca : Memantau Tutupan Hutan Bali, Mencegah Bencana Terulang Lagi
Terkait solusi dalam situasi konflik, selain litigasi juga nonlitigasi. “Apakah betul dengan wisata itu memajukan masyarakat? Putus mata rantai akan menutuskan generasi, warisan sumber air bukan mata air masalah. Temuan pola saat ini perempuan berani bersikap di depan. Kepemimpinan perempuan diakui dan bisa meminimalisir konflik. Perlu pembekalan tapi aparatur hukum punya perspektif penanganan konflik misal tidak represif,” harapnya.
Mek Yu, salah satu petani perempuan di kawasan TWA Batur ini merisaukan tak bisa mengakses sumber pendapatan jika lahannya dikelola investor. “Nanti tidak bisa makan ikan,” keluhnya.
Sejumlah warga secara bergantian menceritakan ikhwal mereka menempati lahan negara. Periode 1930-an kembali ke lokasi tanah dari pengungsian dari letusan Gunung Batur pasca letusan dahsyat 1926.
Karena merasa aman, mereka mukim di sekitar danau. Kalau naik ke bebukitan di Kintamani akses air susah. Hanya beberapa menanam bawang atau ketela rambat juga mencari ikan di danau untuk kehidupan sehari-hari. Periode kedua, ada pengungsi lain datang pada 1980-an. “Kami masih tidur di bawah batu. Rumahnya masih berjarak 5-6 km dari lokasi mencari ikan. Tahun 90an rombongan warga lain datang lagi. Pemerintah mengajak pembibitan pohon ampupu, belalu, cangi untuk penghijauan kawasan hutan,” cerita mereka bergantian.
Direktur PT. Tanaya Pesona Batur (TPB), Ida Bagus Putu Agastya dalam sebuah wawancara dengan Mongabay Indonesia mengatakan sudah mendapat izin dari pemerintah untuk membangun dan menata TWA ini selama 35 tahun dan bisa diperpanjang. Ia menyebut sebagian warga sudah setuju.
Pihaknya sudah mengajukan perjanjian kerja sama (PKS) pada warga dengan sejumlah kesepakatan. Membuatkan sejumlah fasilitas seperti sarana irigasi dan akses jalan menuju danau Batur yang terbatas hanya untuk aktivitas budidaya perikanan, aktivitas kemasyarakatan, dan aktivitas keagamaan. Sementara kawasan lain dikelola untuk wisata.
Kilas Balik Konflik Lahan
LBH Bali menyusun kronologis perlawanan warga ini untuk menolak digusur. Dalam catatan itu disebutkan pada saat letusan Gunung Batur di tahun 1926, warga desa batur direlokasi ke atas di Desa Bayunggede, Kintamani. Saat itu oleh warga lokasi itu disebut Karanganyar (tempat baru).
Namun, setelah dirasa aman, warga kembali turun lebih dekat ke danau untuk mengakses air dan bertani. Bapak dari Guru Wayan Banyak dan keluarganya meninggali daerah bekas aliran lahar gunung, masuk kawasan Pura Prapen. Saat itu mata pencarian utama masih sebagai nelayan di danau batur. Kemudian anaknya, Guru Wayan Banyak mulai membuka lahan untuk pertanian ketika hasil tangkapan mulai sedikit. Saat itu yang ditanami adalah ketela rambat, kol, dan bawang pada musim hujan.
Pasca letusan gunung batur 1926 sebagian warga yang sudah direlokasi kembali ke desa batur dan menguasai kembali lahan. Warga memilih kembali karena telah memiliki tempat sembahyang di bawah, sumber air juga lebih dekat dengan danau. Warga desa juga sudah memiliki Pura yakni pura jati di Ulundanu. Sekitar 1947 ada pembagian desa sehingga terbentuk Desa Batur Utara. Kemudian diikuti dengan Desa Batur Tengah dan Selatan. Sedangkan di desa adat songan menjadi Songan A dan Songan B.
Baca juga : Ketika Air Makin Komersil di Bali, Subak Makin Terjebak
Pada tahun 1988-1989 ada pembongkaran rumah (bangunan semi permanen tempat sementara untuk sembahyang yang dibangun tembok dengan atap terpal, digunakan setahun sekali selama 3 hari) yang dilakukan oleh pihak kehutanan karena disebut lahan yang ditempati tersebut merupakan kawasan hutan. Pihak kehutanan mengimbau warga bahwa dilarang untuk membangun di kawasan tersebut. Setelah pembongkaran itu warga kembali membangun pondok darurat karena tidak punya lagi tempat untuk tinggal.
Setelah pembongkaran itu sekitar tahun 1990-an ada lagi sekitar 10 KK dari Desa Songan masuk ke kawasan hutan (Desa Batur Tengah). Mereka masuk karena merasa tidak perlu lagi izin/mesubak ke warga batur yang menguasai lahan serta ngayah ke Desa Adat Batur, karena lahan dinyatakan sebagai hutan oleh pihak kehutanan.
Pada tahun 1991 juga, pihak kehutanan membuat proyek pembibitan kayu putih di dekat danau dan di Loloan pada tahun 1992/1993. Warga yang tinggal di kawasan ikut bekerja di proyek pembibitan tersebut.
Tahun 1987 beberapa warga mulai menjadi driver dan guide bagi turis yang datang ke Kintamani, serta menjual makanan dan minuman. Tahun 2003 beberapa warga diminta bekerja untuk memasang patok batas hutan oleh pihak kehutanan. Informasi mengenai luas kawasan, fungsi hutan, dan bagaimana proses pengukuhan hutan tidak diketahui warga.
Banyaknya warga Desa Songan yang datang ke batur untuk tinggal dan membuka lahan dilatarbelakangi oleh sulitnya air di Songan (sekitar balik bukit). Sumber air bagi warga yang tinggal disana saat itu berasal dari air hujan yang ditampung pada tempat penampungan air. Harga untuk membuatnya cukup mahal.
Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), kawasan HW Gunung Batur Bukit Payang berfungsi sebagai Hutan Wisata berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 821/Kpts/Um/11/1982 tanggal 10 Nopember 1982 dengan luas ±2.075 Ha. Kawasan ini termasuk ke dalam Register Tanah Kehutanan (RTK) 7 Gunung Batur Bukit Payang.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.204/Menhut-II/2014 tanggal 03 Maret 2014 tentang Penetapan Kelompok Hutan Gunung Batur-Bukit Payang (RTK.7) seluas 2.528 Ha dengan fungsi kawasan TWA seluas 2.075 Ha dan Kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 453 Ha, yang terletak di Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
Pada Juli 2022 PT. Tanaya Pesona Batur memperoleh ijin berusaha di ruang usaha TWA Gunung Batur Bukit Payang berdasarkan perijinan berusaha sarana wisata alam (PB SWA) No 02202013614380001, dengan luas keseluruhan 85,66 Ha. Ijin pengelolaan oleh PT Tanaya Pesona Batur mencakup Desa Adat Batur, secara administrasi masuk Desa Batur Utara, Tengah, Selatan. Kawasan kehutanan yang sebelumnya dikelola petani penggarap pada 2014 mendapat penetapan sebagai taman wisata alam gunung batur bukti payang dengan fungsi utama sebagai hutan konservasi yang dikelola BKSDA.
Pada Mei 2020 terbit Surat Nomor: 27/DAB/V/2020 dari Desa Adat Batur, Perihal Dukungan/Persetujuan Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam di TWA Gunung Batur Bukit Payang, yang menyatakan dukungan/persetujuannya terkait usaha penyediaan sarana wisata alam PT. Tanaya Pesona Batur di TWA Gunung Batur Bukit Payang.
Tertanggal 20 Januari 2021 terbit Surat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangli Nomor: 556/022/Disparbud, Perihal Pertimbangan Teknis terhadap PT. Tanaya Pesona Batur.
Tertanggal 10 Februari 2021 terbit Surat BKSDA Bali Nomor: S.51/BKSDA.BL-1/WA/2/2021, Perihal Pertimbangan Teknis Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) PT. Tanaya Pesona Batur di TWA Gunung Batur Bukit Payang, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
Kemudian pada 25 Februari 2022 terbit SK Dirjen KSDAE No. SK.33/KSDAE/PJLKK/KSA.3/2/2022 perihal Pengesahan Rencana Pengusahaan Sarana Jasa Lingkungan Wisata Alam Atas Nama PT. Tanaya Pesona Batur (PT TPB) seluas 85,66 Hektar di Blok Pemanfaatan Taman Wisata Alam Gunung Batur Bukit Payang, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, Untuk Jangka Waktu 35 Tahun, tertanggal 25 Februari 2022. Akhirnya 22 Juli 2022 terbit perizinan berusaha PT Tanaya Batur atas nomor 02202013614380001 dari (OSS) oleh Kementerian LHK.
Pada September 2022 warga mendapat undangan sosialisasi dari investor di Hotel Segara, Kedisan. Warga saat itu menyarankan melakukan sosialisasi ulang karena tidak semua warga terdampak hadir jadi tidak ada kesepakatan yang terjadi. Dalam sosialisasi PT Tanaya menyebut akan membangun dermaga untuk wisata danau, lobi, resort, panggung balai budaya akan condong ke tengah danau, serta kolam hot spring.
Karena sejumlah warga menolak, Maret 2023 ada 5 warga yang menerima undangan klarifikasi ke Polda terkait penguasaan di dalam kawasan hutan. Lima orang warga hadir dan diperiksa yakni Pak Sadu, Bli Arya, Catu, Ade, Mangku Siker. Alat berat dari perusahaan mulai diturunkan pada 4 Juli 2023 untuk membuka lahan pengganti. Meski warga tidak setuju pembukaan tetap dilakukan, sehingga terjadi kerusakan seperti pipa yang rusak, hingga ternak yang terganggu. (***)