- Singapura telah mengambil langkah berani dengan menyetujui 16 spesies serangga sebagai bahan pangan aman dan bergizi bagi manusia.
- Serangga menawarkan sumber protein alternatif yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, kaya akan nutrisi seperti protein, asam amino esensial, vitamin, dan mineral.
- Penerimaan serangga sebagai makanan semakin meningkat, didorong oleh inovasi kuliner, kerangka regulasi yang jelas, dan kesadaran akan potensinya dalam mengatasi tantangan ketahanan pangan global.
Singapura telah mengambil langkah progresif dengan menyetujui 16 spesies serangga sebagai bahan pangan yang aman untuk dikonsumsi manusia. Keputusan ini diambil oleh Singapore Food Agency (SFA) setelah melalui serangkaian penelitian dan evaluasi ilmiah yang ketat selama bertahun-tahun. Spesies-spesies yang disetujui telah terbukti secara ilmiah memiliki profil nutrisi yang baik dan aman dikonsumsi berdasarkan standar keamanan pangan internasional. Langkah ini sejalan dengan upaya Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) untuk mempromosikan konsumsi serangga sebagai sumber protein yang ramah lingkungan, berkelanjutan, dan dapat menjadi solusi potensial bagi tantangan ketahanan pangan global.
Regulasi dan Inovasi Kuliner Serangga
Singapore Food Agency (SFA) tidak hanya menyetujui serangga sebagai bahan pangan, tetapi juga telah merilis pedoman rinci tentang budidaya, pengolahan, dan pelabelan produk serangga untuk memastikan keamanan dan kualitasnya bagi konsumen. Spesies yang telah mendapatkan lampu hijau dari SFA meliputi berbagai tahap pertumbuhan, termasuk jangkrik (Gryllidae), belalang (Caelifera), larva ngengat (Lepidoptera), dan bahkan lebah madu (Apis mellifera). Serangga-serangga ini dipilih karena memiliki kandungan protein yang tinggi, asam amino esensial, vitamin, dan mineral, serta rendah lemak jenuh. Keputusan ini disambut baik oleh para ahli serangga seperti Skye Blackburn, seorang ahli entomologi dan ilmuwan pangan Australia, yang telah lama mengadvokasi manfaat nutrisi dan lingkungan dari konsumsi serangga. Ia melihatnya sebagai tanda keterbukaan Singapura terhadap alternatif pangan yang inovatif dan berkelanjutan.
Sebuah jaringan restoran Singapura, House of Seafood, bahkan telah bersiap menyajikan 30 hidangan berbasis serangga, termasuk sushi dengan hiasan ulat sutra, kepiting telur asin dengan superworms (larva kumbang gelap), dan bakso dengan topping cacing. Menu-menu inovatif ini diharapkan dapat menarik minat konsumen dan meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap serangga sebagai bahan pangan. Produk-produk serangga impor yang diizinkan antara lain minyak serangga yang kaya akan asam lemak tak jenuh ganda, pasta mentah dengan tambahan serangga yang meningkatkan kandungan protein dan serat, cokelat dan permen dengan kandungan serangga tidak lebih dari 20%, serta larva lebah, grub kumbang, dan pupa ulat sutera olahan yang menawarkan cita rasa dan tekstur unik.
Warisan Kuliner Serangga Global
Konsumsi serangga bukanlah fenomena baru, melainkan telah mengakar dalam sejarah panjang budaya kuliner di berbagai penjuru dunia. Praktik entomofagi, atau konsumsi serangga, telah ada selama ribuan tahun dan tersebar luas di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Serangga ternyata menyimpan kekayaan nutrisi yang jarang diketahui banyak orang. Kendati bayangan memakan serangga bikin bergidik, nyatanya di berbagai belahan dunia, serangga diolah untuk dijadikan lauk.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 2.205 spesies serangga telah menjadi bagian dari diet manusia di 128 negara, terutama di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di Asia, konsumsi serangga memiliki akar budaya yang kuat dan beragam. Di Thailand, misalnya, serangga seperti jangkrik, belalang, dan larva kumbang air raksasa menjadi camilan populer yang dijual di pasar-pasar tradisional dan warung makan pinggir jalan. Olahan serangga Thailand terkenal dengan cita rasa gurih dan pedasnya, sering kali digoreng dengan bumbu rempah atau ditambahkan ke dalam salad. Di Jepang, inago (belalang sawah) dan hachinoko (larva lebah) dianggap sebagai makanan tradisional yang memiliki nilai gizi tinggi. Sementara di Korea Selatan, beondegi (kepompong ulat sutera) merupakan camilan populer yang direbus atau dikukus.
Di Indonesia sendiri, terdapat beragam hidangan tradisional yang berbahan dasar serangga. Sate ulat sagu, misalnya, merupakan makanan khas Papua yang terbuat dari ulat sagu yang gemuk dan kaya protein. Belalang goreng, yang populer di Gunungkidul, Yogyakarta, memiliki cita rasa gurih dan renyah. Rempeyek laron, yang terbuat dari larva rayap, merupakan camilan unik yang sering muncul saat musim hujan. Botok tawon, yang berisi larva lebah madu, adalah hidangan khas Jawa Timur yang menawarkan rasa gurih dan sedikit manis. Jangkrik goreng, yang populer di Ciamis, Jawa Barat, dimasak dengan bumbu balado yang pedas dan gurih. Selain itu, ada juga sayok, hidangan khas Sulawesi Utara yang terbuat dari larva capung yang ditangkap di danau-danau.
Di Meksiko, tradisi entomofagi telah ada sejak zaman pra-Hispanik. Escamoles, atau larva semut, dianggap sebagai makanan lezat yang langka dan mahal. Larva semut ini memiliki rasa mentega yang lembut dan sering dijadikan hidangan mewah di restoran-restoran kelas atas. Selain escamoles, chapulines (belalang) juga merupakan camilan populer yang dibumbui dengan cabai dan jeruk nipis.
Di Afrika, serangga seperti ulat mopane (larva ngengat) dan rayap menjadi sumber protein penting bagi masyarakat lokal, terutama di daerah pedesaan. Ulat mopane kaya akan protein, zat besi, dan kalsium, dan sering dikeringkan atau diasap untuk memperpanjang masa simpannya. Rayap, yang kaya akan lemak dan protein, biasanya digoreng atau dipanggang.
Singapura, sebagai negara kosmopolitan dengan beragam budaya kuliner, memiliki peluang besar untuk mengadopsi dan mengembangkan tradisi entomofagi dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dengan memanfaatkan kekayaan pengetahuan dan resep tradisional dari negara-negara lain, Singapura dapat memperkaya khazanah kulinernya dengan cita rasa dan nutrisi yang unik dari serangga. Selain itu, dengan menerapkan inovasi kuliner dan teknologi modern, Singapura dapat menciptakan hidangan serangga yang menarik dan lezat, sehingga dapat meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap serangga sebagai bahan pangan yang berkelanjutan dan bergizi.
Keunggulan Serangga Dibanding Ternak Konvensional
PBB secara aktif mendorong konsumsi serangga sebagai alternatif protein yang berkelanjutan karena keunggulannya yang signifikan dibandingkan ternak konvensional seperti sapi, babi, atau ayam. Salah satu keunggulan utama serangga adalah tingkat konversi pakan yang tinggi, yang mengacu pada efisiensi serangga dalam mengubah pakan menjadi massa tubuh. Sebagai contoh, jangkrik (Acheta domesticus) memiliki tingkat konversi pakan sekitar 1,7, artinya mereka membutuhkan 1,7 kg pakan untuk menghasilkan 1 kg massa tubuh. Bandingkan dengan sapi yang memiliki tingkat konversi pakan sekitar 8, yang berarti mereka membutuhkan 8 kg pakan untuk menghasilkan 1 kg massa tubuh. Ini menunjukkan bahwa serangga jauh lebih efisien dalam memanfaatkan sumber daya pakan, sehingga mengurangi tekanan terhadap produksi pakan ternak yang seringkali membutuhkan lahan dan air yang luas.
Selain efisiensi pakan, serangga juga menawarkan keunggulan lingkungan yang signifikan. Budidaya serangga dapat dilakukan di dalam ruangan dengan penggunaan lahan yang minimal, sehingga mengurangi deforestasi dan degradasi lahan yang seringkali terkait dengan peternakan konvensional. Kebutuhan air untuk budidaya serangga juga jauh lebih rendah dibandingkan ternak besar. Misalnya, produksi 1 kg daging sapi membutuhkan sekitar 15.000 liter air, sedangkan produksi 1 kg serangga hanya membutuhkan sekitar 1-2 liter air. Lebih lanjut, serangga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah dibandingkan ternak konvensional. Produksi 1 kg daging sapi menghasilkan sekitar 60 kg setara karbon dioksida, sedangkan produksi 1 kg serangga hanya menghasilkan sekitar 1 kg setara karbon dioksida. Hal ini menjadikan serangga sebagai pilihan protein yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Selain manfaat lingkungan, budidaya serangga juga memiliki potensi ekonomi yang besar. Serangga dapat diternakkan dengan modal yang relatif rendah dan teknologi yang sederhana, sehingga membuka peluang usaha bagi masyarakat di daerah pedesaan atau perkotaan yang memiliki akses terbatas terhadap lahan atau sumber daya untuk beternak hewan besar. Budidaya serangga dapat memberikan sumber pendapatan tambahan bagi petani kecil, meningkatkan ketahanan pangan lokal, dan mengurangi ketergantungan pada impor protein. Selain itu, produk sampingan dari budidaya serangga, seperti kitin dan pupuk organik, juga memiliki nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri dan pertanian.
Profil Nutrisi Serangga
Serangga tidak hanya menawarkan sumber protein yang berkelanjutan, tetapi juga memiliki profil nutrisi yang kaya dan beragam, menjadikannya alternatif pangan yang menarik dan menyehatkan. Serangga kaya akan protein berkualitas tinggi, yang merupakan makronutrien penting bagi pertumbuhan, perbaikan jaringan tubuh, dan fungsi fisiologis lainnya. Kandungan protein serangga bervariasi tergantung pada spesies dan tahap perkembangannya, namun secara umum, serangga mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging hewan konvensional. Sebagai contoh, 100 gram jangkrik kering mengandung sekitar 65-70% protein, sedangkan 100 gram daging sapi tanpa lemak hanya mengandung sekitar 25-30% protein.
Selain protein, serangga juga mengandung berbagai nutrisi esensial lainnya yang penting bagi kesehatan manusia. Serangga merupakan sumber asam lemak tak jenuh yang baik, seperti omega-3 dan omega-6, yang berperan dalam menjaga kesehatan jantung, otak, dan sistem saraf. Asam lemak omega-3, khususnya, telah terbukti memiliki efek anti-inflamasi dan dapat membantu mengurangi risiko penyakit jantung koroner, stroke, dan beberapa jenis kanker. Serangga juga mengandung vitamin dan mineral penting, seperti vitamin B12, riboflavin (vitamin B2), zat besi, dan seng. Vitamin B12 penting untuk pembentukan sel darah merah dan fungsi saraf, sedangkan riboflavin berperan dalam metabolisme energi dan kesehatan kulit. Zat besi diperlukan untuk transportasi oksigen dalam darah, sedangkan seng berperan dalam fungsi kekebalan tubuh dan penyembuhan luka.
Selain makronutrien dan mikronutrien, serangga juga mengandung kitin, komponen utama eksoskeleton serangga yang merupakan jenis serat tidak larut. Meskipun kitin tidak dapat dicerna oleh manusia, namun ia berperan sebagai prebiotik yang mendukung pertumbuhan bakteri baik di usus, sehingga berkontribusi pada kesehatan pencernaan dan sistem kekebalan tubuh. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa kitin memiliki potensi sebagai antioksidan dan anti-inflamasi.
Meskipun serangga sering diolah dengan cara digoreng, yang dapat mengurangi nilai nutrisinya dan meningkatkan kandungan lemak jenuh, ada berbagai metode memasak yang lebih sehat untuk mempertahankan kandungan nutrisi serangga. Memanggang, membakar, atau menumis serangga dengan sedikit minyak adalah beberapa alternatif yang dapat menjaga kandungan protein, vitamin, mineral, dan asam lemak serangga tetap optimal. Selain itu, serangga juga dapat diolah menjadi tepung atau bubuk yang dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam berbagai produk pangan, seperti roti, kue, pasta, atau smoothies, untuk meningkatkan kandungan protein dan nutrisi lainnya.
Dampak Lingkungan dari Konsumsi Serangga
Konsumsi serangga memiliki potensi besar dalam mengatasi berbagai tantangan lingkungan yang terkait dengan produksi pangan konvensional. Dibandingkan dengan ternak seperti sapi, babi, atau ayam, serangga memiliki jejak lingkungan yang jauh lebih kecil. Produksi daging dari ternak konvensional membutuhkan lahan yang luas untuk peternakan dan produksi pakan ternak, yang seringkali berkontribusi pada deforestasi, degradasi lahan, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Sebaliknya, serangga dapat diternakkan di lahan yang jauh lebih kecil, bahkan di lingkungan perkotaan, dengan memanfaatkan teknologi pertanian vertikal atau sistem budidaya serangga modular.
Selain itu, konsumsi serangga juga dapat mengurangi penggunaan air secara signifikan. Produksi satu kilogram daging sapi membutuhkan sekitar 15.000 liter air, sedangkan produksi satu kilogram serangga hanya membutuhkan sekitar 1-2 liter air. Hal ini sangat relevan bagi negara-negara yang menghadapi masalah kelangkaan air, seperti Indonesia. Dengan mengurangi penggunaan air dalam produksi pangan, konsumsi serangga dapat membantu menjaga ketersediaan air bersih dan mengurangi tekanan terhadap sumber daya air.
Baca juga: Ulat Bambu, Sustainable Food dari Hutan Bambu Ngada
Emisi gas rumah kaca merupakan salah satu kontributor utama perubahan iklim, dan sektor peternakan konvensional merupakan salah satu sumber emisi terbesar. Serangga, di sisi lain, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah dibandingkan ternak konvensional. Menurut FAO, serangga menghasilkan 100 kali lebih sedikit metana (gas rumah kaca yang kuat) daripada sapi per kilogram berat badan. Dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, konsumsi serangga dapat berkontribusi pada upaya mitigasi perubahan iklim dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, kotoran serangga juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang kaya nutrisi bagi tanaman. Hal ini dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia sintetis yang dapat mencemari tanah dan air. Penelitian di Singapura yang didanai oleh National Research Foundation sedang mengembangkan cetak biru penggunaan serangga untuk pengelolaan sampah makanan dan produksi pangan di sistem perkotaan. Serangga seperti lalat tentara hitam (Hermetia illucens) telah terbukti efektif dalam mengurai sampah organik menjadi kompos yang kaya nutrisi, yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan produksi tanaman. Hal ini menunjukkan potensi serangga sebagai solusi berkelanjutan dalam mengurangi limbah makanan, meningkatkan produksi pangan lokal, dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia sintetis.
Regulasi dan Keamanan Pangan
Singapore Food Agency (SFA) telah mengambil langkah proaktif dalam mengembangkan kerangka kerja regulasi yang komprehensif untuk memastikan keamanan dan kualitas produk serangga bagi konsumen. Regulasi ini mencakup seluruh rantai pasok produksi serangga, mulai dari budidaya, pengolahan, hingga pelabelan produk. SFA menetapkan standar yang ketat untuk budidaya serangga, termasuk persyaratan mengenai kebersihan lingkungan, pakan serangga, dan pengendalian hama penyakit. Selain itu, SFA juga mewajibkan produsen untuk menerapkan praktik pengolahan yang higienis dan sesuai standar keamanan pangan, seperti pasteurisasi atau sterilisasi, untuk menghilangkan risiko kontaminasi mikroba.
Spesies serangga yang disetujui untuk konsumsi manusia harus memiliki riwayat konsumsi yang panjang dan aman, serta telah melalui kajian ilmiah yang menyeluruh untuk memastikan tidak adanya risiko kesehatan bagi konsumen. SFA juga telah menetapkan daftar spesies serangga yang diizinkan untuk dikonsumsi, yang saat ini mencakup 16 spesies seperti jangkrik, belalang, larva ngengat, dan lebah madu. Spesies-spesies ini dipilih berdasarkan bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa mereka aman dikonsumsi dan memiliki profil nutrisi yang baik.
Pedoman regulasi SFA juga mencakup persyaratan pelabelan produk serangga yang jelas dan informatif. Produsen wajib mencantumkan nama spesies serangga yang digunakan, informasi nutrisi, dan peringatan alergi bagi individu yang sensitif terhadap kerang atau krustasea. Hal ini penting untuk memberikan transparansi kepada konsumen dan memungkinkan mereka membuat pilihan berdasarkan informasi yang akurat.
Dalam mengembangkan kerangka kerja regulasi ini, SFA mengacu pada praktik terbaik dari negara-negara yang telah memiliki pengalaman dalam regulasi pangan serangga, seperti Uni Eropa, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, dan Thailand. Dengan mengadopsi standar internasional dan praktik terbaik, SFA berupaya untuk memastikan bahwa produk serangga yang beredar di pasaran Singapura memenuhi standar keamanan dan kualitas tertinggi, sehingga memberikan perlindungan bagi konsumen dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap industri pangan serangga yang sedang berkembang.
Status Halal Serangga
Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa protein yang dihasilkan dari serangga adalah halal. Fatwa ini didasarkan pada kajian mendalam terhadap sumber-sumber hukum Islam, termasuk Al-Quran dan hadits, serta pertimbangan mengenai kebutuhan akan sumber protein alternatif yang berkelanjutan. MUIS menekankan bahwa produk makanan yang berasal dari serangga umumnya diperbolehkan selama serangga tersebut tidak termasuk dalam kategori serangga yang diharamkan, seperti lalat, nyamuk, dan kecoa, yang dianggap sebagai serangga pembawa penyakit.
Keputusan MUIS ini sejalan dengan pandangan beberapa lembaga keagamaan lainnya di negara-negara mayoritas Muslim. Di Malaysia, misalnya, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) telah menyatakan bahwa konsumsi serangga halal selama serangga tersebut disembelih sesuai dengan syariat Islam dan bukan termasuk dalam kategori serangga yang diharamkan. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa serupa yang menyatakan bahwa konsumsi serangga halal selama memenuhi kriteria-kriteria tertentu, seperti tidak membahayakan kesehatan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Baca juga: Ulat Sagu, Kuliner dari Kampung Yoboi
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua lembaga keagamaan memiliki pandangan yang sama mengenai status halal serangga. Beberapa ulama berpendapat bahwa serangga termasuk dalam kategori hewan yang menjijikkan (khabaits) dan karenanya tidak boleh dikonsumsi. Oleh karena itu, penting bagi konsumen Muslim untuk merujuk pada fatwa dari lembaga keagamaan yang mereka ikuti untuk mendapatkan panduan yang tepat mengenai status halal serangga.
Perkembangan regulasi mengenai status halal serangga juga terus berlangsung di berbagai negara. Beberapa negara telah mulai mengembangkan standar halal khusus untuk produk serangga, termasuk persyaratan mengenai sumber serangga, metode budidaya, dan proses pengolahan. Hal ini diharapkan dapat memberikan kepastian dan kepercayaan bagi konsumen Muslim yang ingin mengonsumsi produk serangga.
Secara keseluruhan, status halal serangga masih menjadi topik yang kompleks dan memerlukan kajian lebih lanjut dari para ahli agama dan ilmuwan. Namun, dengan semakin meningkatnya kesadaran akan potensi serangga sebagai sumber protein alternatif yang berkelanjutan, diharapkan akan ada lebih banyak penelitian dan diskusi mengenai status halal serangga, sehingga dapat memberikan panduan yang lebih jelas bagi konsumen Muslim di seluruh dunia.
Tantangan dan Upaya Meningkatkan Penerimaan Masyarakat
Meskipun memiliki banyak manfaat, baik dari segi nutrisi, lingkungan, maupun ekonomi, penerimaan masyarakat terhadap konsumsi serangga masih menghadapi berbagai tantangan. Survei dan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden, terutama di negara-negara Barat, enggan mencoba serangga karena beberapa faktor utama.
- Faktor Budaya dan Persepsi: Di banyak budaya Barat, serangga dianggap sebagai hama atau makhluk yang menjijikkan, sehingga mengonsumsi serangga dianggap tabu dan tidak sesuai dengan norma sosial. Persepsi ini telah tertanam kuat dalam masyarakat dan sulit untuk diubah dalam waktu singkat.
- Faktor Rasa Jijik (Food Neophobia): Rasa jijik atau food neophobia, yaitu ketakutan atau penolakan terhadap makanan baru, merupakan hambatan psikologis yang signifikan dalam penerimaan serangga sebagai makanan. Penampilan fisik serangga yang tidak biasa dan teksturnya yang berbeda dari makanan konvensional dapat memicu rasa jijik pada sebagian orang.
- Kurangnya Pengetahuan: Kurangnya pengetahuan tentang manfaat nutrisi dan lingkungan dari konsumsi serangga juga menjadi faktor penghambat. Banyak orang tidak menyadari bahwa serangga merupakan sumber protein, vitamin, dan mineral yang baik, serta memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan ternak konvensional.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap konsumsi serangga. Salah satu strategi yang efektif adalah memperkenalkan serangga secara bertahap ke dalam makanan olahan dengan label yang jelas.
Potensi Serangga sebagai Pangan Masa Depan
Langkah Singapura dalam menyetujui serangga sebagai bahan pangan merupakan langkah maju menuju sistem pangan yang lebih berkelanjutan. Serangga menawarkan potensi besar sebagai sumber protein alternatif yang berkelanjutan, bergizi, dan ramah lingkungan, sejalan dengan kebutuhan populasi global yang terus meningkat dan sumber daya alam yang semakin terbatas.
Baca juga: Maggot, Belatung Kaya Nutrisi dan Bermanfaat untuk Lingkungan
Inovasi kuliner memegang peran kunci dalam membuka potensi ini. Kreativitas para pengusaha makanan dapat menghasilkan hidangan serangga yang menarik dan lezat, mengubah persepsi masyarakat dan mengintegrasikan serangga ke dalam menu sehari-hari.
Edukasi yang tepat juga krusial untuk meningkatkan penerimaan masyarakat. Dengan informasi akurat tentang manfaat nutrisi, keamanan, dan keberlanjutan serangga, masyarakat dapat membuat keputusan berdasarkan informasi. Kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk media, sekolah, dan influencer, dapat membantu menyebarkan informasi ini secara luas.
Dengan potensi untuk mengatasi tantangan ketahanan pangan global, serangga dapat menjadi sumber protein alternatif yang berkelanjutan dan terjangkau. Budidaya serangga juga dapat menciptakan peluang ekonomi bagi petani kecil dan masyarakat pedesaan, berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.
Singapura telah mengambil langkah berani menuju masa depan pangan yang lebih berkelanjutan. Dengan inovasi, edukasi, dan dukungan yang tepat, serangga dapat menjadi bagian integral dari sistem pangan masa depan, memberikan solusi inovatif untuk tantangan pangan global.