Masyarakat global memperingati Hari Populasi Sedunia setiap 11 Juli. Resolusi 46/2016 ini, menjadi tonggak Majelis Umum PBB untuk meningkatkan kesadaran persoalan kependudukan dalam relasinya dengan pembangunan dan lingkungan.
Isu populasi yang dikaitkan dengan pembangunan dan lingkungan hidup menjadi sangat tepat. Ini dikarenakan, seringkali pertambahan populasi penduduk dan pembangunan [antroposentris] menjadi antitesis terhadap eksistensi lingkungan [ekosentris].
Padahal, sejatinya populasi manusia dapat harmoni dengan lingkungan dalam proses pembangunan, jika dapat memahami peran dan batasannya secara konsisten. Ini memerlukan proses dialogis antara komunitas ekologis dan komunitas manusia yang dikenal dengan Living System Theory.
Hubungan tekanan populasi manusia, pembangunan dan eksistensi hutan sering diperdebatkan melalui bahasan deforestasi. Laman globalforestwatch.org memaparkan, sejak 2021-2023 Indonesia kehilangan 30.8 Mha tutupan pohon. Ini setara dengan penurunan 19% tutupan pohon sejak tahun 2000 dan 22.2 Gt emisi CO₂e.
Namun, bila merujuk laman PPID-KLHK, dinyatakan bahwa kurun 2021-2022 deforestasi justru mengalami penurunan 8,4% dibandingkan hasil pemantauan tahun yang sama. Deforestasi netto Indonesia 2021-2022 sebesar 104 ribu hektar, sementara deforestasi Indonesia 2020-2021 sebesar 113,5 ribu ha.
Deforestasi dapat terjadi juga dikarenakan faktor alam seperti el nino maupun kebakaran secara alami. Meski demikian, aktivitas manusia untuk pemukiman [urbanisasi] maupun usaha komoditas, sedikit banyaknya turut berkontribusi. Artinya, faktor manusia [anthropos] ataupun kumpulan manusia yang memiliki kesamaan wilayah atau interes [community], turut ambil bagian terjadinya deforestasi.
Manusia/komunitas tidak serta-merta dituduh sebagai musabab tunggal rusaknya hutan. Dengan manajemen dan strategi yang tepat, mereka justru dapat didayagunakan untuk menjaga hutan. Atau, dikenal dengan pendekatan community-based conservation.
Pendekatan ini diakui oleh Esmail dkk [2023] dalam riset di Jurnal Trends in Ecology & Evolution berjudul “What’s on the horizon for community-based conservation? Emerging threats and opportunities” yang bukan saja berpihak pada kepentingan pelestarian hutan. Namun juga, akan mendukung upaya mata pencaharian serta menguatkan tata nilai, budaya dan kelembagaaan masyarakat lokal.
Secara eksplisit, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memaparkan keberadaan masyarakat dalam misi Renstra 2020-2024. Dalam misi ke-3, dijelaskan bahwa pihak kementerian berupaya mewujudkan keberdayaan masyarakat dalam akses kelola hutan, baik laki-laki maupun perempuan, secara adil dan setara.
Partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan
Pengarusutamaan partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan bukan bermakna pelepasan tanggung jawab. Justru, strategi ini sesuai dengan paradigma pembangunan berkelanjutan [sustainainable development] yang didengungkan sekarang. Pendekatan ini berupaya mengintegrasikan tiga domain pembangunan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi.
Keterlibatan masyarakat dalam pelestarian hutan perlu dipantik dengan berbagai faktor. Manfaat ekonomi dan harmoni sosial di kawasan hutan menjadi pilihan optimal. Meski hadirnya kesadaran sebagaimana pada kaum ekosentris dapat saja terjadi, namun dalam pragmatisme diperlukan kompromi yang realistis.
Ketika manfaat ekonomi diperoleh dan program-program pemberdayaan bagi masyarakat kawasan hutan mudah diakses, maka motivasi partisipasi pelestarian hutan akan tergerak.
Sebagai gambaran, keterlibatan masyarakat Pulau Masakambing, Sumenep, Jawa Timur, dalam konservasi habitat burung kakatua kecil jambul kuning [Cacatua sulphurea abbotti] dapat menjadi kajian. Habitat satwa ini umumnya berupa hutan mangrove, hutan rakyat, dan perkebunan.
Kakatua kecil jambul kuning merupakan satwa dilindungi, sebagaimana tercantum pada P 106 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Berdasarkan Badan Konservasi Dunia [IUCN], statusnya Kritis [Critically Endangered/CR].
Semula, populasi satwa yang nama lokalnya ‘Beka’ ini hanya hitungan jari di alam. Sekarang, jumlahnya meningkat menjadi sekitar 25 individu.
Peran masyarakat setempat tentunya sangat signifikan. Bagaimana tidak? Masyarakat merelakan hutan dan tanaman mereka menjadi pohon sarang kakatua, tanpa diganggu. Kesadaran masyarakat juga tumbuh, untuk menjaga keutuhan area hutan mangrove maupun hutan rakyat.
Pulau Masakambing yang semula tidak dikenal, kini banyak dikunjungi peneliti maupun wisatawan minat khusus. Bahkan, Desa Wisata Jantung Nusantara di Pulau Masakambing, mendapat penghargaan sebagai Desa Wisata Binaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2003.
Penegakan hukum sebenarnya dapat dilakukan terhadap kegiatan perburuan kakatua, karena ada instrumennya. Namun, berkaca kasus di lapangan pendekatan ini justru dapat memberikan efek domino lebih besar di masyarakat.
Implementasi berkelanjutan
Implementasi partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan harus dilakukan secara cermat. Konsistensi pada regulasi mutlak dijalankan tanpa ada pengecualian. Salah satu contoh, zona inti pada kawasan hutan taman nasional harus benar-benar steril dari aktivitas pemanfaatan yang dapat mengubah keutuhannya.
Program-program pemberdayaan juga harus dilakukan secara berkesinambungan dengan dibarengi upaya penyadartahuan dan pendampingan. Jika tidak, program pemberdayaan justru menjadi bahan penyanderaan bagi para pelaku destruktif hutan dalam kasuistik pembalakan liar, yang behenti ketika kegiatan berjalan dan berulah ketika program selesai.
Walaupun partisipasi masyarakat dalam konteks aspek pemanfaatan hutan menjadi perhatian, bukan berarti upaya perlindungan dan pengawetan ditinggalkan. Seluruhnya, harus tetap berjalan.
Hal terpenting adalah hadirnya pemerintah daerah sebagai pemangku wilayah. Meski kawasan hutan memiliki otoritas pengelolaan tersendiri, namun masyarakat desa penyangga di luar kawasan hutan menjadi tanggung jawab otoritas pemerintah lokal.
Saatnya, kita bersinergi untuk mencapai harmoni ekologi dan ekonomi.
* Ihsannudin, Dosen Penyuluhan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jember dan Badan Pengawas Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia Koordinator Daerah Jawa Timur [FK3I Korda Jatim]. Tulisan ini opini penulis.
Konservasi dan Ekowisata Kakatua Jambul Kuning di Pulau Masakambing